/0/23011/coverbig.jpg?v=38fc038bd3669a53b93dab90eabfc2c3)
"Sakit, mas...." Jeritku tertahan saat tubuh lelaki yang bergelar suami itu mendorong tubuhku. Tidak sedikitpun dia peduli seberapa banyak airmata yang tertumpah dan bibirku yang merintih menahan sakit. "Ini kan, yang kamu ingin?" Dengan sangat kasar, dia berikan nafkah batinnya padaku. Nafkah yang aku dapatkan dengan cara merendahkan diri tidak ubahnya bagai pengemis. Aku tahu, dia menikahiku karena terpaksa. Dan aku juga mengerti, cinta dalam hatinya adalah untuk wanita lain. Namun, jika memang dia tidak bisa menganggapku sebagai seorang istri, tak bisakah dia memandangku sebagai seorang perempuan yang pantas untuk dihormati dan dimuliakan?
"Kalau begitu, ayo kita lakukan sekarang!" Suara mas Ammar berteriak tertahan. Gejolak amarahnya sudah tidak bisa dia bendung.
Mas Ammar mencekal pergelangan tangan kananku. Menarikku dengan paksa hingga mendekati tempat tidur. Lalu pria yang bergelar suami itu mencengkeram kedua bahuku. Lalu
Mendorong tubuh mungilku dengan bertenaga. Aku mundur hingga ke tepian ranjang. Sehingga membuat kedua kakiku tidak mampu lagi menopang tubuhku sendiri. Aku kehilangan keseimbangan. Terjerembab. Jatuh di atas pembaringan.
Aku menggigil ketakutan. Rasa takut yang menyelimutiku membuatku terpaku di tempat. Terlebih saat dia merangsek naik ke atas pembaringan.
Mataku terpejam. Tidak kuasa aku melihat tatapan matanya yang penuh dengan dendam dan amarah. Juga penuh dengan kebencian.
"Bukankah ini yang kamu inginkan?" Geramnya seraya memegang daguku dengan salah satu tangannya.
"Buka matamu dan tatap aku!"
Aku berjengkit ketakutan. Mas Ammar menekan kedua belah pipiku dengan ibu jari dan keempat jarinya yang lain. Memaksaku untuk menatap ke arahnya.
"Sakit, mas." Rintihku dengan suara yang nyaris tidak jelas terdengar. Namun mas Ammar tidak peduli. Dia justru semakin memperdalam tekanannya. Hingga untuk berbicara pun aku merasa kesulitan. Dan tentu saja itu membuatku kesakitan.
"Apakah kamu berharap aku akan memperlakukanmu dengan lemah lembut? Menyentuhmu dan membelaimu dengan penuh cinta?" Tanyanya mengintimidasi.
Seharusnya pertanyaan seperti itu tidak perlu dia lontarkan. Karena aku yakin, dia sudah mengerti jawabannya. Meski tanpa aku mengatakan. Wanita mana yang tidak ingin diperlakukan dengan lembut oleh suaminya?
"Jangan mimpi!!!"
Mas Ammar melepas tekanan di pipiku dengan mendorongnya secara kasar. Aku menjerit tertahan.
Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis dan pasrah. Sungguh, mas Ammar telah memperlakukan aku dengan begitu buruk. Perintah Tuhan untuk memperlakukan istri dengan baik seolah hanya seperti dongengan saja. Dia begitu kasar. Seolah aku ini adalah wanita yang tidak memiliki harga diri dan perasaan saja. Sehingga dia bisa memperlakukan aku sesuka hatinya.
Setiap sentuhannya adalah amarah. Sorot matanya penuh nafsu bahimiyah.
Aku ini istrinya. Namun sedikitpun dia tidak pernah menganggap aku sebagai bagian dari kehidupannya. Cintanya tidak pernah ada sedikitpun untukku.
Aku mengusap kedua belah pipiku yang basah oleh air mata manakala mas Ammar bangkit. Dia melepas kungkungannya terhadapku. Namun tidak berhenti di situ. Dia justru beralih meremas bagian sensitif pada bagian dadaku dengan sangat kasar. Seolah dia memang sengaja ingin menyiksa jiwa ragaku. Mencederai seluruh bagian tubuhku.
"Sakit, mas." Erangku lagi.
