/0/5389/coverbig.jpg?v=3f1a2b7c62c06963606a529b41b5320f)
Kehidupan yang berkecukupan tidak selalu membuat seseorang bahagia. Terbukti dengan kehidupan dua pribadi, Keenan dan Lilian. Keenan yang memiliki trauma dengan wanita, dan Lilian yang memiliki sakit hati serta trauma dengan masa lalunya, membuat mereka tidak bisa menerima kehadiran cinta begitu saja. "Mari kita selesaikan masa lalu terlebih dahulu baru menjalani hubungan yang lebih serius," ujar Keenan. "Memaafkan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Tetapi, demi cinta dan diriku sendiri, aku akan mengusahakannya," jawab Lilian. Bagaimana cara Keenan dan Lilian melewati proses kehidupan untuk meraih kebahagiaan bersama?
Lilian POV
"Sayang, kamu masih belum sehat lho. Kita langsung pulang ke apartment saja ya?" ajak Finn.
Dari raut wajahnya, aku bisa melihat kalau Finn sangat khawatir dan aku bisa memahaminya.
Pasalnya, aku baru saja sembuh dari sakit demam dan pusing selama dua hari kemarin akibat datang bulan. Berhubung hari ini aku sudah merasa jauh lebih baik, aku memaksakan diri untuk ke kampus walaupun masih terasa lemas.
Maklum saja, aku memang paling tidak suka berdiam diri di apartment. Aku lebih baik duduk di dalam kelas dan mendengarkan dosen mengajar, daripada harus belajar sendirian di dalam kamar.
Oh, iya, perkenalkan, namaku Lilian. Usiaku dua puluh dua tahun. Saat ini aku sedang kuliah desain di Singapura. Sedangkan keluarga besar aku tinggal di Jakarta. Untuk sementara, hanya itu dulu perkenalanku, karena aku harus merayu Finn agar dia mau mengantarku ke toko baju.
"Tolonglah mampir ke toko baju yang ada di jalan Orchard, sebentar saja. Aku ingin membeli sesuatu," pintaku sedikit memelas.
"Kamu ingin membeli apa? Masih bisa ditunda, 'kan?" tanya Finn masih berusaha membujukku, sambil tetap fokus menyetir.
"Sebentarrr saja. Janji ... hanya sebentar." Aku mengangkat kedua tanganku sambil menunjukkan dua jari telunjuk dan jari tengah yang membentuk huruf V, sebagai tanda kalau aku benar-benar janji tidak akan berlama-lama di toko baju favoritku itu.
"Bagaimana kalau besok saja? Aku janji akan menemanimu seharian belanja," tawar Finn, belum menyerah.
Dengan cepat aku menggeleng. "Tidak mau. Aku bukan ingin belanja kok. Aku hanya ingin membeli satu pakaian saja. Ya ya? Pleaseee ...."
Finn menoleh ke arahku sekilas lalu tangan kirinya membelai kepalaku dengan sayang sambil tetap fokus menyetir.
"Baiklah. Kalau begitu aku tidak perlu ikut turun, 'kan?" Finn pasti sedang menguji perkataanku. Biasanya, kalau benar-benar hanya sebentar, aku memang lebih suka jalan sendiri, agar aku bisa bergerak dengan leluasa. Sedangkan Finn hanya perlu menunggu di mobil saja.
"Iya, tidak perlu," jawabku bersemangat.
Finn tersenyum dan mengarahkan mobilnya ke toko baju yang aku maksudkan.
Setibanya di depan toko, Finn memarkirkan kendaraannya di tepi jalan, di dekat trotoar, dan membiarkan aku turun sendiri.
Sembari menungguku, Finn biasanya akan memeriksa pesan yang sudah menumpuk di ponselnya.
Finn itu kekasihku. Kami pacaran sejak dua tahun belakangan. Beda usia kami empat tahun, dia lebih tua dariku. Di usianya yang terbilang masih muda itu, dia sudah memiliki bisnis sendiri dan sebenarnya dia itu orang yang sangat sibuk.
Meskipun demikian, rasa cintanya padaku, membuat Finn selalu meluangkan waktu untuk mengantar dan menjemputku ke kampus, atau ke mana pun aku ingin pergi.
