Demi menyekolahkan keponakannya, Renaldi, Sam Rahardja rela menjadi kurir narkoba dengan bayaran sedikit karena harus dibagi dengan temannya yang super pelit, Galih. Namun, suatu ketika Galih mengatakan kalau Sam harus mencari pekerjaan lain lantaran ia ingin berhenti jadi kurir narkoba dan pulang kampung. Sam yang keuangannya menipis, memutar otak, memikirkan pekerjaan apa yang bisa dilakukan seorang luusan SMP sepertinya di ibu kota. Ketika itulah Sena datang dengan segala pengetahuannya tentang masa silam keluarga Sam beserta ancaman: kalau Sam tidak mau bekerja dengannya, Sam akan dilaporkan ke polisi karena mengedarkan obat terlarang, dan Renaldi tidak bisa sekolah. Akhirnya, Sam menerima tawaran Sena. Sayangnya, penyesalan datang terlambat. Pekerjaan yang Sena tawarkan adalah pekerjaan menjual diri.
Seorang lelaki masih enggan beranjak dari tempatnya berbaring. Tangannya terulur memeluk gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rumput liar. Mata bengkaknya terdapat lingkar hitam efek tidur beberapa jam dalam sehari selama dua minggu. Bahkan ada hari di mana ia tidak terlelap barang sedetik pun. Tubuhnya terlihat kurus dengan kaos oblong pendek dan celana kolor.
"Mas, udah mau malem. Nanti dicariin." Sudah sekian kali lelaki tua penjaga makam menyuruhnya pulang. Namun, si lelaki kurus tetap bergeming.
Penjaga makam menatapnya iba. Dua minggu lalu, ia melihat jelas bagaimana si kurus berteriak memanggil nama yang ada di batu nisan. Memeluk tanah basah dengan bibir terus bergumam, kemudian menangis tanpa suara.
"Enggak ada yang bakal nyari saya, Pak. Yang suka nyariin saya aja di sini, kok," sahut si lelaki kurus.
Tahu rasanya ditinggalkan, penjaga makam duduk di dekat kepala si kurus. "Sayangnya, dia sudah tidak bisa memarahi kamu lagi. Iya, 'kan?"
Si kurus menghentikan tangannya mengelus tanah. Ditatapnya batu nisan seolah ia tengah menyampaikan perasaan sesal yang mendalam. Air matanya jatuh lagi. "Maaf ... maafin gue yang bego ini."
Lelaki tua di sampingnya ikut menitikkan air mata, kemudian jemari keriputnya menggenggam lembut tangan si kurus. "Melihat rasa sayang kamu yang sebesar ini, saya yakin dia sudah memaafkan kamu."
Si kurus pun bangkit, duduk menyila dengan bahu bergetar. "Apa kesalahan saya masih bisa dimaafkan, Pak? Dia yang menyelamatkan saya, dia yang membuat hidup saya berwarna, tapi yang saya lakukan ... saya membunuhnya, Pak."
Lelaki berwajah keriput menyibak rambut kumal si kurus. Tiupan angin menguarkan bau tidak sedap dari sana. Bibir hitamnya tersenyum pilu. Sudah berapa hari laki-laki ini tidak keramas?
"Sudah aku bilang, bukan kamu yang membunuhnya!"
Dari belakang, seorang wanita cantik dengan pakaian serba hitam menyentak dua lelaki itu. Penjaga makam langsung menoleh, tetapi tidak dengan si kurus berkaos oblong. Sepertinya, tanpa menoleh dia sudah mengenali pemilik suara tadi.
"Kamu harus pulang!" ucap wanita tersebut setelah berada di sebelah si kurus. Namun, si kurus tak bergerak. Menoleh pun tidak. Matanya hanya menatap batu nisan kosong.
"Iya, Mas. Pulang. Meski enggak ada yang nyari, seenggaknya Mas kasihan sama tubuh sendiri." Penjaga makam ikut membujuk.
"Yang pantas disalahkan atas kematian dia itu aku. Jadi, tolong berhenti siksa diri kamu sendiri," ujar si wanita lagi.
Tanpa disangka, lelaki kurus itu berdiri, menatap mata si wanita. "Iya. Semuanya memang salah lo," ucapnya. "Kalau aja lo enggak egois, sekarang dia masih ada sama gue."