Lagi airmata mengalir di pipi. Tidak hanya kesakitan fisik yang aku rasakan. Namun jiwaku juga tersakiti. Pipiku yang basah sedikitpun tidak bisa menggugah rasa iba dalam hatinya. Dia terus saja melancarkan aksinya. Seluruh penutup auratku dia lepas dengan paksa. Sungguh, dia telah memperlakukan aku saat itu seperti perempuan jalang saja. Jangankan kata cinta yang syahdu mendayu. Bahkan sentuhannya saja sungguh kasar dan menyakitkan.
"Kamu yang memintanya. Maka nikmati saja dan jangan mengeluh!"
Aku hanya bisa pasrah dengan apa yang dia perbuat. Sepasang suami istri seharusnya melakukan penyatuan jiwa raga dengan penuh cinta. Berawal dengan kata-kata manis merayu. Kemudian saling berpagut dalam kasih. Mendesah menikmati setiap sentuhan. Tapi itu tidak berlaku bagiku. Tidak. Sama sekali tidak. Setiap sentuhannya adalah siksaan. Yang hanya membuatku menjerit tertahan karena rasa sakit yang dia berikan.
"Bukankah kamu ingin menuruti permintaan abah dan ummi? Bukankah kamu ingin segera memberi mereka cucu?"
Di atas ranjang yang setiap malam aku tidur sendirian hampir tujuh purnama itu, dia lampiaskan amarahnya padaku. Dia cabik perasaanku sebagai seorang istri dengan perlakuan yang dipenuhi gelora syahwat bercampur murka. Dia koyak harga diriku. Seolah aku ini hanyalah wanita yang tidak memiliki kehormatan. Tidak pantas dimuliakan dan tidak pantas digauli dengan cara yang baik dan lemah lembut.
Rasa nyeri, perih, dan ngilu membuat air mataku semakin deras terdesak keluar. Aku menggigit bibirku sendiri karena rasa sakit itu. Bisa bayangkan bagaimana rasanya? Hal yang baru pertama kali dalam seumur hidupku, aku dapatkan dengan begitu kasar.
Sungguh ini jauh dari bayanganku. Khayalanku, impianku setiap hari adalah bercinta bersama suami dengan penuh kasih. Dihujani dengan sentuhan-sentuhan lembut dengah bisikan merdu kata-kata manis mengundang kehangatan karena nyala api cinta yang berkobar. Hingga melambungkan anganku melayang jauh ke atas awan. Menari di antara taburan bintang-bintang. Tapi, yang aku dapat justru sebaliknya. Tidak lain hanyalah rasa sakit yang berlebih. Sakit yang tidak hanya aku rasakan pada ragaku saja. Tapi juga pada hati dan jiwaku.
"Aku kira, sekali sudah bisa membuatmu hamil." Ucap mas Ammar tepat di depan wajahku. Wajah tegangnya mulai mengendur.
"Setelah ini jangan pernah kamu meminta lagi kecuali aku sendiri yang menginginkan." Lanjutnya lagi dengan penuh penekanan.
Apa dia bilang? Kecuali dia sendiri yang menginginkan? Bukankah itu sangat egois? Lalu aku ini dia anggap sebagai apa?
Aku menahan isak tangisku. Ini adalah sebuah proses yang sakral dalam upaya untuk melahirkan generasi penerusnya. Tapi kenapa dia tidak melakukannya dengan penuh cinta? Meski dia tidak mencintaiku, apakah tidak bisa dia menganggap ini sebagai satu bagian dari ibadah? Yang harus dilakukan dengan cara yang baik dan penuh khidmat?
Sejak malam pertama dia sudah menolakku. Dia tidak pernah mau menyentuhku. Hari-hari berlalu dengan begitu kaku. Terasa dingin dan beku. Tidak ada tawa canda ria selayaknya pengantin baru pada umumnya. Kamar ini selalu sunyi.
Segala upaya telah aku lakukan untuk membuat hatinya luluh. Lalu perlahan mulai mencintaiku. Tapi apalah dayaku? Upayaku selalu gagal.
Kehidupan yang kami jalani penuh dengan sandiwara. Apalagi di hadapan abah dan ummi. Di luar, aku dipaksa oleh mas Ammar agar berprilaku seperti seorang istri yang sebenarnya. Mas Ammar begitu manis dan romantis jika di depan abah dan ummi.
Dengan sangat lembut dia akan menciumku. Menggandeng tanganku tanpa rasa kikuk. Atau sekedar basa basi memuji masakanku. Atau memuji penampilanku. Tapi jika sedang berdua saja, maka dia akan menjauhiku. Seolah jijik terhadapku. Benar-benar munafik.
