/0/4036/coverbig.jpg?v=473a27fc43596af9b2a65155816e42d9)
Berawal dari rasa sakit hati Rasti terhadap ibu sahabatnya yang dianggapnya sebagai penyebab kembarannya depresi dan akhirnya memilih bunuh diri hingga menyebabkan sang ibu pun harus menjadi pasien rehabilitasi jiwa. Membuatnya menghalalkan berbagai cara untuk menuntaskan dendamnya, teror demi teror dia ciptakan. Ilmu pengasihan dia tekuni demi melancarkan dendamnya, sahabat masa kecil dia korbankan demi terlaksananya semua rencana. Kobaran api dendam semakin tak berujung, ketika sang sahabat yang berhasil dihancurkannya menuntut balas. Demi membalaskan sakit hatinya, sang sahabat rela menjadi pengabdi setan. Berbagai ilmu hitam dia tekuni, demi membalas semua perbuatan Rasti kepadanya. Api dendam baru berakhir saat semuanya telah hancur tak bersisa, Rasti hancur setelah beberapa kali harus kehilangan calon anak tercintanya yang mengakibatkan semua kejahatannya diketahui oleh sang suami yang hancur perasaannya karena terlambat mengetahui perbuatan istri tercintanya, sang sahabat pun hancur setelah jiwanya terganggu akibat ilmu-ilmu hitam yang dianutnya mulai tak sejalan. Berusaha kembali ke jalan yang fitrah adalah pilihan yang terbaik untuk mengakhiri semuanya. Dosa tetaplah dosa, hanyalah keyakinan bahwa Yang Maha Kuasa akan mengampuni semua dosanya yang menjadi pegangan dalam hidup mereka setelahnya. Semua manusia adalah pemimpin atas dirinya pribadi, semua perbuatan pasti ada pertanggungan jawabnya kelak. Jangan terbius dengan dendam karena dendam hanya akan menghancurkan.
Di dalam kamarnya yang hanya diterangi dengan sebuah lilin, Kania mengambil boneka jerami berbalut kain kafan yang sudah tertempel foto Rasti. Tanpa ampun, Kania menusuk bagian perut boneka jerami itu berkali-kali.
Dengan wajah bengis dan perasaan penuh dendam, Kania menusuki boneka jerami itu terkadang boneka itu di remasnya dengan sekuat tenaga, seolah ingin mematahkan badan Rasti melalui boneka jerami berbalut kafan itu.
"Rasakan itu, Rasti! Arga lebih pantas untukku!" ucap Kania dengan tawa bahagia.
Sejenak kemudian Kania tiba-tiba terdiam mengingat kenangan manisnya bersama Arga, tetapi raut wajah dan rahangnya langsung mengeras ketika dia mengingat kembali luka yang disebabkan oleh lelaki itu dan sahabatnya, Rasti.
"Arga, kamu adalah milikku! Selamanya tetap milikku! Hanya milikku!".
Tiba-tiba angin berhembus tak wajar ke dalam kamarnya yang tertutup rapat itu. Buku-buku yang tersusun rapi di lemari buku sebelah tempatnya duduk mendadak jatuh berserak ke lantai tanpa ada yang menyentuhnya dan samar hidungnya mulai mencium aroma amis yang tak biasa.
Seketika tengkuk Kania meremang, dia semakin yakin dendamnya akan segera terbalaskan.
"Datang ... datanglah! Aku memanggilmu, aku akan menjadi pengikutmu yang setia!"
Kania benar-benar sudah tidak bisa berpikir jernih lagi, karena luka yang tergores dalam di hatinya.
Dalam benak Kania sekarang yang ada hanyalah mewujudkan keinginannya untuk membalaskan dendam, sakit hati, kecewa, malu, marah kepada pasangan suami istri tersebut.
"Datanglah! Aku memerlukan bantuanmu! Bantu aku menuntaskan dendamku pada perempuan lacur ini! Datang! Mendekatlah!"
Hembusan angin yang membawa aura dingin itu semakin mencekam dengan ditingkahi suara lolongan anjing di kejauhan.
Mantra demi mantra diucapkannya dan seakan menjawab keinginannya, tiba-tiba terdengar bisikan-bisikan tidak kasat mata yang seakan ingin mengatakan bahwa 'mereka' siap membantu Kania yang sudah terbakar api dendamnya.
'Aku datang memenuhi panggilanmu! Katakan apa maumu maka akan kupenuhi semua permintaanmu dengan syarat beri aku sesuatu untuk kumakan!' Terdengar suara parau dan basah berbisik di dekat telinganya.