Pak tua penjaga makam ingin melerai karena langit mulai gelap dan burung hantu mulai bernyanyi di naungan pohon kantil. Namun, si wanita sudah lebih dulu bersimpuh di hadapan si kurus, bersimbah air mata.
"Iya. Salahkan semuanya ke aku. Sekarang, silakan kamu pulang." Sang wanita menyeka butiran bening di wajahnya sebentar. "Karena aku yakin, dia enggak mau orang yang paling dia sayangi, orang yang paling dia banggakan sakit. Jadi, tolong, pulang. Biarin dia tenang."
Si kurus menekuk lutut, mengusap ukiran nama di batu nisan. Lirih, ia berkata, "Maaf ... maafin gue yang bego ini."
Terik Satu
Di tengah kebisingan ibu kota, Sam berlari mengendap-endap dari gang sempit satu ke gang sempit lainnya. Tidak jauh di belakangnya, tiga orang polisi terus mengejarnya. Napas lelaki itu mulai tersengal, keringat membanjiri kaos hitam polosnya. Mata gelapnya memindai setiap tempat yang ia lalui, mulai dari tong sampah, sela-sela rumah, selokan tidak ada satu pun tempat yang bisa ia jadikan persembunyian. Sungguh, ia tidak kuat berlari lebih jauh lagi.
Lelaki kurus itu berhenti sejenak, memegang lutut sembari mengatur napas dan debar jantungnya yang jelas terdengar. Rasa ingin menyerahkan diri tiba-tiba terbersit di otaknya. Namun, sisi otaknya yang lain menampilkan wajah seorang pemuda mengangkat piala dan menyentaknya dari keputusasaan.
Bunyi sepatu dan teriakan di belakang memacu semangat Sam untuk berlari lagi menuju belokan gang yang lebih sempit dan gelap. Siapa sangka, gang gelap itu membawanya pada rumah kecil yang sekitarnya ditumbuhi rumput liar. Pintu rumah itu sedikit terbuka, memperlihatkan ruangan tanpa pendar cahaya.
Sam menoleh ke belakang sekilas untuk memastikan polisi-polisi tadi belum melihatnya. Segera, ia memasuki rumah itu, lalu menutup pintu dan menyandarkan diri di sana.
Menunggu situasi aman, Sam menyalakan ponsel. Ada dua pesan masuk. Satu dari keponakannya dan yang satu dari Galih, rekan sekaligus atasannya. Belum sempat membaca isi pesan tersebut, derap langkah kaki di luar membuatnya menempelkan layar ponsel ke perutnya, jaga-jaga kalau cahaya ponselnya bisa terlihat dari luar.
"Perasaan tadi nggak dikunci, deh."
Sam meneguk ludah, antara lega dan takut. Bukan suara maskulin lelaki, tetapi suara perempuan dan ia cukup yakin kalau perempuan itulah si pemilik rumah tidak terawat ini. Bisa jadi ketika ia keluar nanti, si perempuan mengiranya maling lalu melaporkannya ke polisi, tetapi, menunggu pintu didobrok bukan pilihan tepat.
Sam menggigit bibir bimbang. "Polisinya masih ada, Mbak?"
Pintu langsung didorong kuat hingga Sam nyaris terjengkang ke lantai. Setelahnya si perempuan meraih sakelar di dinding, menyalakan lampu.
Lidah Sam mendadak kelu, tidak menyangka rumah kecil, tersembunyi, dan tidak terawat ini dihuni seorang bidadari bertubuh mungil dengan rambut panjang bergelombang. Mata bulatnya melotot marah, tapi menggemaskan. Hidung mancungnya kembang kempis, tapi tidak sedikit pun mengurangi kecantikannya. Lalu bibir merah muda-
"Siapa kamu?!" gertak sang gadis mengalihkan fokus Sam.
"Maaf, Mbak. Saya cuma numpang sembunyi-"
"Polis-"
Sam membekap mulut gadis mungil tersebut sebelum benar-benar berteriak. "Gue enggak ambil apa pun di rumah lo. Kalau sampai lo panggil polisi, nyawa lo yang bakal melayang sebelum mereka datang," ancamnya.
Sedikit ketakutan, gadis itu mengangguk, dan Sam melepaskannya. "Saya cuma takut kamu penjahat," cicitnya.
