Sota seorang pemuda yang berusia 20 tahun. Sota seorang lelaki pengangguran berat. Dia sangat malas beraktifitas. Sota seorang yang cerdas dalam kelicikan. hari-harinya hanya diisi dengan bermain gawai. Artisa seorang ibu yang berusia 45 tahun. Artisa berbeda dengan anaknya, dia sangat rajin bekerja. Dia juga perhatian pada Sota. Artisa juga sedikit licik walau tak selicik Sota. Sifat malas Sota membuahkan rasa kekhawatiran yang sangat besar di hati Artisa. Karena itu Artisa ingin mengubah sifat Sota secara total. Artisa menempuh cara yang tak biasa yaitu dengan mengubah tubuh Sota. Apakah yang terjadi pada Sota? Apakah dia bisa berubah sesuai dengan harapan Artisa?
Hidup di kalangan keluarga biasa tak membuat seorang pemuda berumur 20 tahun yang bernama Sota segera berubah. Internet telah melenakannya. Setiap hari hanya medsos yang dihadapi. Rayuan demi rayuan dia lancarkan. Tapi tiada perubahan bagi Laila, perempuan yang selama ini menjadi incaran.
Kursi panjang di ruang tamu tempat biasa Sota berbaring. Rumah ukuran sedang tempat bernaung setiap hari. Tak ada keinginan untuk keluar rumah. Artisa, sang ibu mengkhawatirkan masa depan anak bungsunya. Tak bosan setiap hari peringatan selalu dia utarakan.
"Sota, daripada kamu main medsos saja lebih baik kau ikut jejak kakakmu. Bekerja dan mencari uang," kata Artisa.
"Ibu mengganggu saja. Tunggu aku jadian dengan Laila," kata Sota dengan penuh kekesalan. Wajah sang ibu tak dilirik sedikit pun.
"Ta, kalau kau bekerja nanti Laila akan takluk sendiri."
"Ibu mana mengerti. Jika mengandalkan harta aku akan kalah saing. Hanya dengan cara ini aku bisa memiliki Laila."
"Apakah kau berhasil? Tidak kan. Makanya bekerja dulu baru mengincar Laila."
Omelan demi omelan keluar dari mulut Artisa. Tak tahan dengan itu Sota mengeraskan suara di gawainya. Suara ibu kini telah tak terdengar lagi. Jengkel tak diperhatikan anaknya, Artisa melepas earphone yang tertempel di telinga Sota.
"Sota, kamu tadi dengar tidak," kata Artisa agak keras.
"Iya, Bu." Beranjak Sota dari tempat rebahan. Kamar tidur menjadi tujuannya. Pintu kamar ditutup dengan keras, bentuk kekesalan terhadap sang ibu. Terkunci pintu dari dalam kamar tempat Sota berdiam diri.
Kelakukan Sota hanya bisa membuat Artisa geleng-geleng kepala. Tak mau ambil pusing lagi, Artisa melangkah keluar rumah.
Warung makan Mampiro tempat tujuan Artisa. Pintu belakang tempat biasa dia masuk. Seorang lelaki muda dia datangi. Ikan yang ada di wajan terdekat tergoreng sudah.
"Bu, Sota bagaimana?" tanya pemuda yang bernama Apis, dia kakak ipar Sota.
"Seperti biasa, tetap ingin mengincar Laila," jawab Artisa.
"Dasar Sota, mentang-mentang keluarganya baru mapan seenaknya sendiri. Apa Ibu sudah rayu Sota?" tanyanya lagi.
"Aku sudah bosan merayunya. Ayah dan istrimu saja tak sanggup mengatasi sifat malasnya."
"Sabar Bu, mungkin suatu hari nanti dia akan sadar sendiri."
Warung tempat mencari nafkah mulai ramai. Segenap anggota keluarga bekerja sesuai dengan porsi mereka masing-masing. Artisa mengecek bahan baku. Ketika persediaan telah menitip Artisa baru keluar untuk berbelanja.
Kian malam hari warung kian sepi. Para pelanggan telah pulang ke rumah masing-masing.