"Ambil yang kau inginkan dari perempuan itu! Dia milikmu! Dia milikmu! Hahaha," tawa Kania.
****
"Rasti, kamu di mana, Sayang?" Arga berjalan menuju dapur mencari Rasti, istri yang sekarang sedang mengandung buah hati pertama mereka.
Mendengar suara suaminya, gegas Rasti bangun dan duduk di atas kasur springbed tempat peraduannya dengan suaminya tercinta.
"Iya, Mas, aku sedang rebahan di kamar," jawab Rasti dari arah kamar.
Mendengar suara istri yang dicarinya dari dalam kamar, Arga bergegas menuju ke kamar dan mendapati perempuan itu tengah duduk menghadap pintu sambil merapikan rambut panjangnya yang kusut.
"Kok tumben masih pagi gini kamu tidur?" tanya Arga keheranan melihat Rasti masih setia berada di atas springbed.
"Iya maaf, Mas, tadi aku nggak enak badan, jadi aku rebahan bentar. Mas lapar ya? Aku masak dulu ya, Mas," tanya Rasti kepada suami tercintanya setelah lelaki tampan itu berada di dekatnya.
Arga hanya mengangguk kecil menjawab pertanyaan sang istri, sambil mengambil tempat duduk di sebelah Rasti tangannya terulur mengusap perut istinya yang sudah kelihatan membuncit itu, "anak ayah lagi apa di dalam situ? Anak ayah, jangan nakal ya, jangan bikin ibu sakit. Kasihan ibu, anak ayah sayang ibu kan?" Arga mengajak bicara anaknya.
Untuk beberapa saat Arga asyik berbicara dengan buah hatinya yang sebentar lagi akan lahir, beberapa kali dia mencium perut buncit istrinya. Bahkan beberapa kali dia mengusap-usap lembut saat merasakan gerakan halus calon anaknya itu.
Arga berharap mempunyai seorang anak laki-laki agar bisa meneruskan usaha orang tuanya yang kini dipimpinnya setelah sang papi rehat dari dunia bisnis.
"Semoga kamu lahir sebagai anak lelaki ya, Nak. Anak lelaki yang tangguh, kuat karena kamu adalah pewaris bisnis Hartawan selanjutnya," ucap Arga.
Rasti mengusap kepala suaminya lembut, terkadang dia tertawa geli mendengar obrolan suami dengan calon anaknya itu, "asyik bener ayah ngobrol sama adek, ibu sampai dicuekkin," goda Rasti.
"Nggaklah, Sayang. Kamu tetap nomor satu sampai kapan pun, ayah cuma lagi kasih tahu sama adek supaya jangan nakal biar ibu nggak sakit. Iya kan, Dek?" lanjut Arga kepada calon anaknya.
Usai bercengkrama dengan buah hatinya, Arga menatap Rasti dan meraih bahu perempuan berkulit kuning langsat itu untuk dirangkulnya. Diusapnya rambut ikal hitam panjang istrinya, "terima kasih, Sayang," ucapnya.
Rasti yang tak tahu maksud perkataan suaminya hanya mengangguk dan kembali menanyakan apakah suaminya jadi mau makan atau kalau tidak dia akan membuat camilan saja untuk mereka.
Arga menyetujui usulan istrinya untuk membuat camilan, entah kenapa pagi ini perutnya terasa sangat lapar tetapi tidak ingin makan makanan yang terlalu mengenyangkan.
"Ya sudah, kalau gitu aku ke dapur dulu ya. Aku mau bikin camilan enak untuk suami tersayangku," kata Rasti.
Sambil berkata demikian, Rasti memasang kembali kerudung yang sempat dilepasnya tadi sebelum akhirnya berdiri dan beranjak ke dapur.
"Ya udah, aku tunggu di sini ya, Yang. Aku mau rebahan dulu sebentar. Sekitar dua puluh menit lagi kususul ke dapur," kata Arga yang diiyakan istrinya.
Rasti pun berjalan keluar menuju dapur sambil sesekali mengusap perutnya, dia merasa bahagia karena usaha yang dia lakukan dulu tidak sia-sia.
Tanpa Rasti sadari sedari tadi ada sesosok wanita di belakangnya tengah mengulurkan tangan bersiap mencelakakannya.
'Hadiahku, aku datang! Sungguh harum aromamu! Bersiaplah menerima ajalmu,' bisik sosok wanita itu
Gedebug!