Seperti hari ini, di tengah-tengah kesibukannya, Finn masih menjemputku di kampus. Apalagi kondisiku yang baru sembuh begini, tentu membuat Finn tidak akan mengijinkanku pergi sendirian.
Ah, sungguh beruntung diriku ini, bisa memiliki seorang kekasih seperti Finn. Di dunia ini, aku merasa cukup memiliki seorang Finn. Ya, sama seperti Finn, aku pun sangat mencintainya.
*****
Di dalam toko ... Dengan sedikit terburu-buru, aku melangkah menuju ke bagian pakaian pria.
Aku terus fokus untuk melihat-lihat, dan dengan gerakan tangan yang sangat cepat aku menggeser gantungan baju agar bisa melihat model pakaian dengan lebih jelas.
Hingg beberapa saat kemudian, tanpa sengaja, tiba-tiba aku menabrak seseorang.
Buk!
Dengan cepat aku menjaga keseimbangan tubuhku lalu menoleh ke arah laki-laki yang kebetulan berdiri di belakangku itu sambil menundukkan kepala.
"Maaf ... maaf ... saya sedang terburu-buru dan tidak sengaja menabrak Anda." ucapku dalam bahasa Inggris.
"Iya, tidak apa-apa," jawab laki-laki itu ramah, juga dalam bahasa Inggris.
Aku pun mengangguk lalu kembali melihat-lihat hingga tanganku dan tangan laki-laki itu meraih satu kemeja yang sama.
Merasa tidak enak, aku mempersilakan laki-laki itu melihatnya terlebih dahulu. Namun, aku masih terus memerhatikan kemeja itu. Merasa suka dengan modelnya, aku mendekati seorang pelayan toko yang kebetulan sedang merapikan pakaian di dekat posisi aku berdiri.
"Aku menyukai kemeja yang dipegang oleh laki-laki itu. Apa kamu punya yang ukuran L?" tanyaku, tentu saja dengan menggunakan bahasa Inggris.
"Mohon tunggu sebentar, saya akan cek stock barang terlebih dahulu," jawab petugas toko itu sambil memeriksa stock barang melalui alat yang dipegangnya.
Sedangkan aku menunggu di sampingnya dengan sabar.
"Hm, stock-nya hanya tinggal satu saja, yang dipegang oleh laki-laki itu," tunjuk petugas toko itu.
"Ah, benarkah?" gumamku agak kecewa.
"Mohon maaf," ucap petugas toko itu.
Aku hanya mengangguk dan membiarkan petugas toko itu melanjutkan pekerjaannya.
Laki-laki yang tadi tidak sengaja aku tabrak itu sepertinya mendengar pembicaraan antara aku dan petugas toko karena tiba-tiba saja dia menoleh dan memberikan kemeja tersebut padaku.
"Ini, silakan kalau kamu memang berniat ingin membelinya," ujar laki-laki itu.
"Ah, tidak tidak ... kamu sudah memegangnya terlebih dahulu. Aku akan memilih kemeja yang lain," jawabku sambil tersenyum canggung.
Aku masih merasa tidak enak karena baru saja aku sudah menabrak laki-laki itu dan aku tidak ingin merebut kemeja yang menurutku akan sangat cocok kalau dikenakan oleh Finn.
"Sudah, tidak apa-apa ... ini, ambillah!" Laki-laki itu berkata dengan nada bicara yang menurutku sedikit memaksa.
"Kamu benar-benar tidak mau?" tanyaku sedikit ragu.
"Tidak," jawab laki-laki itu.
"Baik, kalau begitu aku yang akan membelinya. Terima kasih banyak," ujarku tak ingin berlama-lama.
Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, aku merasa laki-laki itu terus melihat ke arah kemeja pria yang aku bawa ke kasir. Apa dia sudah menyesal memberikan kemeja ini padaku?
Setelah membayar, aku buru-buru melangkah kembali ke mobil. Namun, sebelum itu, aku menyempatkan diri untuk menoleh ke arah laki-laki tadi dan menganggukkan kepala sekadar untuk pamit.
Tepat ketika aku sudah meninggalkan toko dan kurang beberapa langkah lagi akan tiba di mobil, tiba-tiba aku mendengar suara yang teramat keras hingga aku berhenti berjalan.
