Dimas adalah seorang pengusaha sukses sekaligus duda yang dingin setelah perceraian pahitnya. Kehadiran Sinta, sekretaris barunya yang lembut dan ceria, membawa kehangatan yang tak pernah ia rasakan lagi. Sinta pun tanpa sadar mulai terlibat dalam kehidupan anak Dimas yang kesepian, yang bernama Arya. Saat hubungan mereka mulai berkembang, mantan istri Dimas muncul kembali, mengancam kebahagiaan yang baru mereka temukan. Akankah mereka bertahan menghadapi badai ini?
Hujan deras mengguyur kota Jakarta sore itu, membasahi jalanan yang dipenuhi kendaraan. Gedung-gedung pencakar langit tampak buram oleh kabut dan rintik hujan, namun di salah satu lantai tertinggi, seorang pria berdiri menghadap jendela kaca besar. Dimas Pratama, CEO PT Pratama Jaya, adalah sosok yang mendominasi ruangannya dengan kehadiran dingin dan penuh wibawa.
Jas hitam yang ia kenakan terjahit rapi, menggambarkan sosok pria mapan yang telah lama terbiasa dengan dunia bisnis yang keras. Sorot matanya yang tajam mengamati keramaian kota tanpa benar-benar melihat, seolah pikirannya melayang jauh dari hiruk-pikuk dunia di bawah sana.
Hari itu seperti hari-hari lainnya bagi Dimas. Ia mengawali pagi dengan rapat bersama para eksekutif, diikuti panggilan dari klien besar, lalu menandatangani kontrak miliaran rupiah. Jadwalnya padat, tanpa jeda untuk memikirkan hal-hal yang bukan urusan pekerjaan. Sebagai salah satu pengusaha muda paling sukses di negeri ini, Dimas sudah terbiasa mengorbankan segalanya untuk ambisi dan tanggung jawabnya. Namun, di balik gemilangnya kesuksesan, hidup Dimas hanyalah rutinitas yang kaku dan sunyi.
Saat itu, pintu ruangannya diketuk, membuyarkan lamunannya. Terdengar suara berat sekretaris pribadinya, Pak Arman.
"Pak Dimas, rapat dengan tim pemasaran akan dimulai dalam lima menit."
"Baik, saya segera ke sana," jawab Dimas singkat tanpa menoleh.
Langkah Dimas mantap keluar dari ruangan, melewati koridor yang dirancang dengan interior modern. Setiap karyawan yang berpapasan dengannya menunduk hormat, namun tatapan mereka penuh dengan rasa segan. Dimas bukan tipe atasan yang hangat atau murah senyum. Semua orang tahu, Dimas Pratama hanya peduli pada nasi kerja keras mereka.
Di dalam ruang rapat, tim pemasaran telah menunggu.
"Selamat datang, pak Dimas."
"Terimakasih," sahut Dimas dan langsung duduk di kursinya.
Rapat dimulai dengan presentasi strategi baru untuk kampanye produk terbaru perusahaan. Dimas mendengarkan dengan serius, namun kritik pedas keluar tanpa ragu ketika ia merasa ada hal yang tidak sesuai.
"Kita tidak bisa menggunakan pendekatan klise seperti ini. Pasar sudah jenuh. Berikan sesuatu yang segar, yang berbeda, atau kita akan kalah dari pesaing," ujarnya tegas.
Semua orang menegang mendengar kritikan pedas yang terlontar dari bibir Dimas.
Rapat berakhir dengan suasana tegang, seperti biasa. Namun bagi Dimas, itu hanyalah bagian dari pekerjaannya. Ia telah membangun perusahaannya dari nol setelah melepaskan diri dari bayang-bayang ayahnya yang dulu juga seorang pengusaha besar. Baginya, kesuksesan adalah segalanya, tanpa kompromi.
Namun, di balik semua pencapaiannya, ada kekosongan yang tak bisa ia isi.