Terdengar suara benda terjatuh berdebum cukup keras di dapur dan tidak lama terdengar suara teriakan, "Mas ... aduh, Mas tolong! Perutku sakit banget, Mas!" teriak Rasti memanggil Arga, suaminya.
Arga baru saja bermaksud untuk berbaring mengistirahatkan tubuhnya yang penat ketika tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dapur.
"Astaghfirullah, suara apa itu? Jangan-jangan ...." Sontak Arga meloncat dari ranjang dan berlari ke arah dapur, tetapi sial tak dapat ditolak, karena terburu-buru dan tidak melihat arah jalannya, kaki kanan Arga terantuk kaki lemari baju di kamarnya.
Gubrak!
'Aduh, sakit banget jempol kakiku, jangan-jangan keseleo lagi nih. Bener-bener deh, nggak tahu orang buru-buru. Pakai acara kesandung segala. Dasar ceroboh!' omel Arga dalam hatinya sambil mengelus jempol kakinya yang terasa sakit.
Dengan langkah terpincang-pincang menahan sakit di jempol kakinya, gegas Arga bangkit dan kembali menuju dapur untuk mendatangi istrimya.
"Mas! Mas! Cepetan, Mas! Sini!" Terdengar kembali teriakan Rasti dari arah dapur.
"Iya! Bentar, Yang! Sabar! Jempol kakiku sakit nih, habis nabrak lemari!" balas Arga tidak kalah keras.
Dengan menahan sakit, Arga memaksakan kakinya menuruni anak-anak tangga dan menghampiri istrinya yang berada di dapur dan dia sangat terkejut melihat istrinya sudah dalam posisi jatuh terduduk.
Arga pun gegas berlari mendatangi istrinya yang tengah memegang perutnya, "Ada apa, Beb. Kamu kenapa?" tanya Arga dengan wajah kebingungan.
"Sakit, Mas ... perutku sakit banget!" rintih Rasti sambil memegangi perutnya yang sudah membesar, di antara kedua pahanya terlihat darah setengah kental mengalir membasahi daster yang sekarang sedang dipakainya.
"Beb, kamu kenapa? Ada apa sama kamu? Kamu kenapa bisa posisi kaya gini? Kamu jatuh duduk karena kepleset atau apa?" cecar Arga kepada istrinya yang tengah kesakitan.
Dengan menggigit bibirnya, Rasti, istri Arga hanya mampu menggelengkan kepalanya perlahan, menandakan dia suda tidak sanggup lagi bicara.
Rasti hanya bisa merintih lirih pertanda dia mulai lemah, dasternya semakin memerah oleh cairan kental yang terus keluar, "mas, tolong." Tenaganya semakin terkuras akibat mulai kekurangan darah.
Dengan sigap, melupakan rasa sakit di jempol kakinya yang tadi sempat terantuk lemari, Arga menggendong istrinya untuk dibawa ke rumah sakit, tetapi sesampainya di depan pintu mobil Arga menghembuskan nafas kasar sambil menepuk dahinya keras-keras, karena lupa membawa kunci mobilnya.
"Ah ... dasar bodoh! Aku lupa bawa kunci!" gerutu Arga, kesal dengan dirinya sendiri yang begitu ceroboh dari tadi.
"Yang, kamu duduk di sini ya sebentar, aku ambil kunci mobil dulu. Kamu bertahan ya!" Setelah mendudukkan Rasti di kursi rotan yang ada di teras rumah, Arga bergegas mengambil kunci mobilnya yang tergantung di dekat pintu kamar mereka, kemudian berlari kembali ke depan lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi menuju rumah sakit.
Berlomba dengan maut itu yang sedang Arga lakukan saat ini. Dia hanya ingin segera sampai ke tujuan, tapi entah kenapa perjalanan itu terasa sangat lama. Mobil miliknya yang biasa laju jalannya itu pun terasa lambat bahkan beberapa kali mesin mobilnya seolah tersendat-sendat.
'Hih! Kenapa sih mobil ini, lambat banget jalannya nggak kaya biasanya! Mana kaya mau mogok lagi. Please, jangan mati dong, kasian anak bini gue,' gerutu Arga berbicara dengan mobilnya.
Sementara di sebelahnya, beberapa kali Rasti menggigit bibirnya menahan rasa sakit di perut dan di sela-sela kedua belah pahanya yang terus mengalirkan darah.
Arga tidak ingin kehilangan istri dan anak yang sudah sangat dinantinya, Arga berusaha keras untuk memfokuskan perhatiannya ke depan, walau pun hatinya teriris pilu mendengar rintihan istrinya merasakan sakit yang tak tertahankan.