Dan ketika malam datang menyapa, dia akan masuk ke dalam kamar saat hari sudah sangat larut. Terkadang dini hari. Saat raganya sudah benar-benar lelah dan tidak ada lagi energi yang tersisa. Bukan dengan tidak sengaja dia melakukan itu. Aku tahu, dia memang menghindariku. Membentengi nafsu biologisnya dengan berbagai aktifitas yang menguras seluruh energinya. Lalu masuk ke kamar dan tidur di sofa.
Aku tahu jika dia masih menyimpan cinta sepenuh hatinya untuk perempuan lain. Namun tidak bisakah dia menyisihkan sedikit saja ruang untuk cintaku? Tidak bisakah dia sedikit demi sedikit belajar untuk menerimaku sebagai istrinya?
Atau jika memang dia tidak bisa menganggapku sebagai seorang istri, tak bisakah dia memandangku sebagai seorang perempuan yang pantas untuk dihormati dan dimuliakan?
Lalu menghilang ke manakah ajaran Tuhannya tentang cara menghormati dan menghargai perempuan? Apakah ilmunya hanya sebatas teori saja?
Bukankah mas Ammar tahu, jika pernikahan itu merupakan suatu organisasi kecil yang memiliki aturan dalam pengelolaannya? Bukankah seharusnya suami maupun istri itu hendaknya memperlakukan, menggauli, menjaga dan merawat pasangannya dengan cara yang ma'ruf?
Tapi sejak malam pertama kami, mas Ammar sudah memperlakukan aku dengan begitu buruk.
Masih terngiang di telingaku saat dia menolak malam pertama kami.
"Pernikahan kita hanya sebatas di atas kertas. Jadi, jangan pernah berharap aku menganggapmu sebagai istri yang sesungguhnya."
Perkataannya terdengar bagai sambaran petir di telingaku. Bahkan lebih keras dari suara petir yang menyambar di luar kamar pengantin kami. Diiringi oleh guyuran air hujan yang begitu deras.
Jangan kalian tanyakan bagaimana perasaanku saat itu. Tentu saja itu sangat menyakiti relung hatiku hingga ke dasar yang paling dalam.
Malam romantis yang aku dambakan saat itu, hanyalah impian belaka. Aku memeluk tubuhku sendiri yang kedinginan. Meringkuk seraya tak henti menangis.
Jika dia tidak mencintaiku, lalu kenapa dia menikahiku?
Tidakkah dia menyadari bahwa dia telah berbuat dzolim terhadapku dengan mempermainkan perasaanku?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
“Aduh!!!” Ririn memekik merasakan beban yang amat berat menimpa tubuhnya. Kami berdua ambruk dia dengan posisi terlentang, aku menindihnya dan dada kami saling menempel erat. Sejenak mata kami bertemu, dadanya terasa kenyal mengganjal dadaku, wajahnya memerah nafasnya memburu, aku merasakan adikku mengeras di balik celana panjang ku, tiba-tiba dia mendesah. “Ahhh, Randy masukin aja!” pekik Ririn.
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Dua tahun lalu, Regan mendapati dirinya dipaksa menikahi Ella untuk melindungi wanita yang dia sayangi. Dari sudut pandang Regan, Ella tercela, menggunakan rencana licik untuk memastikan pernikahan mereka. Dia mempertahankan sikap jauh dan dingin terhadap wanita itu, menyimpan kehangatannya untuk yang lain. Namun, Ella tetap berdedikasi sepenuh hati untuk Regan selama lebih dari sepuluh tahun. Saat dia menjadi lelah dan mempertimbangkan untuk melepaskan usahanya, Regan tiba-tiba merasa ketakutan. Hanya ketika nyawa Ella berada di tepi kematian, hamil anak Regan, dia menyadari, cinta dalam hidupnya selalu Ella.
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..
Kesalahan satu malam, membuat semuanya menjadi hancur lebur. Miranda berawal hanya bersenang-senang saja, tapi sialnya malah dia terjebak malam panas dengan Athes Russel. Hal yang membuatnya semakin kacau adalah pria itu merupakan teman bisnis ayahnya sendiri. “Kita bertemu lagi, Miranda,” bisik Athes serak seraya memeluk pinggang Miranda. Miranda mendorong tubuh Athes keras. “Shit! Menjauh dariku, Jerk!” Athes terkekeh sambil membelai rahang wanita itu. “Bagaimana bisa aku melupakanmu? You’re so fucking hot.” *** Follow me on IG: abigail_kusuma95 (Informasi seputar novel ada di IG)