"Gue bisa jadi penjahat beneran kalau lo teriak tadi." Sam kembali menilik ponselnya, membaca pesan yang sudah bertambah meski dari pengirim yang sama. "Lo ada minum nggak? Gue haus."
"Enggak. Rumah ini enggak ada apa-apanya."
Sam menghela napas seraya mengetik balasan untuk dua orang yang mengirimnya pesan. Pandangannya tertuju pada kantong plastik hitam di tangan sang bidadari.
"Terus itu apa?"
Seperti barang berharga, gadis itu langsung menyembunyikan plastik tersebut di balik punggungnya.
Sam mencebik, tidak lagi peduli pada rasa hausnya. Ia memilih duduk di kursi kayu tidak jauh dari tempatnya berdiri, fokus pada ponselnya. Sementara itu, si pemilik rumah menatapnya heran.
"Ngapain masih di situ!"
"Capek, abis lari-lari," jawab Sam santai tanpa mengalihkan tatapan dari ponsel.
Gadis itu berdecak, sedangkan Sam berdeham, membiarkan si tubuh ramping berlalu masuk ke salah satu ruangan di sana. Ia melongok ke luar, sepertinya polisi tadi tidak mampu mengetahui keberadaanya.
Satu panggilan masuk dari keponakannya. "Halo, Di?"
"Lo di mana? Kok, belum pulang?"
Sam mengingat sebentar tempatnya bertransaksi tadi. "Kebon Melati," jawabnya. "Mau pesen apa?"
"Milkita aja, deh."
"Buku gambar? Pensil? Alat tulis lain?"
Sudah hampir sebulan Renaldi tidak pernah meminta alat-alat menggambar lagi. Walau usianya sudah remaja, keponakannya itu suka menggambar sketsa dan gambar-gambar unik lainnya. Sam tidak melarangnya. Lagi pula, kegiatan tersebut untuk mengisi waktu luang Renaldi selama setahun ini lantaran berhenti sekolah.
"Um ... boleh, deh."
Senyum Sam mengembang teringat sesuatu. "Gue tadi digaji banyak. Besok lo bisa sekolah lagi."
Tidak ada sahutan dari seberang.
"Di?"
"Gue mau boker. Jangan lupa Milkitanya."
Usai pangggilan ditutup, Sam meletakkan ponselnya di meja, kemudian mengecek tas selempangnya. Melihat amplop tebal di sana, bayangan hal-hal apa yang ingin ia lakukan menari-nari di benaknya. Mendaftarkan sekolah Renaldi, membelikan seragam baru, tas, dan ponsel yang lebih memadai untuk menunjang belajar Renaldi di sekolah barunya nanti.
Sam menyandarkan punggung, menikmati euforia yang melambung. Tabungannya sudah cukup untuk membeli motor juga, tapi ia harus tetap berhemat karena tidak selalu mendapat panggilan untuk mengantar barang. Sekolah tempat Renaldi mendaftar besok, bukan sekolah yang sebulan cukup dengan uang satu jutaan. Jadi, Sam harus tetap menghemat.
Malam kian dingin. Sam merapatkan jaket hitamnya siap keluar dari rumah kecil penuh debu ini. Bangkit dari kursi, lelaki itu menuju ruangan yang tadi dimasuki sang pemilik rumah. Baru hendak mengetuk pintu ruangan di depannya, ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan dari Renaldi, melainkan Galih, atasannya.
"Sam, lo aman, 'kan?"
"Aman. Kenapa?"
"Udah dibayar sama si crazy rich?"
"Udah. Kenapa, sih?"
Galih terdengar mengembuskan napas. "Itu gaji terakhir lo."
Sam mengerjap. "Hah? Gimana?"
"Gue mau berhenti jadi bandar, Sam. Dan lo enggak perlu jadi kurir lagi."
"Jangan ngada-ngada, Lih. Kalau enggak jadi kurir gue kerja apa?"
"Gue mau pulkam. Jadi, gue serius, Sam," sahut Galih dengan suara beratnya. "Lo bisa cari kerjaan lain."
Sam meremas rambut ikalnya. "Terus gue biayain Renaldi pake apa? Tabungan gue belum tentu cukup sampai dia lulus."
"Lo bisa cari kerjaan lain, Sam."
