pertunangan itu-yang awalnya ia kira hanya sebuah acara formal perusahaan-mendadak berubah menjadi mimpi buruk. Di tengah riuh tawa dan percakapan tamu,
seluruh perasaannya pada pria itu. Ia berpikir bahwa Iqbal adalah masa depannya, pel
gung melihat wajah pucatnya. Ia terus berjalan, masuk ke dalam lift tanpa tujuan. Kepalanya be
h bagaimana, langkahnya membawanya ke depan sebuah kamar hotel yang pintunya sedikit terbuka. Mungkin a
a yang sembab menatap ke cermin besar di depannya. Air mat
bil memeluk dirinya sendiri, mencoba mengumpulk
pria masuk ke dalam kamar dengan langkah mantap. Pria itu terdiam sejenak ketika melihat Arlena di
dan tajam, sorot matanya penuh ketidakpercaya
ng. "Maaf... aku... aku tidak be
is tunggal dari salah satu konglomerat besar di negeri itu. Dengan setelan jas rapi dan aur
kamarku," ujarnya dengan nad
menjelaskan dirinya meski lidahnya kelu. "Maaf, aku h
s panjang. "Tempat untuk menenangkan diri? Kau pikir kamar
hanya bisa menunduk, merasa malu sekali
keluar, matanya mendadak kabur, tubuhnya melemah. Emosi yang terlalu intens membuatnya
tai. Tubuh wanita itu terasa ringan, namun kulitnya panas, tanda bahwa ia sang
Arlena yang basah oleh air mata. Di balik ekspresinya yang penuh kepedihan, ada kesan ketulusan yang membuatnya
lebih jauh. Meski merasa risih dan kesal, ia tetap menjaga jarak. Namun, di luar
-
kan H
Arlena terbangun dengan kepala berat. Ia melihat sekeliling, mendapati
ya tentang malam itu kabur, tetapi per
iri di dekat jendela dengan setelan yang sama seperti semalam. Pria itu b
, sambil melemparkan sebuah amplop
ayaran semalam," lanju
rhina memenuhi dirinya. "Apa maksudmu? Aku bukan wanita s
ang kau lakukan di sini? Datang ke kamar hote
tidak mampu menjelaskan atau membela dirinya. "Aku t
gegas keluar dari kamar itu, meninggalkan Leonard yang hanya