/0/21491/coverbig.jpg?v=43865e9252425931504405922cc19d5b)
Ethan selalu membayangkan honeymoon yang sempurna. Pantai, sunset romantis, dan malam-malam penuh cinta setelah memberikan 'Perfect Wedding' pada istrinya. Tapi, siapa sangka rencana manisnya malah berujung pada sofa bed yang dingin dan terpisah dari sang istri? "Honey, kamu yakin aku harus tidur di luar?" tanya Ethan, suaranya terdengar ragu, matanya meneliti wajah istrinya dengan harapan. "Yakinlah, kenapa enggak?" jawabnya dengan santai, seolah ini bukan masalah besar sama sekali. "Tapi ini kan honeymoon kita! Masa iya kamu tega membiarkan suamimu kedinginan-" "Gak usah lebay deh! Ada selimut, dan pemanas ruangan juga jalan kok. Sekarang tidur aja, simpan semua protesmu. Besok kita masih harus jalan-jalan romantis! Jangan lupa sama janji mu." Ethan cuma bisa menghela napas dan mengangguk pasrah sambil melirik sofa bed yang sempit itu. "Apakah besok aku masih harus tidur disini?" Batinnya, perasaan cemas mulai menyergap. Dia cepat-cepat menggeleng, berusaha mengusir pikiran yang bikin hatinya tambah galau. Lalu, ia merebahkan diri, memeluk guling dengan tampang frustasi. "Andai saja aku tahu, akhirnya bakal kayak gini..." gumamnya pelan, nada penyesalan menggelayuti suaranya. Sofa bed itu memang bukan tempat yang diimpikannya untuk menghabiskan malam-malam romantis, tapi siapa tahu, mungkin besok akan jadi hari yang lebih baik?
Sweet berdiri di samping Oma Ningsih yang terbaring lemah, hati kecilnya bergetar mendengar suara mamanya yang penuh kekhawatiran. "Ma, oma kenapa? Bukannya oma baik-baik saja ya, kenapa sekarang jadi seperti ini?" tanyanya, menahan air mata yang hampir menetes. Keresahan yang melanda membuat hari itu terasa gelap, seolah semua warna hilang dari dunia mereka.
"Mama juga nggak tau, Sweet. Oma mendadak nggak mau makan, setelah itu pingsan dan-" suara mamanya terputus, menggantung, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.
"Kenapa tidak ke rumah sakit aja?" tanya Sweet cepat, memotong kalimat mamanya. Hatinya bergejolak, tidak bisa membayangkan kehilangan sosok yang selama ini menjadi penopang hidupnya.
Namun, hanya mendapatkan gelengan kepala dari mamanya membuat Sweet frustasi. Rasa putus asa menyelimuti hatinya. Apa yang bisa ia lakukan? Dalam keheningan yang menyakitkan, Ethan menghampirinya, menggenggam tangan Oma yang terkulai lemah.
"Kamu sudah siap?" tanyanya datar, tanpa ekspresi, membuat Sweet mengerutkan kening.
"Maksud kamu apa?" tanya Sweet kembali, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Ethan menatap kanan dan kiri, memastikan privasi mereka. "Ayo ikut denganku," ajaknya, dan tanpa banyak bertanya, Sweet mengangguk setuju. Kedua remaja itu melangkah keluar ke halaman, menjauh dari kerumunan, menjaga rahasia yang semakin membebani mereka.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Ethan berbicara, "Hari ini kita akan menikah."
Duar! Seperti suara petir di siang bolong, Sweet terperanjat. "Maksud kamu apa, Ethan? Oma sedang sakit, dan kamu mengajak aku kesini hanya untuk bercanda?" Suaranya bergetar, berusaha mengontrol emosi yang mendidih.
"Aku tidak bercanda, Sweet. Ini permintaan Oma. Paling penting, ini adalah wasiat. Aku mau Oma jalan dengan tenang," jawab Ethan tegas, menatap dalam mata Sweet.
"Jadi kamu sudah tahu-"
Ethan mengangguk sambil berkacak pinggang. "Iya, aku sudah tahu. Semua orang juga sudah tahu," jawabnya cepat, membuat Sweet semakin bingung. Dalam hati, ia merutuki janji yang telah diucapkan Oma, untuk tidak membocorkan rahasia yang menyakitkan ini.
