Gabriella adalah seorang gadis polos yang malang. Ia hidup sebatang kara di rumah peninggalan orang tuanya. Hingga suatu ketika, rumah itu dihancurkan oleh Perusahaan Quebracha. Saat menemui sang CEO untuk melancarkan protes, sebuah pun insiden terjadi. "Dasar laki-laki bejat! Belum cukup kau menghancurkan rumahku, sekarang kau merampas harga diriku?" "Mengakulah! Kau sengaja menahan rumahmu agar proyek kami terhambat, lalu sekarang kau menjebakku agar menidurimu. Apa tujuanmu sebenarnya, hah? Siapa yang membayarmu?" Max Evans, CEO muda yang sukses dan tampan itu malah menuduhnya sebagai perempuan bayaran. Apa yang terjadi selanjutnya? Mampukah Gabriella mendapatkan kepercayaan sang CEO? Atau bahkan hati dan cintanya? Akankah dua orang itu sadar bahwa mereka sama-sama dijebak? IG: @pixielifeagency
Pernahkah kalian merasa lelah dalam menjalani hidup?
Setiap hari, beban di atas pundak terasa semakin berat. Walau begitu, kaki harus tetap melangkah karena waktu tak memberi ampun pada siapa pun yang lemah.
Itulah yang dirasakan oleh seorang gadis di dalam rumah kecilnya. Setiap kali bunyi reruntuhan bangunan terdengar mendekat, ia akan menekan tuts piano dengan lebih bersemangat.
Ketika kegaduhan itu terdengar lebih kencang, ia memutar tombol pengatur volume hingga hampir maksimal. Tidak ada satu pun di dunia ini yang mampu menghentikan permainan piano gadis itu, kecuali bunyi bel untuk yang kelima kalinya.
"Aaargh! Siapa lagi itu? Kapan mereka akan berhenti menggangguku?"
Dengan langkah berat dan cepat, ia menghampiri pintu.
"Ada apa?" tanyanya garang.
Sosok berwajah tampan di luar pintu pun mengerjap. Namun, sedetik kemudian, senyum manis pria itu melengkung sempurna.
"Selamat siang, Nona Gabriella," sapanya ramah.
Sang gadis mengerutkan alis mengamati pria asing yang mencurigakan itu.
Rambut hitam yang tertata rapi, kemeja putih panjang di tengah hari yang terik, dan sepatu pantofel mengilap di ujung kaki. Tidak salah lagi. Pria itu pasti karyawan Quebracha Company yang diutus untuk meluluhkan hati Gabriella.
"Apakah mereka pikir, keputusanku bisa diubah karena seorang laki-laki tampan? Cih, pemikiran yang dangkal sekali," batin sang gadis dengan sebelah sudut bibir berkedut samar.
"Kalau Anda ingin membujuk saya untuk menjual rumah ini, maaf ... saya tetap tidak tertarik. Tolong katakan kepada atasan Anda untuk berhenti mengganggu saya dan rumah ini. Kalian hanya akan menghabiskan waktu dan energi." Gadis itu menarik pintu tanpa basa-basi.
Sang pria spontan menahan pintu dengan lengannya yang kekar. Mata si tuan rumah pun terbelalak menyaksikan keberanian yang tak terduga itu.
"Apa?" tanya sang gadis sambil menekan pintu agar tidak terbuka lebih lebar. Ia takut jika si orang asing memaksa masuk ke rumahnya.
"Kedatangan saya ke sini bukan untuk itu." Senyum manis kembali diperlihatkan meski hanya lewat celah sempit.
"Lalu, apa?" Gabriella mengerutkan alis mengisyaratkan bahwa dirinya risih.
"Karena Anda menolak untuk menjual rumah ini, perusahaan kami ingin bernegosiasi."
"Bernegosiasi? Apa bedanya dengan membujuk?"
"Tentu saja berbeda. Karena itu, mohon izinkan saya masuk dan menjelaskannya secara rinci."
Sang gadis menggigit bibir bawahnya dan melayangkan tatapan sinis. Akan tetapi, laki-laki di hadapannya sama sekali tidak mengubah ekspresi. "Anda benar-benar ingin masuk ke rumah ini?" tanya Gabriella seperti menguji nyali.