****
Sore itu, setelah jam kerja telah berakhir, Dimas tidak langsung pulang ke rumah. Ia memilih duduk di sudut ruangannya yang sunyi, memandangi foto seorang anak laki-laki berusia delapan tahun di atas meja kerjanya. Arya. Satu-satunya anaknya, sekaligus satu-satunya hal yang membuatnya tetap bertahan setelah perceraian yang menghancurkan hidupnya.
Hubungannya dengan Arya, sayangnya, jauh dari kata dekat. Setelah bercerai dari Melisa tiga tahun lalu, Dimas merasa dirinya semakin terpisah dari putrinya itu. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena ia tidak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang. Waktu yang ia habiskan bersama Arya sering terasa canggung, seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka.
Ponselnya berbunyi, memunculkan nama Bu Wina, pengasuh Arya.
"Pak Dimas, Arya tadi tidak mau makan siang lagi," lapor Bu Wina, pengasuh Arya dengan nada khawatir.
Dimas menarik napas panjang. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar kabar seperti itu.
"Coba bujuk dia. Kalau dia tetap tidak mau makan, biarkan saja. Nanti saya pulang," jawabnya singkat sebelum menutup telepon.
Hati kecilnya terasa berat setiap kali menerima kabar tentang Arya, tetapi ia tak tahu harus berbuat apa. Hidupnya sudah terlalu rumit untuk ditambah dengan masalah emosional yang tak ia pahami.
****
Malam itu, Dimas pulang ke rumah yang megah di kawasan elit Jakarta Selatan. Rumah itu luas, dengan taman yang indah dan kolam renang di belakang, tetapi selalu terasa kosong. Arya sedang duduk di ruang keluarga dengan tablet di tangannya, tenggelam dalam dunianya sendiri.
"Sudah makan?" tanya Dimas ketika ia melepas jasnya.
Arya hanya menggeleng tanpa menoleh pada ayahnya.
Dimas menghela napas. Ia mencoba mendekat dan duduk di sebelah putranya. "Kenapa tidak mau Ma kan, Arya? Nanti kamu sakit."
Arya tetap diam, matanya terpaku pada layar.
Dimas ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi ia tidak tahu harus memulai dari mana. Akhirnya, ia hanya mengusap kepala Arya dengan kaku sebelum berdiri. Ia tahu bahwa kehadirannya saja tidak cukup untuk mengisi kekosongan yang dirasakan putranya.
Dimas melangkah pergi menuju ke kamarnya.
Di dalm kamarnya, Dimas duduk di depan meja kerja kecil, memandangi foto lama keluarganya. Foto itu diambil saat Arya baru berusia lima tahun, sebelum rumah tangganya dengan Melisa berantakan. Saat itu, mereka tampak seperti keluarga bahagia. Namun, di balik senyuman di foto tersebut, ada retakan yang perlahan menghancurkan segalanya.
Perceraian dengan Melisa bukan keputusan yang mudah. Melisa adalah wanita yang ambisius, sama seperti Dimas, tetapi ambisinya sering kali berbenturan dengan prinsip mereka. Ketika konflik semakin memanas, Dimas memilih berpisah, meskipun itu berarti melukai hati Arya. Hingga kini, rasa bersalah itu terus menghantuinya, meskipun ia tak pernah mengakuinya pada siapa pun.
****
Keesokan harinya, Dimas kembali larut dalam pekerjaannya. Agenda hari itu penuh dengan pertemuan penting, termasuk wawancara untuk mencari sekretaris baru. Pak Arman yang selama ini menjadi tangan kanan Dimas telah meminta pensiun dini, dan Dimas membutuhkan seseorang yang dapat diandalkan untuk menggantikan posisinya.
Sesi wawancara dimulai dengan belasan kandidat, tetapi tidak ada yang benar-benar menarik perhatian Dimas. Hingga akhirnya, seorang wanita muda masuk ke ruang wawancara. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan blazer hitam, rambutnya diikat rapi. Senyum ramahnya langsung mencuri perhatian tim wawancara, meski Dimas tetap bersikap netral.
"Perkenalkan, nama saya Sinta Rahayu. Saya lulusan administrasi bisnis dan memiliki pengalaman sebagai sekretaris di perusahaan sebelumnya," ujar wanita itu dengan nada percaya diri namun sopan.
