Bagaimana jadinya jika bodyguard yang harusnya melindungimu, tetapi justru menjadi sumber bahaya bagimu? Dexter, seorang bodyguard yang harusnya melindungi Vello-seorang gadis yang menjadi korban bullying di kampus, tetapi Dexter justru menyeret Vello ke neraka. Vello tersiksa, tetapi sebanyak apa pun celah untuk menghindar, Vello justru tak ingin pergi dari neraka yang diciptakan oleh Dexter untuknya.
"Hei ... hei ... lihat dia sudah datang!"
"Dia terus menunduk, apa ia sedang mencari recehan koin di lantai?"
"Lihat cara dia memeluk buku-buku tebal di dadanya? Memangnya siapa yang akan mencuri buku mengerikan itu darinya?"
Suara bisik-bisik dan cekikikan orang-orang di koridor tertuju pada satu perempuan dengan kacamata lebar yang berjalan dengan membawa rasa takut melewati mereka yang memandangnya dengan remeh.
BUGH!
"Kau menghalangi jalanku, bodoh!" Dengan sengaja seorang perempuan menabrak bahunya dan berlalu begitu saja setelah menyunggingkan senyum sinis.
Perempuan itu meringis mengelus pundaknya yang terasa sakit. Kaki dengan balutan sepatu ketsnya melanjutkan langkah dengan lebar untuk segera terbebas dari tatapan berpasang mata yang tidak pernah lelah menghunuskan pandangan cacian pada dirinya.
Vellonica Diosa Shawn, gadis dengan rambut golden blonde yang ia kuncir ponytail itu mendesah lega ketika ia sudah mendorong pintu memasuki ruang kuliahnya dengan jajaran bangku bertingkat yang semakin meninggi dengan anak tangga di tengah-tengahnya.
Meskipun teman-teman di ruang kuliahnya ini tidak berbeda jauh dengan para mahasiswa di luar tadi, setidaknya ia bisa mengalihkan perhatian dengan fokus pada mata kuliah yang akan diajarkan dosennya nanti.
Tentu saja dengan fokus pada pelajaran selalu berhasil membuatnya melarikan diri dari kenyataan menyedihkan tentangnya.
Vello menggigit bibir bawahnya. Sedikit mendongakkan wajah, melihat Kenneth sedang berciuman panas dengan Arabelle yang berada di pangkuan menyamping lelaki itu. Tak memedulikan sekitar seperti ruangan itu hanya ada mereka berdua.
Oh, jangan salah paham. Lelaki itu tidak sedang selingkuh secara terang-terang di depannya atau lelaki itu adalah mantan kekasihnya. Tentu saja bukan. Vello akan tertawa keras, mengingat kenyataan lelaki tampan seperti Kenneth hanyalah kekasih khayalannya dan perempuan cantik yang kini sedang menengadahkan lehernya untuk memberi akses lebih banyak pada bibir Kenneth yang mulai menjelajah tersebut adalah kekasih pria itu sesungguhnya.
Ia masih menggigit bibir bawahnya, membayangkan kapan ia akan merasakan bibir seorang pria menari di atas bibirnya. Apakah ia bisa berharap orang itu adalah Kenneth? Bagaimana rasanya ketika dua bibir dan lidah saling membelit? Apakah ia akan memejamkan mata dengan kedua tangan memeluk leher prianya seperti yang dilakukan Arabelle saat ini?
Vello menggeleng pelan dengan mengerjapkan matanya beberapa kali hanya untuk sekadar menyadarkannya. Bangun menyambut kenyataan.
DUGH!
Suara benturan dari undakan anak tangga yang bertemu dengan dahi seorang perempuan berhasil menyita perhatian satu ruangan.
"Ups! Maafkan aku. Kakiku tak melihatnya," seru seorang teman lelaki dengan nada yang jelas-jelas tak menyiratkan rasa bersalah.
Satu detik.
Dua detik.
Tawa seisi ruangan langsung menggema tanpa ada satu pun yang mencoba membantu Vello untuk berdiri ataupun sekadar membantu mengambilkan buku-buku yang berserakan di sekitarnya.
Vello berusaha berdiri dengan sisa-sisa rasa malu yang ia miliki. Mengambil satu persatu-satu bukunya setelah memasang kembali kacamata yang tadi sempat terjatuh.
"Permisi, bisakah kau menyingkirkan kakimu dari bukuku?" pinta Vello, berjongkok hendak meraih bukunya tanpa berani menatap pemilik kaki yang dengan angkuh menjadikan buku sebagai tumpuan pijakan sepatu stiletto merah menyala dengan hak yang sangat tinggi.