"Ya," angguk sang pria tanpa sedikit pun nada khawatir.
Setelah menimbang-nimbang sejenak, si tuan rumah menghela napas samar dan mengangguk kecil. "Baiklah, silakan masuk." Pintu akhirnya dibuka.
"Terima kasih," ucap pria tampan itu masih dengan lengkung bibir yang manis. Bahkan sampai ia duduk di sofa pun, keramahannya tetap berseri.
"Silakan diminum," tutur Gabriella sambil meletakkan secangkir kopi dan segelas air. Sudut bibirnya kini ikut naik.
"Terima kasih, Nona. Perkenalkan, saya Max dari Quebracha Company."
"Ya, saya sudah tahu," sela Gabriella dengan bibir mengerucut.
"Sudah tahu?" Pria itu mengangkat kedua alisnya.
Sang gadis mengangguk yakin. "Ya ..., siapa lagi yang tega mengganggu kedamaian hidupku kalau bukan karyawan dari perusahaan Quebracha?"
Raut tegang sang pria sontak berubah kembali manis. "Oh, baiklah. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan Anda."
Gabriella hanya mengangkat bahu singkat.
"Sebelum saya mulai menjelaskan, saya ingin memastikan. Apakah Anda yakin tetap tidak ingin menjual rumah ini meski ditawari harga empat kali lipat?"
Sang gadis menarik napas panjang dan menjawab, "Ya."
"Apakah Anda yakin tetap nyaman tinggal di rumah ini jika proyek perusahaan kami sudah berjalan?"
"Ya."
"Meski gedung-gedung tinggi mengelilingi rumah Anda?"
Gabriella pun tertunduk dan menjepit pangkal hidungnya. "Bukankah maksud Anda datang ke sini bukan untuk membujuk saya?" protesnya dengan nada malas.
"Ya, memang. Saya hanya ingin memastikan," terang Max dengan nada santai. Selang satu kedipan, ia meletakkan sebuah map di atas meja. "Kalau begitu, Anda pasti tidak keberatan menandatangani surat ini."
Dengan alis berkerut, Gabriella membaca dokumen tersebut. "Surat pernyataan?"
"Bahwa Anda tidak keberatan jika proyek kami tetap dilancarkan. Anda tidak akan membuat protes ataupun laporan kepada media."
Tanpa sadar, sang gadis menggertakkan rahang. "Jadi, kalian benar-benar tega mengubah lingkungan ini menjadi perkotaan?" gumamnya dengan suara bergetar.
"Kami tidak akan menyentuh rumah Anda, termasuk pekarangan dan pagarnya. Kami hanya akan membangun pada jarak aman."
Tiba-tiba, Gabriella mendengus dan tertunduk.
"Dari mana saya tahu kalian tidak akan mengusik rumah ini? Poin-poin yang Anda sebutkan tadi tidak tertulis dalam surat ini. Perusahaan Anda bisa saja melakukan kecurangan."
"Kecurangan seperti apa yang Anda maksud?"
Telunjuk sang gadis mendadak teracung.
"Tunggu sebentar. Saya tuliskan poin-poin yang harus perusahaan Anda penuhi. Silakan nikmati kopi ini selagi menunggu." Tanpa membuang waktu, Gabriella masuk ke sebuah pintu.
Seperginya si tuan rumah, mata sang pria mulai leluasa menjelajah. Semua potret yang tergantung di dinding diamati dengan saksama. Begitu pula dengan piala yang terpajang pada rak kaca di sudut ruangan. Embusan napas sinis spontan keluar dari mulutnya.
"Siapa sebenarnya perempuan ini?"
Max lanjut mengamati piano yang mengintip di ruangan sebelah. Pengamatannya baru berhenti ketika ponsel dalam sakunya bergetar.
"Bagaimana, Tuan CEO? Apakah Anda masih tidak percaya bahwa perempuan itu memang unik?" Max tersenyum miring begitu membaca pesan dari sekretaris pribadinya.
"Cih, unik apanya? Justru aku semakin curiga kalau perempuan ini disuap oleh pesaing bisnis kita," balas sang CEO tanpa perlu berpikir dua kali.