Dalam kondisi Oma yang seperti ini, apakah Sweet tega untuk bertanya lebih pada Omanya? Tentu tidak. Rasa frustasi semakin memuncak, dan ia mengacak-acak rambutnya sendiri. "Kalau aku nggak mau nerusin pernikahan ini gimana? Kamu bisakan nikah aja sama Rania," cetus Sweet tanpa terduga.
"Kamu gila ya!" bentak Ethan, wajahnya masam.
"Yes! I'm losing my mind! Aku capek dan kalau bisa, aku udah nggak mau ada hubungan apapun sama kamu!" teriak Sweet, emosi tak tertahankan.
Ethan tersenyum sinis. "Kamu kira aku suka sama kamu? Hmm? Kalau aku bisa memilih, aku mending nikah sama Rania yang jauh lebih baik dari kamu!"
"Iya udah, sana, nikah aja sama Rania."
"Sweet Felicia! Ethan! Oma di dalam itu sedang sakit, kalian malah berantem di sini. Kenapa kalian tidak bisa berpikir lebih dewasa sedikit saja, hah?" suara Mike, papinya Ethan, memecah ketegangan, membuat keduanya terdiam.
"Bukan aku, Pi. Dia yang salah!" tunjuk Ethan pada Sweet, berusaha membela diri.
"Kamu juga sama. Sekarang kalian siap-siap, acara dimulai sebentar lagi. No protes! Titik!" titah Mike, tegas.
Sweet masih ingin melayangkan protes, namun urung melakukannya. Om Mike benar, sekarang mereka harus mentaati wasiat dari almarhum Oppa, melihat kondisi Oma Ningsih yang sepertinya sudah tidak bisa bertahan lebih lama.
"Om, setelah aku menikah dengan Ethan, apakah kami bisa bercerai?" tiba-tiba Sweet bertanya, suaranya penuh harap dan sedikit bergetar.
Om Mike terdiam sejenak, pandangannya lembut menatap Sweet. "Om mengerti apa yang kamu rasakan, Sweet. Ingat, selama ada Om di sini, tidak ada yang bisa menyakiti kamu," ujarnya, berusaha menenangkan.
"Tapi om-"
"Sudah, sekarang masuklah. Ganti pakaianmu. Biarkan Oma tenang setelah melihat kalian bersatu," potong Om Mike dengan nada tegas namun penuh kasih.
Saat lafaz ijab selesai, suasana ruangan berubah menjadi sakral. Ethan dan Sweet kini resmi menjadi pasangan suami istri muda, dikelilingi oleh keluarga yang menyaksikan momen bersejarah ini. Namun, di tengah kebahagiaan yang seharusnya dirayakan, ada sesuatu yang mengganjal di hati.
Oma Ningsih, sosok yang penuh kasih, perlahan menutup matanya. Ada kedamaian di wajahnya, seolah seluruh beban sudah terlepas. Wasiat dari Oppa sudah terlaksana, dan kini dia bisa beristirahat. Namun, bukannya tertawa dan bersorak, suara tangisan menggema di ruangan, menandakan kesedihan yang mendalam.
Keluarga berkumpul, saling berpelukan, meratapi kepergian Oma Ningsih yang mendadak. Air mata mengalir, seperti hujan yang tak kunjung reda, menciptakan suasana yang kontras dengan momen bahagia yang seharusnya dirayakan. Sweet berdiri di tengah keramaian itu, hatinya bergetar, merasakan campur aduk antara kehilangan dan harapan yang masih membara.Sweet berdiri di samping Oma Ningsih yang terbaring lemah, hati kecilnya bergetar mendengar suara mamanya yang penuh kekhawatiran. "Ma, oma kenapa? Bukannya oma baik-baik saja ya, kenapa sekarang jadi seperti ini?" tanyanya, menahan air mata yang hampir menetes. Keresahan yang melanda membuat hari itu terasa gelap, seolah semua warna hilang dari dunia mereka.
"Mama juga nggak tau, Sweet. Oma mendadak nggak mau makan, setelah itu pingsan dan-" suara mamanya terputus, menggantung, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.
"Kenapa tidak ke rumah sakit aja?" tanya Sweet cepat, memotong kalimat mamanya. Hatinya bergejolak, tidak bisa membayangkan kehilangan sosok yang selama ini menjadi penopang hidupnya.
Namun, hanya mendapatkan gelengan kepala dari mamanya membuat Sweet frustasi. Rasa putus asa menyelimuti hatinya. Apa yang bisa ia lakukan? Dalam keheningan yang menyakitkan, Ethan menghampirinya, menggenggam tangan Oma yang terkulai lemah.