"Mas, cepetan, Mas. Aku udah nggak tahan lagi. Sakit banget, Mas. Allahu Akbar." Rasti merintih kesakitan.
" Iya, Sayang. Ini aku juga udah cepet, tapi aku nggak berani terlalu ngebut, Yang. Nanti kalau kita kecelakaan malah lebih repot lagi. Kamu bertahan sebentar ya, Yang. Kita udah hampir sampai kok." Arga meyakinkan Rasti dan berusaha menguatkan dengan menggenggam erat tangan perempuan itu untuk menyalurkan sisa kekuatan dan semangat miliknya saat ini, walau pun sebenarnya dia sendiri sangat kebingungan dan takut terjadi sesuatu kepada anak dan istrinya.
Arga memacu mobilnya lebih cepat dari sebelumnya, berharap cepat sampai ke tujuan tanpa menyadari bahwa selain dia dan istrinya, ternyata ada sosok lain ikut menumpang mobil mereka.
Sosok siapakah itu dan apa maksud kehadirannya di sana?
Jangan lupa berlangganan untuk mengikuti kelanjutannya.
***
Nafas Dokter Mirza kian memburu saat aku mulai memainkan bagian bawah. Ya, aku sudah berhasil melepaskan rok sekalian dengan celana dalam yang juga berwarna hitam itu. Aku sedikit tak menyangka dengan bentuk vaginanya. Tembem dan dipenuhi bulu yang cukup lebat, meski tertata rapi. Seringkali aku berhasil membuat istriku orgasme dengan keahlihanku memainkan vaginanya. Semoga saja ini juga berhasil pada Dokter Mirza. Vagina ini basah sekali. Aku memainkan lidahku dengan hati-hati, mencari di mana letak klitorisnya. Karena bentuknya tadi, aku cukup kesulitan. Dan, ah. Aku berhasil. Ia mengerang saat kusentuh bagian itu. "Ahhhh..." Suara erangan yang cukup panjang. Ia mulai membekap kepalaku makin dalam. Parahnya, aku akan kesulitan bernafas dengan posisi seperti ini. Kalau ini kuhentikan atau mengubah posisi akan mengganggu kenikmatan yang Ia dapatkan. Maka pilihannya adalah segera selesaikan. Kupacu kecepatan lidahku dalam memainkan klitorisnya. Jilat ke atas, sapu ke bawah, lalu putar. Dan aku mulai memainkan jari-jariku untuk mengerjai vaginanya. Cara ini cukup efektif. Ia makin meronta, bukan mendesah lagi. "Mas Bayuu, oh,"
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
Sepatah Kata, Jangan pernah bengong dan tertegun-tegun jika belum selesai membaca kisah yang sangat AGAK LAEN dan super unik dalam novel ini. Mungkin banyak yang tidak terpcaya jika cerita ini lebih dari 58,83% merupakan KISAH NYATA, 24,49% Modifikasi Alur dan 16,68% tambahan halu sebagai variasi semata. Buktikan saja keunikan kisah dalam novel ini. Jangan mengatakan gak masuk akal jika belum tahu bahwa hal itu bisa terjadi kapan dan dimanapun juga
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Kedua orang yang memegangi ku tak mau tinggal diam saja. Mereka ingin ikut pula mencicipi kemolekan dan kehangatan tubuhku. Pak Karmin berpindah posisi, tadinya hendak menjamah leher namun ia sedikit turun ke bawah menuju bagian dadaku. Pak Darmaji sambil memegangi kedua tanganku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Tanpa rasa jijik mencium bibir yang telah basah oleh liur temannya. Melakukan aksi yang hampir sama di lakukan oleh pak Karmin yaitu melumat bibir, namun ia tak sekedar menciumi saja. Mulutnya memaksaku untuk menjulurkan lidah, lalu ia memagut dan menghisapnya kuat-kuat. "Hhss aahh." Hisapannya begitu kuat, membuat lidah ku kelu. Wajahnya semakin terbenam menciumi leher jenjangku. Beberapa kecupan dan sesekali menghisap sampai menggigit kecil permukaan leher. Hingga berbekas meninggalkan beberapa tanda merah di leher. Tanganku telentang di atas kepala memamerkan bagian ketiak putih mulus tanpa sehelai bulu. Aku sering merawat dan mencukur habis bulu ketiak ku seminggu sekali. Ia menempelkan bibirnya di permukaan ketiak, mencium aroma wangi tubuhku yang berasal dari sana. Bulu kudukku sampai berdiri menerima perlakuannya. Lidahnya sudah menjulur di bagian paling putih dan terdapat garis-garis