"Lalu, apakah benar bahwa perempuan itu cantik sekali? Kudengar, Gabriella itu sangat memesona. Dia seperti bidadari yang turun dari khayangan."
Helaan napas langsung keluar dari mulut Max. "Hm? Memesona?" gumamnya sembari melihat kembali foto Gabriella kecil yang diapit oleh kedua orang tuanya.
"Tidak sama sekali," desah pria itu seraya meraih cangkir.
Begitu kopi hangat masuk ke mulutnya, mata pria itu nyaris melompat keluar. Sedetik kemudian, cairan hitam yang seharusnya ditelan malah dituang kembali ke wadahnya.
"Astaga! Kenapa pedas sekali?"
Tanpa ragu, sang CEO mengambil gelas yang satu lagi. Belum sempat air membasahi kerongkongannya, bunyi semburan air sudah terdengar. "Huek .... Asin sekali!"
Sambil mengelap bibir dan dagunya dengan sapu tangan, pria itu celingak-celinguk mencari dapur.
"Aku butuh air. Aku butuh air!" batinnya sambil bernapas lewat mulut yang menganga. Malangnya, semua pintu yang ia tuju terkunci rapat. Kedongkolan seketika meroket merobohkan kesabaran. Ia sadar bahwa dirinya sudah masuk perangkap.
"Perempuan itu ... beraninya dia mempermainkanku." Dengan tangan terkepal erat, Max mengetuk pintu kamar Gabriella.
Julian Evans adalah salah satu CEO terbaik di dunia, pemuda kaya nan tampan yang terkenal romantis. Siapa yang berani menolak pria sehebat itu kalau bukan sekretarisnya sendiri? Tak peduli seberapa besar perjuangan pria itu mengejarnya, sang gadis tetap menutup hati, walau di dalamnya ada cinta yang berbalas. Mia Sanders hanyalah anak sopir dan pelayan keluarga Evans yang dididik untuk menjadi sekretaris andal. Tujuan hidupnya adalah membahagiakan orang tua dan membalas budi baik keluarga Evans. Karena itulah, ia tidak berani membantah. Hubungannya dengan Julian Evans memang sebuah petaka yang harus dihindari. “Saya heran kenapa Anda bersikeras memercayai hal yang tidak nyata. Cinta di antara kita hanyalah angan-angan.” “Kalau begitu, beri aku tantangan. Jika aku bisa menyelesaikannya, kuharap tidak ada lagi keraguan dalam hatimu. Aku memang serius mencintaimu dan rela melakukan apa saja demi bisa hidup bersamamu.” Apa yang terjadi selanjutnya? Mampukah Julian meluluhkan hati sang sekretaris dan meyakinkannya bahwa cinta mereka layak diperjuangkan?
Amber Lim terkenal akan gaya hidup yang mewah dan kecantikan yang memukau. Namun sayang, perempuan itu juga dikenal sebagai perusak hubungan orang alias pelakor internasional. Menyesali sikap buruknya, ia pun bertekad untuk memulai hidup baru. Tanpa memedulikan musim dingin ekstrem yang sedang berlangsung, Amber pergi ke utara untuk berguru dengan Adam Smith, desainer perhiasan terbaik dunia yang misterius. Malangnya, di tengah perjalanan, Amber dirampok dan ditinggalkan di sebuah hutan. Hanya ada sebuah pondok kecil yang dapat menyelamatkannya dari beku, dan hanya ada satu orang yang dapat membantunya bertahan hidup—Tuan Dingin. Tidak ada yang tahu nama asli Tuan Dingin. Ia sengaja hidup menyendiri dan sangat tidak suka diganggu. Penduduk desa terdekat bahkan memanggilnya kanibal karena minimnya rasa kemanusiaan dalam diri pria itu. Padahal sesungguhnya, Tuan Dingin hanyalah seorang duda yang sangat membenci wanita, apalagi pelakor. Lantas, apa yang akan terjadi selanjutnya? Mampukah Amber menaklukkan Tuan Dingin dan pulang dengan selamat? Atau justru ... berakhir menjadi santapan lezat sang duda?