"Tentu saja." Suara santai Arabelle mengiringi gerakan sepatunya yang menggeser buku tersebut ke dekat tangan Vello. Dalam hati Vello yakini bahwa sampul belakang buku tersebut tidak akan mulus lagi dan menjadi kotor.
"Dan bersihkan dahimu yang berdarah," tambah suara lelaki yang Vello yakini adalah Kenneth.
Mencoba berani, Vello mendongakkan wajahnya untuk menemukan jawaban. Benar, lelaki itu menyodorkan selembar tisu padanya.
Dengan susah payah Vello meneguk salivanya yang terasa menggantung di tenggorokan ketika ia menangkap manik mata indah yang kini sedang menatapnya. Apakah ini mimpi? Untuk kali pertama Kenneth berbicara dan melihat dirinya!
Arwah Vello seakan melompat dari raganya saat itu juga. Ia berusaha tak mengedipkan mata agar jika ini hanya sebuah fatamorgana, setidaknya tidak segera menghilang dari pandangannya saat ini juga.
Oh Tuhan, Vello begitu mengagumi Maha Karya Tuhan yang begitu sempurna ketika menciptakan seorang Kenneth. Surai rambut cokelat gelap yang menyapu sedikit dahinya menciptakan percikan pesona yang tak dapat terbantahkan. Ditambah kombinasi alis tebal, mata indah serta rahang tegas membuat dirinya layak menyandang lelaki hot di kampus ini, setidaknya untuk Vello.
"Te-terima kasih." Tangannya bergetar gugup menerima tisu itu.
"Oh kau begitu manis, Babe. Kau harus dihukum!" Dengan cepat Arabelle menarik tengkuk Kenneth. Lelaki itu menyeringai senang menyambut ciuman Arabelle dengan kedua tangan yang langsung memeluk pinggang ramping itu.
Vello tersenyum kecut. Segera mengambil bukunya yang masih di lantai dan bergegas memilih tempat duduk yang masih kosong.
Bibirnya mendesah ketika melihat darah di tisu yang baru ia tempelkan di dahinya. Apa kata kedua orang tuanya nanti jika melihat karya baru di wajah ini? Padahal lebam di lengan hasil dari cengkeraman teman yang membullynya kemarin belum juga hilang.
***
"O Dios mío! (Oh ya Tuhan!) Apa yang terjadi dengan dahimu, Nak?"
Baru saja tubuh Vello memasuki mansion, pekikan dari Camilla, sang ibu sudah menyambut pendengarannya.
Ia berjalan tergopoh-gopoh dengan balutan masker berwarna hijau di wajahnya yang kini sudah retak karena ia tak bisa menahan ekspresi keterkejutannya.
Bibir mungil Vello berdecap. "Está bien, Madre (Aku baik-baik saja, Ibu). Aku hanya tak sengaja terbentur." Ia mencoba berlalu dari interogasi Camilla, tetapi percuma ketika tangan sang ibu dengan sigap menahannya.
"Jangan coba berbohong lagi! Oh, kemarilah putriku. Aku akan mengobati lukamu."
Camilla dengan cepat membawa Vello untuk duduk di sofa beledu berwarna biru gelap yang berada di ruang tamu mansion.
"Russell harus tahu apa yang sedang terjadi denganmu, Sayang," ujarnya dengan tangan yang begitu sigap mengobati dahi Vello setelah sebelumnya menerima kotak obat yang sempat dimintanya dari seorang pelayan.
"Madre ...." Vello langsung menahan tangan Camilla. Wajahnya berubah sendu mencoba menjelaskan ketidaksetujuannya dengan sorot mata.
Camilla menggeleng tegas. "Ini sudah kejadian yang ke sekian kalinya, Vello. Melapor pada pihak kampusmu tidak pernah membuahkan hasil yang berarti. Mereka terus saja memperlakukanmu tidak pantas! Apakah kau tak pernah melawan mereka yang berbuat keji terhadapmu? Bentaklah mereka atau jika perlu jambak rambutnya. Sesekali berbuat kasar untuk melindungi diri itu tak apa, Sayangku."
"Dan mereka akan semakin gencar menyiksaku, Madre."
Bukan tidak pernah, Vello sudah pernah melakukan perlawanan, tetapi yang didapat adalah tamparan dan wajahnya dicelupkan ke lubang kloset. Ia tak pernah menceritakan bagian itu pada siapa pun. Tidak ada gunanya mengadu. Orang tuanya hanya mengetahui bekas-bekas merah atau lebam di tubuhnya tanpa tahu detail kejadiannya.