BRAK!
TIN! TINNNNNN!
Mataku terbelalak ketika melihat mobil milik Finn bergeser dengan kasar sampai mengenai pembatas trotoar, diikuti suara klakson mobil yang saling bersahutan.
Saat ini tubuhku mendadak lemas, jantungku berdetak sangat cepat, napasku terasa sesak, dan kakiku bahkan terasa sangat sulit untuk digerakkan. Pikiranku benar-benar kosong. Antara percaya dan tidak percaya melihat mobil sport warna hitam milik Finn ditabrak dari samping oleh sebuah mobil atau sesuatu yang ukurannya jauh lebih besar, hingga terpental sebegitunya.
Tanpa sadar, aku terduduk di trotoar dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata, tidak memedulikan suara orang di sekitar yang sibuk bertanya-tanya.
"Finn," gumamku dengan bibir yang gemetar.
Bertahun-tahun Davina memendam cinta pada Nathan Evano tanpa berani memperlihatkannya karena mengira dia bukan tipe perempuan yang disukai oleh lelaki itu. Sepuluh tahun setelah mereka berpisah, takdir mempertemukan mereka lagi dalam kesalahpahaman yang menimbulkan berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Nathan yang Davina temui, tidak seperti Nathan yang ia kenal sepuluh tahun lalu. Ralat! Tidak sepenuhnya berbeda karena karakternya saat bersama gadis itu masih sama. Akan tetapi, diam-diam bekerja sama dengan suatu badan intelligence membuat laki-laki tampan itu tampak berbeda dan penuh misteri. Lalu, siapakah sebenarnya lelaki yang Davina temui? Benarkah dia Nathan Evano, teman masa kecilnya dulu? Atau seseorang yang kebetulan berwajah sama? Kisah romantis berpadu dengan adegan menegangkan akan membuat kalian penasaran dengan cerita ini. Mohon bijak dalam membacanya.
Kabur dari rumah orang tua angkat demi menghindari papa tiri yang berniat menggauli dirinya, membuat Yoan bertemu dengan Kenzo. Kala kehidupan terasa aman dan menyenangkan, itu hanya sesaat saja. Cinta dan kepercayaan itu penting di dalam sebuah hubungan. Namun, apa yang terjadi saat kepercayaan pada diri sendiri hilang?
Untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya, Sabrina mengadakan pernikahan tergesa-gesa dengan pria yang belum pernah dia temui sebelumnya. Namun, bahkan setelah menjadi suami dan istri di atas kertas, mereka masing-masing menjalani kehidupan yang terpisah, dan tidak pernah bertemu. Setahun kemudian, Sabrina kembali ke Kota Sema, berharap akhirnya bertemu dengan suaminya yang misterius. Yang mengejutkannya, pria itu mengiriminya pesan teks, tiba-tiba meminta cerai tanpa pernah bertemu dengannya secara langsung. Sambil menggertakkan giginya, Sabrina menjawab, "Baiklah. Ayo bercerai!" Setelah itu, Sabrina membuat langkah berani dan bergabung dengan Grup Seja, di mana dia menjadi staf humas yang bekerja langsung untuk CEO perusahaan, Mario. CEO tampan dan penuh teka-teki itu sudah terikat dalam pernikahan, dan dikenal tak tergoyahkan setia pada istrinya. Tanpa sepengetahuan Sabrina, suaminya yang misterius sebenarnya adalah bosnya, dalam identitas alternatifnya! Bertekad untuk fokus pada karirnya, Sabrina sengaja menjaga jarak dari sang CEO, meskipun dia tidak bisa tidak memperhatikan upayanya yang disengaja untuk dekat dengannya. Seiring berjalannya waktu, suaminya yang sulit dipahami berubah pikiran. Pria itu tiba-tiba menolak untuk melanjutkan perceraian. Kapan identitas alternatifnya akan terungkap? Di tengah perpaduan antara penipuan dan cinta yang mendalam, takdir apa yang menanti mereka?
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Warning! Banyak adegan dewasa 21+++ Khusus untuk orang dewasa, bocil dilarang buka!