jujurnya aku sudah sangat lelah. Namun, keadaanlah yang memaksaku untuk terus bertahan. Menjala
ih hatiku untuk mencintainya. Melatih diriku untuk bisa menerima dengan baik takdir Tuhan. Meyakin
n terkikis. Lalu hancur perlahan
bagai seorang istri, tapi kenapa perlakuannya sama sekali tidak mencerminkan dia sebagai sosok suami yang seharusnya. Jika d
asa bingung dengan posis
depan mata. Tapi apakah kita akan membiarkan diri kita menjadi bodoh dengan terus sa
k ada salahnya bukan jika kini aku memilih pergi? Untuk apa terus bertahan? Jika keberadaan kita saja tidak d
elah yang tidak berkesudahan. Lelah raga bisa dibawa istirahat dengan tidur. Tapi lelah
semakin deras mengalir laksana hujan yang turun di bulan Januari. Berkali-kali aku mengusap kedua bela
u, Rih
melangkah menuruni tangga. Dan saat kaki ini menapak pada penghujung an
ntu saja membuat ummi menatapku heran. Waja
dak di pertengahan anak tangga. Aku yakin, pasti dia
at padaku. Menatap lekat p
aku bingung antara ingin menjawab jujur atau berdusta. K
hanya keluarga mas Ammar, tapi akan merembet pada keluargaku sendiri dan meluas hingga pesantren. Lalu apa penilaian orang
mendekat ke arah kami yan
aku tidak berani mengangkat kepalaku. Sementara itu ma
an tangan kananku. Ingin aku menepisnya
-baik." Suara ummi tetap lembut seperti bias
s Ammar gegas mengeluarkan suaranya memberi jawaban. Seolah khawatir
a menerima takdir Tuhan atas perjodohan ini. Tentang dia yang tidak bisa melupakan masa lalunya. Dia yang masih saja terus mener
yang membuat wanita itu begitu istimewa?Hingga hidup bersamak
sambil menyeret koper?" Raut wa
a ummi selanjutnya se
bibirku. Seolah terkunci sehingga mengucap sepatah kata saja aku tidak mampu saat itu.
ngkul bahu ibunya. Kemudian dia berkata, "ini tidak seperti yang ummi bayangkan. Ini hanya masalah kecil. Dia hanya ingin
ia tidak lelah dengan sandiwara ini? Sementara aku, nafasku seola
bok pandang, mata mas Ammar begitu tajam menatap hingga terkesan berkilat. Aku menangkap sinyal amarahnya padaku yang cob
k?" Ummi melepas r
menggenggam handle koper. Genggamanku terlepas. Ummi membawaku dalam peluknya. Sungguh, sikap ummi yang sa
u agar kepalaku mendongak menatap wajah ummi yang selalu
ata yang menggenang
Apakah benar apa yang dikatakan oleh su
. Dengan serta merta, ummi menuntunku dan membawaku untuk duduk pada sebua
mi. Aku kira perasaannya pasti gusar. Mun
ng ke tempat ayah dan ibumu, tidak mungkin kamu sampai mena
mmi menolehkan kepalanya ke arah mas
ia ucapkan untuk menutupi kebohongan yang tadi. Baiklah, aku akan menung
engambil tempat di samping wani
ku, mi. Dia saja yang terlalu kolokan. Seg
olah beliau tengah menangkap sesuatu yang ganjil. Namun, b
Tunggu pekerjaanku selesai, baru aku antar. Tapi ma
Ammar bersandiwara. Dan sialnya, sepe
ati. Sekali aku bisa keluar dari rumah ini, maka a
kan ada habisnya kalau kamu turuti."
sedang berusaha menjaga sikap agar terlihat setenang mungki
u akan bercerita apa adanya. Tapi entah mengapa kesempatan itu ti
, aku akan bersabar sedikit lagi. Aku juga tidak ingin gegabah. Biarlah kali
?" Ummi menjeda kalimatnya sesaat dengan mengambil nafas dalam. Aku tetap dalam po
ena kamu tidak menuruti permintaannya. Kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu hingga kam
ndiri, ummi. Agar dia tidak memiliki banyak waktu tinggal d
itu hanya aku uca
kan tubuhnya ke sandaran kurs
hari ini hingga tiga ha
. Atau bila perlu kalian pergi jalan-jalan. Anggap s
erhenyak da
u dong, mi." Tola
an tiba-tiba jadwal yang sudah ditentukan dua bulan yang lalu. Apa yang harus aku katakan sebagai alasan pa
cayaan orang lain hanya karena hal ini."
engan begitu mudah mengingkari janji suci pernikahan kami? Kenapa dia begitu mudah lalai terhadap janji untuk mu'asyarah bil ma'ruf terhadapku yang dia ucapkan sen
empat resepsi. Setelahnya langsung pulang ke
pi.
ar untuk kembali berbicara, ummi sudah menyela, "
ejatinya dia adalah seorang anak yang mituhu pada kedua ora
istrimu. Jika hati istrimu senang, segala
gan nada pasrah. Tentu saja deng
ingan padaku. Meluapkan kekesalannya terhadap keputusan u