Jika bisa memilih, ingin rasanya ia kembali ke Spanyol bertemu dengan teman-teman lama yang begitu menyayanginya. Namun, sejak kepindahannya ke Inggris saat kuliah, Vello tak lagi mendapatkan teman sebaik yang ada di Spanyol. Tak ada teman yang berkunjung ke rumahnya. Tak ada canda tawa di kelas. Hanya ada pandangan aneh setiap kali ia melangkah.
Derita yang ia rasakan ini bermula ketika Russell memboyong keluarganya untuk pindah ke Inggris, hidup di mansion mewah yang baru saja dibelinya.
Tanpa bermaksud menyalahkan niat baik Russell untuk meningkatkan status sosial mereka dari hasil jerih payah keberhasilannya menjadi chef sekaligus pebisnis yang memiliki banyak cabang restoran di berbagai negara, tetapi itu jelas menjadi awal derita yang Vello rasakan dalam lingkup pergaulan yang dirasakan jauh berbeda dengan tanah kelahirannya di Spanyol.
Vello merasakan guncangan budaya yang begitu terasa ketika ia memijakkan kaki di Inggris. Di Spanyol, Vello merasakan keramahan yang begitu kental pada setiap orang. Bahkan pada hubungan pertemanan, Vello tak pernah kehabisan kawan yang selalu mengisi hari-harinya. Ia masih mengingat jelas bagaimana orang-orang di lingkungan hidupnya di Spanyol begitu menghargai ikatan pertemanan dan selalu meluangkan waktu untuk membuat pesta perayaan pada pencapaian setiap orang-orang terdekatnya. Hidup Vello tak pernah surut dari senyum dan tawa.
Vello begitu optimis ketika ia pindah ke Inggris, negara tempat kelahiran ayahnya, dengan keramahan yang telah melekat pada dirinya sedari kecil. Vello menyapa dan mencoba mengenal satu persatu teman kuliahnya, tetapi yang ia dapat justru jauh dari harapan. Tak ada senyum ramah atau sekadar dua huruf sapa 'hai' dari bibir mereka. Vello justru mendapat tatapan dingin dan pandangan aneh.
Hari-hari berikutnya Vello tetap mencoba ramah dan mengakrabkan diri pada lingkungan barunya, bagaimanapun juga ia harus memiliki teman di tempatnya kuliah, tetapi Vello selalu tak mendapatkan respons yang baik. Orang-orang justru semakin memandangnya aneh. Sebuah sorot pandangan yang tak pernah Vello dapatkan selama hidupnya di Spanyol.
Hal itu jelas mengguncang hati Vello. Ia mencoba mengoreksi diri untuk mencari tahu kesalahannya. Ia hanya ingin memiliki teman dan apa salahnya dengan bersikap ramah? Namun, semakin waktu bukannya semakin membaik dan mendapatkan teman, Vello justru semakin merasa tak memiliki siapa-siapa selain kedua orang tuanya.
Orang-orang di lingkungan kampusnya justru memandangnya seperti sebuah kutu yang harus segera dihindari. Tak jarang dari mereka mulai mengolok Vello ataupun berlaku kasar padanya secara fisik. Sejak saat itu Vello lebih memilih diam. Ia tak lagi banyak berbicara ataupun mencoba dekat dengan teman-teman kuliahnya. Namun, keterdiamannya justru membuat orang-orang di sekitarnya semakin bersikap kasar pada Vello.
Vello jelas tak mampu menandingi sekian banyak orang yang berlaku buruk padanya. Hingga akhirnya ia memilih menerima perlakuan buruk tersebut demi menjalani perkuliahan untuk meraih mimpinya. Meskipun kini senyum dan tawa Vello telah redup hampir tak berbekas.
"Aku akan tetap menceritakan pada Russell. Aku yakin kakakmu pasti memiliki solusi." Camilla menyudahi pembicaraan dengan tekat bulatnya yang sudah tidak dapat dibantah.
...To Be Continued...
Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_
Spin Off "Trapped By Obsession" Tak ada yang tahu bahwa Starley mencintai kakaknya sendiri. Padahal semua orang memandangnya sebagai playgirl, tetapi hanya dirinya yang tahu bahwa ia hanya sedang mencari sosok seperti kakaknya, Julian Ryver pada pria lain. Hingga ia bertemu dengan Zev. Pria misterius, berbahaya, tetapi selalu memiliki kuasa yang dapat membuat Starley tak bisa berpaling dari mata itu. Sampai tanpa sadar perasaan Starley terhadap Julian terlupakan begitu saja. Namun, tidak ketika sebuah momen menarik Starley untuk kembali mengingat cintanya pada Julian. Malam itu Julian mempertemukan bibir mereka dengan hangat dan dalam. "We know something's between us, Star. This is so wrong, but also feels right, doesn't it?" kata Julian. "Then, what should we do?" Di tengah-tengah itu, tiba-tiba Starley teringat oleh perkataan Zev. "You didn't realize there was something between us. When you decided to accept me, you would have no way back," bisik Zev dalam ingatan Starley. Sekarang, siapa yang akan ia pilih di tengah dua pria paling berarti untuknya tersebut?
Spin Off "My Devil Bodyguard" Sejak perkenalan pertama, Jake tahu bahwa dirinya harus mendapatkan Zerenity karena wanita itu memiliki kemiripan sifat dengan istri sahabatnya yang jelas-jelas tak mampu untuk ia gapai. Sayangnya, Zerenity harus menghindari Jake karena ia tahu saudarinya, Scarlet sangat terobsesi pada pria tersebut. Zerenity berlari menjauh dan sejauh itu pula Jake mengejarnya. Ketika hanya ada mereka bersama, keduanya bagai magnet yang saling menarik dan tenggelam bersama dalam kasih dan hasrat yang membara. Namun, di balik itu semua, keduanya menyembunyikan rahasia kelam masing-masing. Apakah Jake mampu mencintai Zerenity dengan benar tanpa bayangan istri sahabatnya? Akankah Zerenity juga tetap mempertahankan cintanya di tengah rasa bersalah pada Scarlet? Terlebih ketika takdir seakan turut ingin memisahkan mereka dengan perlahan menguak satu persatu rahasia kelam keduanya.
BERISI ADEGAN HOT++ Seorang duda sekaligus seorang guru, demi menyalurkan hasratnya pak Bowo merayu murid-muridnya yang cantik dan menurutnya menggoda, untuk bisa menjadi budak seksual. Jangan lama-lama lagi. BACA SAMPAI SELESAI!!
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
BERISI ADEGAN HOT++ Leo pria tampan dihadapan dengan situasi sulit, calon mertuanya yang merupakan janda meminta syarat agar Leo memberikan kenikmatan untuknya. Begitu juga dengan Dinda, tanpa sepengetahuan Leo, ternyata ayahnya memberikan persyaratan yang membuat Dinda kaget. Pak Bram yang juga seorang duda merasa tergoda dengan Dinda calon menantunya. Lantas, bagaimana dengan mereka berdua? Apakah mereka akan menerima semua itu, hidup saling mengkhianati di belakang? Atau bagaimana? CERITA INI SERU BANGET... WAJIB KAMU KOLEKSI DAN MEMBACANYA SAMPAI SELESAI !!
Dua tahun lalu, Regan mendapati dirinya dipaksa menikahi Ella untuk melindungi wanita yang dia sayangi. Dari sudut pandang Regan, Ella tercela, menggunakan rencana licik untuk memastikan pernikahan mereka. Dia mempertahankan sikap jauh dan dingin terhadap wanita itu, menyimpan kehangatannya untuk yang lain. Namun, Ella tetap berdedikasi sepenuh hati untuk Regan selama lebih dari sepuluh tahun. Saat dia menjadi lelah dan mempertimbangkan untuk melepaskan usahanya, Regan tiba-tiba merasa ketakutan. Hanya ketika nyawa Ella berada di tepi kematian, hamil anak Regan, dia menyadari, cinta dalam hidupnya selalu Ella.
Marsha terkejut saat mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Karena rencana putri asli, dia diusir dan menjadi bahan tertawaan. Dikira terlahir dari keluarga petani, Marsha terkejut saat mengetahui bahwa ayah kandungnya adalah orang terkaya di kota, dan saudara laki-lakinya adalah tokoh terkenal di bidangnya masing-masing. Mereka menghujaninya dengan cinta, hanya untuk mengetahui bahwa Marsha memiliki bisnis yang berkembang pesat. “Berhentilah menggangguku!” kata mantan pacarnya. “Hatiku hanya milik Jenni.” “Beraninya kamu berpikir bahwa wanitaku memiliki perasaan padamu?” kata seorang tokoh besar misterius.