"Kamu sudah siap?" tanyanya datar, tanpa ekspresi, membuat Sweet mengerutkan kening.
"Maksud kamu apa?" tanya Sweet kembali, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Ethan menatap kanan dan kiri, memastikan privasi mereka. "Ayo ikut denganku," ajaknya, dan tanpa banyak bertanya, Sweet mengangguk setuju. Kedua remaja itu melangkah keluar ke halaman, menjauh dari kerumunan, menjaga rahasia yang semakin membebani mereka.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Ethan berbicara, "Hari ini kita akan menikah."
Duar! Seperti suara petir di siang bolong, Sweet terperanjat. "Maksud kamu apa, Ethan? Oma sedang sakit, dan kamu mengajak aku kesini hanya untuk bercanda?" Suaranya bergetar, berusaha mengontrol emosi yang mendidih.
"Aku tidak bercanda, Sweet. Ini permintaan Oma. Paling penting, ini adalah wasiat. Aku mau Oma jalan dengan tenang," jawab Ethan tegas, menatap dalam mata Sweet.
"Jadi kamu sudah tahu-"
Ethan mengangguk sambil berkacak pinggang. "Iya, aku sudah tahu. Semua orang juga sudah tahu," jawabnya cepat, membuat Sweet semakin bingung. Dalam hati, ia merutuki janji yang telah diucapkan Oma, untuk tidak membocorkan rahasia yang menyakitkan ini.
Dalam kondisi Oma yang seperti ini, apakah Sweet tega untuk bertanya lebih pada Omanya? Tentu tidak. Rasa frustasi semakin memuncak, dan ia mengacak-acak rambutnya sendiri. "Kalau aku nggak mau nerusin pernikahan ini gimana? Kamu bisakan nikah aja sama Rania," cetus Sweet tanpa terduga.
"Kamu gila ya!" bentak Ethan, wajahnya masam.
"Yes! I'm losing my mind! Aku capek dan kalau bisa, aku udah nggak mau ada hubungan apapun sama kamu!" teriak Sweet, emosi tak tertahankan.
Ethan tersenyum sinis. "Kamu kira aku suka sama kamu? Hmm? Kalau aku bisa memilih, aku mending nikah sama Rania yang jauh lebih baik dari kamu!"
"Iya udah, sana, nikah aja sama Rania."
"Sweet Felicia! Ethan! Oma di dalam itu sedang sakit, kalian malah berantem di sini. Kenapa kalian tidak bisa berpikir lebih dewasa sedikit saja, hah?" suara Mike, papinya Ethan, memecah ketegangan, membuat keduanya terdiam.
"Bukan aku, Pi. Dia yang salah!" tunjuk Ethan pada Sweet, berusaha membela diri.
"Kamu juga sama. Sekarang kalian siap-siap, acara dimulai sebentar lagi. No protes! Titik!" titah Mike, tegas.
Sweet masih ingin melayangkan protes, namun urung melakukannya. Om Mike benar, sekarang mereka harus mentaati wasiat dari almarhum Oppa, melihat kondisi Oma Ningsih yang sepertinya sudah tidak bisa bertahan lebih lama.
"Om, setelah aku menikah dengan Ethan, apakah kami bisa bercerai?" tiba-tiba Sweet bertanya, suaranya penuh harap dan sedikit bergetar.
Om Mike terdiam sejenak, pandangannya lembut menatap Sweet. "Om mengerti apa yang kamu rasakan, Sweet. Ingat, selama ada Om di sini, tidak ada yang bisa menyakiti kamu," ujarnya, berusaha menenangkan.
"Tapi om-"
"Sudah, sekarang masuklah. Ganti pakaianmu. Biarkan Oma tenang setelah melihat kalian bersatu," potong Om Mike dengan nada tegas namun penuh kasih.
Saat lafaz ijab selesai, suasana ruangan berubah menjadi sakral. Ethan dan Sweet kini resmi menjadi pasangan suami istri muda, dikelilingi oleh keluarga yang menyaksikan momen bersejarah ini. Namun, di tengah kebahagiaan yang seharusnya dirayakan, ada sesuatu yang mengganjal di hati.
Oma Ningsih, sosok yang penuh kasih, perlahan menutup matanya. Ada kedamaian di wajahnya, seolah seluruh beban sudah terlepas. Wasiat dari Oppa sudah terlaksana, dan kini dia bisa beristirahat. Namun, bukannya tertawa dan bersorak, suara tangisan menggema di ruangan, menandakan kesedihan yang mendalam.