Dimas mengamati Sinta dengan mata tajamnya. Ia mengajukan beberapa pertanyaan sulit, mencoba menguji kemampuan Sinta di bawah tekanan. Namun, jawaban Sinta selalu lugas dan tepat, menunjukkan bahwa ia tidak hanya cakap, tetapi juga tangguh.
Setelah wawancara selesai, tim merekomendasikan Sinta sebagai kandidat terbaik. Meskipun Dimas tidak menunjukkan antusiasme, ia setuju untuk memberinya kesempatan. Baginya, profesionalisme adalah segalanya.
"Selamat, mulai besok Anda resmi menjadi bagian dari tim saya," ucap Dimas tanpa ekspresi.
"Terima kasih, Pak. Saya akan bekerja sebaik mungkin," jawab Sinta dengan senyum tulus.
Dimas hanya mengangguk sebelum meninggalkan Ruangan tersebut, kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tidak menyadari bahwa kehadiran Sinta akan membawa perubahan besar dalam hidupnya dan Arya.
****
Malam itu, hujan kembali mengguyur kita Jakarta. Dimas berdiri di balkon rumahnya, memandangi taman yang gelap. Ia merenungkan kehidupannya yang terasa hampa meski ia memiliki segalanya.
Di dalam rumah, Arya tertidur di kamarnya, memeluk boneka lama yang sudah lusuh. Dimas tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk memperbaiki hubungannya dengan putranya, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.
Hidup Dimas adalah seperti hujan di luar sana, dingin, deras, tetapi selalu mengalir tanpa henti. Ia hanya berharap suatu hari nanti, badai itu akan reda, dan ia bisa merasakan hangatnya sinar matahari sekali lagi.
Anna, seorang sekretaris cerdas dan disukai di kantornya, dikejutkan oleh kedatangan bos baru yang ternyata adalah Arga, mantan kekasihnya dari masa kuliah. Meski mereka telah lama berpisah dengan luka yang belum sembuh, kini mereka dipaksa bekerja sama dalam proyek besar yang akan menentukan masa depan perusahaan. Ketika perasaan lama mulai muncul kembali di tengah tekanan pekerjaan, Anna dihadapkan pada pilihan sulit, tetap bersikap profesional atau membuka pintu untuk cinta yang pernah ia tinggalkan. Mampukah mereka mengubur masa lalu dan fokus pada tujuan, atau akan terjebak dalam konflik hati yang tak terelakkan?
Karina, seorang manajer hotel asal Indonesia, dikirim ke London untuk memimpin renovasi hotel milik keluarganya yang ada di london. Di sana, ia bertemu Henry, seorang arsitek Inggris yang keras kepala. Ketegangan di antara mereka memanas saat Karina mengetahui Henry adalah pria yang dijodohkan dengannya oleh keluarganya. Meskipun awalnya bersikap profesional dan dingin, di bawah bayangan langit london, perasaan cinta mulai tumbuh. Namun, apakah mereka siap menghadapi tuntutan keluarga dan tantangan perbedaan mereka?
