Arlena Santoso tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah drastis dalam satu malam. Setelah mengetahui bahwa kekasih yang selama ini ia percaya telah bertunangan dengan wanita lain, Arlena melarikan diri dari rasa sakit yang begitu mendalam. Namun, pelariannya berakhir dengan dirinya terjebak dalam kamar hotel bersama pria asing. Leonard Hartanto, seorang pewaris perusahaan besar yang terkenal dengan sifat angkuhnya, pun tak kalah terkejut ketika menyadari kesalahannya. Akibat ketidakhati-hatian asisten pribadinya, Leonard telah salah menemui wanita yang tidak ia kenal dan tanpa sengaja merusak sesuatu yang berharga bagi Arlena. Perasaan bersalah membebaninya, tetapi ia tak punya waktu untuk memperbaiki segalanya sebelum kembali ke kehidupannya yang sibuk. Namun, takdir memiliki rencana lain. Leonard, yang hendak menolak perjodohan dari sang ibu, justru dihadapkan pada kenyataan bahwa calon istrinya adalah Arlena, wanita yang telah ia salah tiduri malam itu. Arlena pun harus menghadapi rasa sakitnya saat tahu bahwa pria yang merenggut kesuciannya kini adalah calon suaminya. Mampukah Arlena menerima Leonard, yang selalu digeluti oleh masa lalunya yang kelam? Dan sanggupkah mereka bertahan saat bayang-bayang masa lalu Leonard kembali mengusik hubungan mereka yang rapuh?
Arlena melangkah keluar dari ruangan pesta dengan hati yang remuk. Gaun anggun berwarna perak yang ia kenakan malam itu kini terasa seperti beban. Pesta pertunangan itu-yang awalnya ia kira hanya sebuah acara formal perusahaan-mendadak berubah menjadi mimpi buruk. Di tengah riuh tawa dan percakapan tamu, matanya tanpa sengaja menangkap sosok kekasihnya, Iqbal, tengah berdiri di sisi seorang wanita. Wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai tunangan Iqbal.
Arlena seakan tak percaya. Selama ini, ia mencintai Iqbal sepenuh hati, mempercayakan seluruh perasaannya pada pria itu. Ia berpikir bahwa Iqbal adalah masa depannya, pelindung hatinya. Namun, kenyataan di hadapannya meruntuhkan semua harapan itu seketika.
Tanpa arah, Arlena melangkah keluar dari gedung, mengabaikan panggilan teman-temannya yang bingung melihat wajah pucatnya. Ia terus berjalan, masuk ke dalam lift tanpa tujuan. Kepalanya berdenyut-denyut, campuran amarah, kecewa, dan kesedihan yang begitu mendalam menguasai dirinya.
Saat pintu lift terbuka di lantai dua puluh lima, Arlena melangkah keluar dengan pandangan kosong. Entah bagaimana, langkahnya membawanya ke depan sebuah kamar hotel yang pintunya sedikit terbuka. Mungkin akibat ketidakjelasan dalam pikirannya, ia pun masuk, mencari ruang untuk menangis tanpa ada yang melihat.
Di dalam kamar, Arlena duduk di tepi tempat tidur, wajahnya yang sembab menatap ke cermin besar di depannya. Air matanya mengalir, membasahi pipinya tanpa bisa ia tahan lagi.
"Tega sekali kamu, Iqbal..." bisiknya lirih sambil memeluk dirinya sendiri, mencoba mengumpulkan serpihan hatinya yang telah pecah berantakan.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan, hingga tiba-tiba pintu kamar terbuka lebih lebar. Seorang pria masuk ke dalam kamar dengan langkah mantap. Pria itu terdiam sejenak ketika melihat Arlena di sana, dan begitu pula Arlena yang tercengang saat menyadari kehadiran orang asing di ruangan itu.
"Siapa kamu?" suara pria itu terdengar dalam dan tajam, sorot matanya penuh ketidakpercayaan saat melihat wanita asing duduk di kamarnya.
Arlena tergagap, kaget dan bingung. "Maaf... aku... aku tidak bermaksud mengganggu. Aku hanya..."
Pria itu mengerutkan kening, menatap Arlena dengan tajam. Ia adalah Leonard Hartanto, pewaris tunggal dari salah satu konglomerat besar di negeri itu. Dengan setelan jas rapi dan aura dingin, ia terlihat seperti seseorang yang tak akan mudah menerima penjelasan sembarangan.
"Kenapa kamu ada di sini? Ini kamarku," ujarnya dengan nada rendah namun penuh tekanan.
Arlena merasa semakin tak nyaman. Ia berdiri, berusaha menjelaskan dirinya meski lidahnya kelu. "Maaf, aku hanya... aku hanya butuh tempat untuk menenangkan diri."