Artisa kembali lagi ke rumah. Sebungkus makanan dia bawa untuk Sota.
"Bu, aku sudah lapar. Ibu lama sekali pulang," keluh Sota.
"Kenapa kamu tidak buat mie instan atau goreng telur?" tanya sang ayah, Garu.
"Tak ada nasi atau apa pun yang bisa dimakan," kata Sota.
"Oh ya, Ibu lupa. Sekarang makanlah sepuasnya," kata Artisa.
Perut yang keroncongan membuat Sota tak tahan lagi. Dibuka bungkus makanan dan diambil isinya. Sebuah pisang goreng dia makan. Entah kenapa Sota malah mual dan muntah-muntah. Segala isi perut dia keluarkan. Sota berlari ke dapur. Kedua orangtuanya mengikuti dari belakang.
"Nak, ada apa?" tanya sang ayah.
Sota hendak menjawab pertanyaan tersebut. Pandangannya telah kabur terlebih dahulu. Kesadarannya telah hilang sebelum Sota sempat menjawab. Sang ayah membawanya ke dalam tempat biasanya Sota tidur.
***
Tujuh hari dalam seminggu telah dilalui. Selama itu juga Sota tak sadarkan diri. Artisa senantiasa menunggu si buah hati. Pekerjaan yang selama ini dilakukan terpaksa dia hentikan. Tak sedikit pun rasa cintanya hilang meskipun terkadang si anak mengabaikannya. Rasa lapar membuat Artisa pergi sementara meninggalkan Sota.
Pagi hari telah menyingsing. Cahaya mentari menembus jendela kamar yang terbuat dari kaca. Kala itu Sota terbangun karena cahaya yang membuat silau saat dipandang. Rasa pusing sedikit dia rasakan.
"Dimana aku?" tanyanya pada diri sendiri.
Terdengar dengan jelas suara perempuan dari mulut Sota. "Lho, Kok bisa?" terkejut dia dengan suaranya sendiri. Dilihatlah kedua tangannya, halus lembut bagaikan sutera. Otot pada tangannya semakin mengecil. Lalu Sota merunduk ke bawah. Sebuah tonjolan besar di badannya. "Tidak!" teriaknya sekeras mungkin.
Artira berlari menemui si anak. Berhenti sejenak di saat mendengar suara perempuan dari kamar Sota. "Aku harus memasang wajah polos agar anakku tak curiga kepadaku," katanya di dalam batin.
Masuklah Artisa ke dalam kamar Sota. Ditemui si anak yang sedang meneteskan air mata. "Nak, mengapa menangis?" tanyanya.
"Bu, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa aku berubah?" tanya Sota dalam tangisannya.
"Nak, Ibu sendiri tak tahu apa yang terjadi. Yang sabar Nak, kita nanti cari jalan keluarnya," kata Artisa. Didekaplah si anak untuk mempercantik aktingnya. Tapi air matanya tak bisa disembunyikan lagi.
Seharian sudah Sota terbangun. Tapi tidak juga dia beranjak dari tempat tidurnya. Mengurung diri di dalam kamar yang dia lakukan. Dilihat terus tubuhnya, seolah-olah dia tak percaya akan takdir yang menimpa padanya. Artisa selalu saja mendampingi si anak bungsu. Sekali-kali dia mengambilkan makanan, tapi selalu saja Sota tolak. Walau akhirnya Sota juga yang mengalah. Rasa sakit di perut tidak bisa dia tahan, apa pun pemberian sang ibu dia lahap. Tapi tetap saja dia tak mau mandi. Apalagi kini dia telah berubah.
Malam telah menjelang. Sinarnya rembulan menambah pedih hati Sota. erlip bintah sebagai penusuk luka di hati. Suara beberapa orang terdengar jelas dibalik dinding. Sota tak ingin siapa pun mengetahui bentuk wujud barunya. Selimut panjang dia kenakan. Sekujur tubuh tertutup rapat. Hanya hidung dan mata yang tampak dari luar.
"Sota, Ayah ada sesuatu untukmu!" panggil Garu.