Mengandung adegan 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan! Thalia Argantara terlahir dari keluarga sederhana dan cemara yang membuat kepribadian ceria dan humble. Dianugerahi paras yang cantik nan rupawan, Thalia menjadi sangat digemari banyak pria, dia juga wanita yang memiliki otak cerdas sehingga mendapat kepercayaan untuk menjadi Asisten Pribadi baru sang CEO di Alexander Crop. Bryan Alexander yang terlahir dari keluarga kaya raya menjadikannya pewaris utama Alexander Crop, memiliki segudang prestasi dan ketampanan sehingga membuat para wanita terpikat. Beberapa bulan lalu ia memutuskan untuk bercerai dengan istrinya yang berselingkuh dan hak anak jatuh kepada tangan Bryan. Lalu apakah yang terjadi jika Thalia bertemu dengan duda tampan seperti Bryan? Akankah Thalia mampu bertahan dari godaan pesona Bryan?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Zain, seorang pengusaha terkenal yang terlihat muda di usianya yang mendekati empat puluh. Ia adalah seorang pria yang nyaris sempurna tanpa cela. Namun, tidak seorang pun yang tahu. Lima tahun yang lalu pasca menyaksikan pengkhianatan istrinya, Zain mengalami kecelakaan tragis. Dampak kecelakaan itu ia mengalami disfungsi seksual. Demi harga dirinya, Zain menjaga aib itu rapat-rapat. Namun, hal itu dimanfaatkan Bella untuk berbuat semena-mena. Kecewa karena Zain tidak mampu memberinya kepuasan, Bella bermain gila dengan banyak pria. Zain tidak berkutik, hanya bisa pasrah karena tidak ingin kekurangan dirinya diketahui oleh orang banyak. Namun, semuanya berubah saat Zain mengenal Yvone, gadis muda yang mabuk di kelab malam miliknya. Untuk pertama kalinya, Zain kembali bergairah dan memiliki hasrat kepada seorang wanita. Namun, Yvone bukanlah gadis sembarangan. Ia adalah kekasih Daniel, anak tirinya sendiri. Mampukah Zain mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Nafas Dokter Mirza kian memburu saat aku mulai memainkan bagian bawah. Ya, aku sudah berhasil melepaskan rok sekalian dengan celana dalam yang juga berwarna hitam itu. Aku sedikit tak menyangka dengan bentuk vaginanya. Tembem dan dipenuhi bulu yang cukup lebat, meski tertata rapi. Seringkali aku berhasil membuat istriku orgasme dengan keahlihanku memainkan vaginanya. Semoga saja ini juga berhasil pada Dokter Mirza. Vagina ini basah sekali. Aku memainkan lidahku dengan hati-hati, mencari di mana letak klitorisnya. Karena bentuknya tadi, aku cukup kesulitan. Dan, ah. Aku berhasil. Ia mengerang saat kusentuh bagian itu. "Ahhhh..." Suara erangan yang cukup panjang. Ia mulai membekap kepalaku makin dalam. Parahnya, aku akan kesulitan bernafas dengan posisi seperti ini. Kalau ini kuhentikan atau mengubah posisi akan mengganggu kenikmatan yang Ia dapatkan. Maka pilihannya adalah segera selesaikan. Kupacu kecepatan lidahku dalam memainkan klitorisnya. Jilat ke atas, sapu ke bawah, lalu putar. Dan aku mulai memainkan jari-jariku untuk mengerjai vaginanya. Cara ini cukup efektif. Ia makin meronta, bukan mendesah lagi. "Mas Bayuu, oh,"
Yahh saat itu tangan kakek sudah berhasil menyelinap kedalam kaosku dan meremas payudaraku. Ini adalah pertama kali payudaraku di pegang dan di remas langsung oleh laki2. Kakek mulai meremas payudaraku dengan cepat dan aku mulai kegelian. “ahhhkkk kek jangannnhh ahh”. Aku hanya diam dan bingung harus berbuat apa. Kakek lalu membisikkan sesuatu di telingaku, “jangan berisik nduk, nanti adikmu bangun” kakek menjilati telingaku dan pipiku. Aku merasakan sangat geli saat telingaku di jilati dan memekku mulai basah. Aku hanya bisa mendesah sambil merasa geli. Kakek yang tau aku kegelian Karena dijilati telinganya, mulai menjilati telingaku dengan buas. Aku: “ahhkkk ampunnn kek, uddaahhhhh.” Kakek tidak memperdulikan desahanku, malah ia meremas dengan keras payudaraku dan menjilati kembali telingaku. Aku sangat kegelian dan seperti ingin pipis dan “crettt creettt” aku merasakan aku pipis dan memekku sangat basah. Aku merasa sangat lemas, dan nafasku terasa berat. Kakek yang merasakan bila aku sudah lemas langsung menurunkan celana pendekku dengan cepat. Aku pun tidak menyadarinya dan tidak bisa menahan celanaku. Aku tersadar celanaku sudah melorot hingga mata kakiku. Dan tiba2 lampu dikamarku menyala dan ternyata...