Panggilan ditutup. Sam meninju pintu hingga pintu tersebut terbuka dan si pemilik rumah tahu-tahu mengulurkan sebotol air mineral padanya.
"Capek, 'kan, abis lari-lari?"
Sam terpaku. Sang gadis berkata lagi, "Kalau capek lari, berhenti, istirahat."
***
Kebumen, 30 Agustus 2021
Di antara teman-temannya, hanya Nina yang masih stay dalam status jomblo sejak lahir. Katanya hidupnya membosankan karena selalu berkutat pada tugas, menulis, dan rebahan. Sampai akhirnya ia bosan dengan rutinitas harian monotonnya dan secara ajaib, ia menemukan aplikasi kencan anonim yang mana penggunanya bebas berinteraksi tanpa mengganggu privasi lantaran saat bertukar pesan, para pengguna menggunakan email pribadi. Dan apes bagi Nina, karena iklan yang ia pasang di profil dibalas oleh dosennya yang cupu.
Andres dikenal sebagai orang yang tidak berperasaan dan kejam sampai dia bertemu Corinna, wanita yang satu tindakan heroiknya mencairkan hatinya yang dingin. Karena tipu muslihat ayah dan ibu tirinya, Corinna hampir kehilangan nyawanya. Untungnya, nasib campur tangan ketika dia menyelamatkan Andres, pewaris keluarga yang paling berpengaruh di Kota Driyver. Ketika insiden itu mendorong mereka untuk bekerja sama, bantuan timbal balik mereka dengan cepat berkembang menjadi romansa yang tak terduga, membuat seluruh kota tidak percaya. Bagaimana mungkin bujangan yang terkenal menyendiri itu berubah menjadi pria yang dilanda cinta ini?
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
21++ Bocil dilarang mampir Kumpululan Kisah Panas Nan Nakal, dengan berbagai Cerita yang membuat pembaca panas dingin
Salah kamar mengakibatkan Claudia terjebak dalam hubungan rumit yang tak seharusnya terjadi. Malam itu, harusnya Christian menghabiskan malam panas dengan calon istrinya. Namun, siapa sangka kalau berujung pada Christian yang malah masuk ke dalam kamar Claudia—yang mana adik dari calon istrinya. Semua bermula dari sini. Claudia dan Christian terjebak dalam sebuah hubungan yang tak seharusnya terjadi. Hal yang membuat semakin rumit adalah Claudia dan Christian harus tinggal satu atap. Mungkinkah skandal ini akan tercium? Lantas, bagaimana akhir dari kisah Claudia dan Christian? Kesalahan satu malam membawa mereka dalam sebuah lingkaran api. *** Follow me on IG: abigail_kusuma95
Novel ini berisi kumpulan beberapa kisah dewasa terdiri dari berbagai pengalaman percintaan panas dari beberapa tokoh dan karakter yang memiliki latar belakang keluarga dan lingkungan rumah, tempat kerja, profesi yang berbeda-beda serta berbagai kejadian yang diaalami oleh masing-masing tokoh utama dimana para tokoh utama tersebut memiliki pengalaman bercinta dan bergaul dengan cara yang unik dan berbeda satu sama lainnya. Suka dan duka dari tokoh-tokoh yang ada dalam cerita ini baik yang protagonis maupun antagonis diharapkan mampu menghibur para pembaca sekalian. Semua cerita dewasa yang ada pada novel kumpulan kisah dewasa ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga menambah wawasan kehidupan percintaan diantara insan pecinta dan mungkin saja bisa diambil manfaatnya agar para pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap kisah yan ada di dalam novel ini. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Karin jatuh cinta pada Arya pada pandangan pertama, tetapi gagal menangkap hatinya bahkan setelah tiga tahun menikah. Ketika nyawanya dipertaruhkan, dia menangis di kuburan orang terkasihnya. Itu adalah pukulan terakhir. "Ayo bercerai, Arya." Karin berkembang pesat dalam kebebasan barunya, mendapatkan pengakuan internasional sebagai desainer. Ingatannya kembali, dan dia merebut kembali identitasnya yang sah sebagai pewaris kerajaan perhiasan, sambil merangkul peran barunya sebagai ibu dari bayi kembar yang cantik. Arya panik ketika pelamar yang bersemangat berduyun-duyun ke arah Karin. "Aku salah. Tolong biarkan aku melihat anak-anak kita!"