Tiada keberanian Sota untuk menolak permintahan sang ayah. Langkah pelan menghantarkan dia kehadapan sang ayah. Rasa malu, sedih dan segalanya bercampur menjadi satu. Tubuh Sota bergemetaran. Riksa, sang kakak muncul dari belakang. Dibuka penutup kepala Sota. Rambut indah dan wajah cantik tubuh baru Sota terlihat jelas. Bingung bagaimana Sota menutupi identitasnya.
"Adikku yang manis, kamu tak perlu malu. Kami semua telah mengetahui keadaanmu," kata Rikma.
"Tapi, aku takut...," kata Sota.
"Tak usah takut, kami di sini bisa menerimamu apa adanya. Kasih sayang kami tak akan berkurang," kata Garu.
Selimut yang menutupi tubuhnya sudah tak berguna. Sota membuangnya begitu saja. Pakaian yang kedodoran masih dia kenakan. Langkah pelan berubah drastis. Berlarilah Sota dengan segenap tenaga di tubuh baru. Sang ayah tercinta dipeluknya. Tetes demi tetes air keluar dari kedua bola mata. "Ayah, apa yang sebenarnya terjadi pada diriku?" tanyanya dalam pelukan.
"Nak, Ayah juga tidak tahu. Tapi jangan khawatir, suatu hari nanti kita akan mengembalikan dirimu seperti semula," jawab Garu.
Main, seorang pemuda yang lemah dan tak tahan pada sinar matahari. Suatu saat dia terpaksa kembali ke desanya karena sebuah misi untuk menghancurkan mustika ular hijau. Tapi langkahnya harus sering terhenti ketikan dia berhadapan dengan pengguna piranti mistik. Belum lagi beberapa konflik harus dia hadapi, baik depan manusia maupun makhluk lain. Berbagai cara dan informasi harus dia tempuh agar dapat mengetahui keberadaan mustika tersebut dan menghancurkannya.
Marsha terkejut saat mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Karena rencana putri asli, dia diusir dan menjadi bahan tertawaan. Dikira terlahir dari keluarga petani, Marsha terkejut saat mengetahui bahwa ayah kandungnya adalah orang terkaya di kota, dan saudara laki-lakinya adalah tokoh terkenal di bidangnya masing-masing. Mereka menghujaninya dengan cinta, hanya untuk mengetahui bahwa Marsha memiliki bisnis yang berkembang pesat. “Berhentilah menggangguku!” kata mantan pacarnya. “Hatiku hanya milik Jenni.” “Beraninya kamu berpikir bahwa wanitaku memiliki perasaan padamu?” kata seorang tokoh besar misterius.
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
Setelah menyembunyikan identitas aslinya selama tiga tahun pernikahannya dengan Kristian, Arini telah berkomitmen sepenuh hati, hanya untuk mendapati dirinya diabaikan dan didorong ke arah perceraian. Karena kecewa, dia bertekad untuk menemukan kembali jati dirinya, seorang pembuat parfum berbakat, otak di balik badan intelijen terkenal, dan pewaris jaringan peretas rahasia. Sadar akan kesalahannya, Kristian mengungkapkan penyesalannya. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Tolong, beri aku kesempatan lagi." Namun, Kevin, seorang hartawan yang pernah mengalami cacat, berdiri dari kursi rodanya, meraih tangan Arini, dan mengejek dengan nada meremehkan, "Kamu pikir dia akan menerimamu kembali? Teruslah bermimpi."
21++ BANYAK ADEGAN BERBAHAYA TIDAK UNTUK DITIRU! "Kamu hamil!" ucap Ayden, kekasih Delisha. "A-apa?" tanya Delisha polos. "Kamu hamil!" tegas Ayden lagi. "T-tapi." "Kita sering melakukannya, dan kita main tanpa pengaman." "J-jadi?" "Aku mau putus! Terserah mau diapakan anak itu, umurku masih 16 tahun. Aku mau bebas." Ayden meninggalkan Delisha yang mematung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan, dan apa yang akan ia hadapi ke depan disaat usianya masih sangat belia 14 tahun.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.