di permukaan ketiak. Lidah itu terasa sangat licin dan hangat. Tanpa ragu ia menjilatinya bergantian di kiri dan kanan. Sesekali kembali menciumi leher, dan balik lagi ke bagian paling putih tersebut. Aku sangat tak tahan merasakan kegelian yang teramat sangat. Teriakan keras yang tadi selalu aku lakukan, kini berganti dengan erangan-erangan kecil yang membuat mereka semakin bergairah mengundang birahiku untuk cepat naik. Pak Karmin yang berpindah posisi, nampak asyik memijat dua gundukan di depannya. Dua gundukan indah itu masih terhalang oleh kaos yang aku kenakan. Tangannya perlahan menyusup ke balik kaos putih. Meraih dua buah bukit kembarnya yang terhimpit oleh bh sempit yang masih ku kenakan. .. Sementara itu pak Arga yang merupakan bos ku, sudah beres dengan kegiatan meeting nya. Ia nampak duduk termenung sembari memainkan bolpoin di tangannya. Pikirannya menerawang pada paras ku. Lebih tepatnya kemolekan dan kehangatan tubuhku. Belum pernah ia mendapati kenikmatan yang sesungguhnya dari istrinya sendiri. Kenikmatan itu justru datang dari orang yang tidak di duga-duga, namun sayangnya orang tersebut hanyalah seorang pembantu di rumahnya. Di pikirannya terlintas bagaimana ia bisa lebih leluasa untuk menggauli pembantunya. Tanpa ada rasa khawatir dan membuat curiga istrinya. "Ah bagaimana kalau aku ambil cuti, terus pergi ke suatu tempat dengan dirinya." Otaknya terus berputar mencari cara agar bisa membawaku pergi bersamanya. Hingga ia terpikirkan suatu cara sebagai solusi dari permasalahannya. "Ha ha, masuk akal juga. Dan pasti istriku takkan menyadarinya." Bergumam dalam hati sembari tersenyum jahat. ... Pak Karmin meremas buah kembar dari balik baju. "Ja.. jangan.. ja. Ngan pak.!" Ucapan terbata-bata keluar dari mulut, sembari merasakan geli di ketiakku. "Ha ha, tenang dek bapak gak bakalan ragu buat ngemut punyamu" tangan sembari memelintir dua ujung mungil di puncak keindahan atas dadaku. "Aaahh, " geli dan sakit yang terasa di ujung buah kembarku di pelintir lalu di tarik oleh jemarinya. Pak Karmin menyingkap baju yang ku kenakan dan melorotkan bh sedikit kebawah. Sayangnya ia tidak bisa melihat bentuk keindahan yang ada di genggaman. Kondisi disini masih gelap, hanya terdengar suara suara yang mereka bicarakan. Tangan kanan meremas dan memelintir bagian kanan, sedang tangan kiri asyik menekan kuat buah ranum dan kenyal lalu memainkan ujungnya dengan lidah lembut yang liar. Mulutnya silih berganti ke bagian kanan kiri memagut dan mengemut ujung kecil mungil berwarna merah muda jika di tempat yang terang. "Aahh aahh ahh," nafasku mulai tersengal memburu. Detak jantungku berdebar kencang. Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh, mendapatkan rangsangan yang mereka lakukan. Tapi itu belum cukup, Pak Doyo lebih beruntung daripada mereka. Ia memegangi kakiku, lidahnya sudah bergerak liar menjelajahi setiap inci paha mulus hingga ke ujung selangkangan putih. Beberapa kali ia mengecup bagian paha dalamku. Juga sesekali menghisapnya kadang menggigit. Lidahnya sangat bersemangat menelisik menjilati organ kewanitaanku yang masih tertutup celana pendek yang ia naikkan ke atas hingga selangkangan. Ujung lidahnya terasa licin dan basah begitu mengenai permukaan kulit dan bulu halusku, yang tumbuhnya masih jarang di atas bibir kewanitaan. Lidahnya tak terasa terganggu oleh bulu-bulu hitam halus yang sebagian mengintip dari celah cd yang ku kenakan. "Aahh,, eemmhh.. " aku sampai bergidik memejam keenakan merasakan sensasi sentuhan lidah di berbagai area sensitif. Terutama lidah pak Doyo yang mulai berani melorotkan celana pendek, beserta dalaman nya. Kini lidah itu menari-nari di ujung kacang kecil yang menguntit dari dalam. "Eemmhh,, aahh" aku meracau kecil. Tubuhku men
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.