Joelle mengira dia bisa mengubah hati Adrian setelah tiga tahun menikah, tetapi dia terlambat menyadari bahwa hati itu sudah menjadi milik wanita lain. "Beri aku seorang bayi, dan aku akan membebaskanmu." Pada hari Joelle melahirkan, Adrian bepergian dengan wanita simpanannya dengan jet pribadi. "Aku tidak peduli siapa yang kamu cintai. Utangku sudah terbayar. Mulai sekarang, kita tidak ada hubungannya satu sama lain." Tidak lama setelah Joelle pergi, Adrian mendapati dirinya berlutut memohon. "Tolong, kembalilah padaku."
"Anda tidak akan pernah mengahargai apa yang Anda miliki sampai Anda kehilangannya!" Inilah yang terjadi pada Satya yang membenci istrinya sepanjang pernikahan mereka. Tamara mencintai Satya dengan sepenuh hati dan memberikan segalanya untuknya. Namun, apa yang dia dapatkan sebagai balasannya? Suaminya memperlakukannya seperti kain yang tidak berguna. Di mata Satya, Tamara adalah wanita yang egois, menjijikkan, dan tidak bermoral. Dia selalu ingin menjauh darinya, jadi dia sangat senang ketika akhirnya menceraikannya. Kebahagiaannya tidak bertahan lama karena dia segera menyadari bahwa dia telah melepaskan sebuah permata yang tak ternilai harganya. Namun, Tamara telah berhasil membalik halaman saat itu. "Sayang, aku tahu aku memang brengsek, tapi aku sudah belajar dari kesalahan. Tolong beri aku kesempatan lagi," pinta Satya dengan mata berkaca-kaca. "Ha ha! Lucu sekali, Satya. Bukankah kamu selalu menganggapku menjijikkan? Kenapa kamu berubah pikiran sekarang?" Tamara mencibir. "Aku salah, sayang. Tolong beri aku satu kesempatan lagi. Aku tidak akan menyerah sampai kamu setuju."Dengan marah, Tamara berteriak, "Menyingkirlah dari hadapanku! Aku tidak ingin melihatmu lagi!"
Setelah malam yang penuh gairah, Viona meninggalkan sejumlah uang dan ingin pergi, tetapi ditahan oleh sang pria. "Bukankah giliranmu untuk membuatku bahagia?" Viona, selalu menyamar sebagai wanita jelek, tidur dengan om tunangannya, Daniel, untuk melarikan diri dari pertunangannya dengan tunangannya yang tidak setia. Daniel adalah sosok yang paling dihormati dan dikagumi di kota. Kabar tentang petualangan romantisnya beredar, beberapa mengatakan mereka melihatnya mencium seorang wanita di dinding dan yang lain menyebutnya gosip. Siapa yang bisa menjinakkan hati Daniel? Kemudian, yang mengejutkan, Daniel ketahuan membungkuk untuk membantu Viona mengenakan sepatu, semata-mata demi mendapatkan ciuman darinya!
Nafas Dokter Mirza kian memburu saat aku mulai memainkan bagian bawah. Ya, aku sudah berhasil melepaskan rok sekalian dengan celana dalam yang juga berwarna hitam itu. Aku sedikit tak menyangka dengan bentuk vaginanya. Tembem dan dipenuhi bulu yang cukup lebat, meski tertata rapi. Seringkali aku berhasil membuat istriku orgasme dengan keahlihanku memainkan vaginanya. Semoga saja ini juga berhasil pada Dokter Mirza. Vagina ini basah sekali. Aku memainkan lidahku dengan hati-hati, mencari di mana letak klitorisnya. Karena bentuknya tadi, aku cukup kesulitan. Dan, ah. Aku berhasil. Ia mengerang saat kusentuh bagian itu. "Ahhhh..." Suara erangan yang cukup panjang. Ia mulai membekap kepalaku makin dalam. Parahnya, aku akan kesulitan bernafas dengan posisi seperti ini. Kalau ini kuhentikan atau mengubah posisi akan mengganggu kenikmatan yang Ia dapatkan. Maka pilihannya adalah segera selesaikan. Kupacu kecepatan lidahku dalam memainkan klitorisnya. Jilat ke atas, sapu ke bawah, lalu putar. Dan aku mulai memainkan jari-jariku untuk mengerjai vaginanya. Cara ini cukup efektif. Ia makin meronta, bukan mendesah lagi. "Mas Bayuu, oh,"
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."