Keluarga berkumpul, saling berpelukan, meratapi kepergian Oma Ningsih yang mendadak. Air mata mengalir, seperti hujan yang tak kunjung reda, menciptakan suasana yang kontras dengan momen bahagia yang seharusnya dirayakan. Sweet berdiri di tengah keramaian itu, hatinya bergetar, merasakan campur aduk antara kehilangan dan harapan yang masih membara.
“I LOVE YOU, KAPTEN!” Teriakan itu terdengar di area penjemputan, menggema di sekitar terminal kedatangan internasional. Semua mata terpaku pada sosok gadis mungil yang cantik dalam balutan dress selutut warna putih bermotif bunga sakura. Ia tampak anggun dan menawan dengan penampilannya, berbanding terbalik dengan teriakan lantang nya yang kasar. Seorang pria dengan balutan seragam mengayun langkah mantap dengan menyeret kopernya. Senyum kemenangan yang awalnya terpatri di wajah tampannya itu segera menghilang. Aura cuek dan dingin kini terpatri kembali di wajahnya. “Caramu menyatakan cinta itu sungguh bar-bar sekali, Nona Fiona,” ucap David sambil melemparkan senyum jahatnya saat ia berhenti di hadapan Fiona. Fiona diam-diam memutar bola matanya dengan malas, tetapi ia dengan cepat memasang senyum termanis yang ia miliki. ‘Dasar kapten pilot kurang ajar! Awas saja dia! Kenapa juga dia harus menerorku untuk menghancurkan ‘Ana's Wedding Dream?’ Gara-gara dia aku jadi harus malu-maluin diri sendiri kayak gini!’ Fiona membatin dengan kesal sambil diam-diam menatap nyalang pada pria tampan yang tengah menatapnya itu. Tidak ada yang akan tahu isi hatinya, termasuk David. Apa yang kira-kira terjadi di antara Fiona dan David? Kenapa Fiona berusaha menjebak David dengan menyatakan cinta kepada pria itu?
Kemudian Andre membuka atasannya memperlihatkan dada-nya yang bidang, nafasku makin memburu. Kuraba dada-nya itu dari atas sampah kebawah melawati perut, dah sampailah di selangkangannya. Sambil kuraba dan remas gemas selangkangannya “Ini yang bikin tante tadi penasaran sejak di toko Albert”. “Ini menjadi milik-mu malam ini, atau bahkan seterusnya kalau tante mau” “Buka ya sayang, tante pengen lihat punya-mu” pintuku memelas. Yang ada dia membuka celananya secara perlahan untuk menggodaku. Tak sabar aku pun jongkok membantunya biar cepat. Sekarang kepalaku sejajar dengan pinggangnya, “Hehehe gak sabar banget nih tan?” ejeknya kepadaku. Tak kupedulikan itu, yang hanya ada di dalam kepalaku adalah penis-nya yang telah membuat penasaran seharian ini. *Srettttt……
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Dua tahun lalu, Regan mendapati dirinya dipaksa menikahi Ella untuk melindungi wanita yang dia sayangi. Dari sudut pandang Regan, Ella tercela, menggunakan rencana licik untuk memastikan pernikahan mereka. Dia mempertahankan sikap jauh dan dingin terhadap wanita itu, menyimpan kehangatannya untuk yang lain. Namun, Ella tetap berdedikasi sepenuh hati untuk Regan selama lebih dari sepuluh tahun. Saat dia menjadi lelah dan mempertimbangkan untuk melepaskan usahanya, Regan tiba-tiba merasa ketakutan. Hanya ketika nyawa Ella berada di tepi kematian, hamil anak Regan, dia menyadari, cinta dalam hidupnya selalu Ella.
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"
Untuk membayar hutang, dia menggantikan pengantin wanita dan menikahi pria itu, iblis yang ditakuti dan dihormati semua orang. Sang wanita putus asa dan kehabisan pilihan. Sang pria kejam dan tidak sabaran. Pria itu mencicipi manisnya sang wanita, dan secara bertahap tunduk pada nafsu adiktif. Sebelum dia menyadarinya, dia sudah tidak dapat melepaskan diri dari wanita tersebut. Nafsu memicu kisah mereka, tetapi bagaimana cinta bersyarat ini akan berlanjut?
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..