Leonard memandangnya dengan sorot tajam, lalu menghela napas panjang. "Tempat untuk menenangkan diri? Kau pikir kamar hotel ini adalah tempat umum yang bisa dimasuki siapa saja?"
Arlena tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa menunduk, merasa malu sekaligus canggung di hadapan pria asing ini.
"Maafkan aku," bisik Arlena, suaranya nyaris tak terdengar. Namun, saat hendak melangkah keluar, matanya mendadak kabur, tubuhnya melemah. Emosi yang terlalu intens membuatnya merasa lelah. Sebelum ia sempat keluar, pandangannya mengabur, dan ia pun jatuh terkulai.
Leonard segera bergerak cepat, menangkap tubuh Arlena yang hampir jatuh ke lantai. Tubuh wanita itu terasa ringan, namun kulitnya panas, tanda bahwa ia sangat kelelahan. Dengan wajah dingin, Leonard membaringkan Arlena di tempat tidur.
"Dasar merepotkan..." gumamnya pelan, namun ia tak bisa mengabaikan wanita ini begitu saja. Leonard menatap wajah Arlena yang basah oleh air mata. Di balik ekspresinya yang penuh kepedihan, ada kesan ketulusan yang membuatnya heran. Ia menghela napas panjang, merasa ada sesuatu yang berbeda dari wanita ini, meski mereka baru saja bertemu.
Malam itu, Leonard membiarkan Arlena tertidur di kamar itu, tak ingin mengusiknya lebih jauh. Meski merasa risih dan kesal, ia tetap menjaga jarak. Namun, di luar dugaannya, malam itu menjadi awal dari kejadian yang tak akan pernah ia lupakan.
---
Keesokan Harinya
Pagi hari ketika sinar matahari mulai menerobos melalui jendela kamar, Arlena terbangun dengan kepala berat. Ia melihat sekeliling, mendapati dirinya berada di kamar yang asing. Perasaan panik segera menyergapnya.
"Apa yang terjadi?" pikirnya. Ingatannya tentang malam itu kabur, tetapi perasaan terluka di hatinya masih tersisa.
Ia beranjak dari tempat tidur, dan matanya menangkap sosok pria yang berdiri di dekat jendela dengan setelan yang sama seperti semalam. Pria itu berbalik, menatapnya dengan ekspresi dingin yang membuat Arlena merinding.
"Kau sudah bangun," ucapnya dingin, sambil melemparkan sebuah amplop ke atas meja di dekat tempat tidur.
"Ambil cek itu untuk bayaran semalam," lanjutnya dengan nada ketus.
Arlena membelalakkan matanya, perasaan tersinggung dan terhina memenuhi dirinya. "Apa maksudmu? Aku bukan wanita seperti itu!" serunya, berusaha menahan getaran di suaranya.
Leonard menatapnya dengan sinis. "Lalu, apa yang kau lakukan di sini? Datang ke kamar hotel seorang pria asing tanpa alasan yang jelas?"
Arlena merasa hatinya hancur. Dalam kebingungan, ia tidak mampu menjelaskan atau membela dirinya. "Aku tidak membutuhkan uangmu!" katanya dengan nada terluka.
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, ia meraih tasnya dan bergegas keluar dari kamar itu, meninggalkan Leonard yang hanya bisa menatap punggungnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Setelah menyembunyikan identitas aslinya selama tiga tahun pernikahannya dengan Kristian, Arini telah berkomitmen sepenuh hati, hanya untuk mendapati dirinya diabaikan dan didorong ke arah perceraian. Karena kecewa, dia bertekad untuk menemukan kembali jati dirinya, seorang pembuat parfum berbakat, otak di balik badan intelijen terkenal, dan pewaris jaringan peretas rahasia. Sadar akan kesalahannya, Kristian mengungkapkan penyesalannya. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Tolong, beri aku kesempatan lagi." Namun, Kevin, seorang hartawan yang pernah mengalami cacat, berdiri dari kursi rodanya, meraih tangan Arini, dan mengejek dengan nada meremehkan, "Kamu pikir dia akan menerimamu kembali? Teruslah bermimpi."
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
ADULT HOT STORY 🔞🔞 Kumpulan cerpen un·ho·ly /ˌənˈhōlē/ adjective sinful; wicked. *** ***
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
“Usir wanita ini keluar!” "Lempar wanita ini ke laut!” Saat dia tidak mengetahui identitas Dewi Nayaka yang sebenarnya, Kusuma Hadi mengabaikan wanita tersebut. Sekretaris Kusuma mengingatkan“Tuan Hadi, wanita itu adalah istri Anda,". Mendengar hal itu, Kusuma memberinya tatapan dingin dan mengeluh, “Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?” Sejak saat itu, Kusuma sangat memanjakannya. Semua orang tidak menyangka bahwa mereka akan bercerai.