Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Cinta Bersemi Di New York
Cinta Bersemi Di New York

Cinta Bersemi Di New York

5.0
3 Bab
41 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Demi menyelamatkan perusahaan keluarganya, Clarisa harus menikahi Samuel, seorang pengusaha dingin yang memandang pernikahan hanya sebagai bisnis. Hidup bersama pria asing di kota sibuk New York bukanlah hal yang mudah, apalagi saat bayang-bayang masa lalu Samuel kembali mengusik. Namun, di balik semua itu, Clarisa mulai melihat sisi lain Samuel yang tak terduga. Saat cinta mulai tumbuh, bisakah mereka melawan semua rintangan, atau haruskah Clarisa memilih jalannya sendiri?

Bab 1 Pilihan yang tak diinginkan

Langit sore di kota Jakarta tampak redup, mencerminkan suasana hati Clarisa yang berat. Ia baru saja tiba di rumah orang tuanya setelah mendapatkan panggilan mendesak dari ayahnya, Pak Surya Santoso. Tidak ada penjelasan rinci dalam telepon itu, hanya permintaan agar ia segera datang. Dengan langkah cepat, Clara memasuki ruang tamu, matanya langsung menangkap sosok ayahnya yang duduk di sofa, tampak lelah dan kusut, sesuatu yang jarang ia lihat.

"Papa, ada apa? Kenapa mendadak sekali?" tanya Clarisa, meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di seberang ayahnya.

Pak Surya menghela napas panjang sebelum menjawab. "Clara, Ayah harus berbicara sesuatu yang sangat penting. Perusahaan kita... dalam masalah besar."

Clara merasakan jantungnya berdegup kencang. "Masalah? Maksud Ayah apa? Aku pikir semuanya berjalan lancar."

"Tidak, Clara. Sudah beberapa bulan ini keuangan perusahaan memburuk. Proyek-proyek besar kita gagal. Utang semakin menumpuk. Jika tidak ada solusi segera, kita akan bangkrut dalam hitungan bulan."

Perkataan itu menghantam Clara seperti badai. Perusahaan keluarga mereka adalah kebanggaan ayahnya, sesuatu yang telah dibangun dari nol selama puluhan tahun. Perusahaan itu juga menjadi alasan Clara memilih belajar bisnis dan bergabung dalam usaha keluarga, meski ia punya mimpi sendiri.

"Ada jalan keluarnya, kan?" Clara bertanya, mencoba menenangkan diri meski kepanikannya mulai merayap.

Pak Surya mengangguk perlahan, tetapi ekspresinya justru membuat Clara semakin waspada. "Ada seseorang yang menawarkan bantuan finansial kepada kita. Jika kita menerima, perusahaan bisa diselamatkan."

Clara menyipitkan mata, menunggu penjelasan lebih lanjut. "Siapa? Dan apa syaratnya?"

Pak Surya mengalihkan pandangannya. "Namanya Samuel Adrian. Dia adalah pengusaha sukses di New York. Ia tertarik untuk membantu, tetapi ada satu syarat."

Clara menegakkan punggungnya. "Apa syaratnya, Ayah?"

Pak Surya tampak ragu, tetapi akhirnya ia berkata, "Ia ingin menikah denganmu."

Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan keheningan yang mencekam. Clara menatap ayahnya dengan mata membelalak, berusaha memastikan apakah ia tidak salah dengar.

"Apa? Menikah? Ayah serius?" Clara bertanya, nadanya penuh dengan ketidakpercayaan.

"Clara, dengarkan dulu. Samuel bukan pria sembarangan. Ia memiliki jaringan bisnis yang luas dan reputasi yang tak terbantahkan. Jika kita setuju, ia akan menginvestasikan dana yang cukup besar untuk menyelamatkan perusahaan."

"Tunggu sebentar." Clara mengangkat tangan, mencoba menghentikan penjelasan ayahnya. "Ayah meminta aku menikahi pria asing hanya untuk menyelamatkan perusahaan? Apakah aku terlihat seperti alat tawar-menawar?"

Pak Surya menunduk, terlihat terpukul oleh kata-kata putrinya. "Ayah tahu ini sulit bagimu. Tapi ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan semua yang telah kita bangun. Bukan hanya untuk keluarga kita, tapi juga untuk ratusan karyawan yang bergantung pada perusahaan ini."

Clara bangkit dari tempat duduknya, berjalan mondar-mandir dengan gelisah. "Ayah, aku tidak bisa begitu saja menikah dengan seseorang yang bahkan tidak aku kenal! Ini hidupku, bukan permainan!"

"Clara," suara Pak Surya melembut, tetapi ada nada memohon di dalamnya. "Samuel tidak akan memaksamu. Ini adalah perjanjian yang jelas. Pernikahan ini tidak akan mengikatmu selamanya. Setelah keadaan stabil, kamu bebas membuat keputusan untuk melanjutkan atau tidak."

Clara berhenti, berbalik menghadap ayahnya. "Dan bagaimana dengan perasaanku? Apa Ayah pikir aku bisa menjalani pernikahan seperti itu tanpa rasa sakit?"

Pak Surya terdiam. Ia tahu, di lubuk hatinya, apa yang ia minta dari Clara adalah hal yang sangat berat. Namun, ia merasa tidak punya pilihan lain.

"Clara, Ayah tidak akan memaksa. Tapi Ayah ingin kamu memikirkan ini dengan baik. Tidak hanya untuk kita, tetapi juga untuk masa depan semua orang yang bergantung pada perusahaan ini."

Clara menatap ayahnya, matanya mulai memerah. "Ayah tidak memaksaku, tapi Ayah tahu aku tidak akan tega menolak, bukan? Ini manipulasi, Ayah."

Pak Surya menutup wajahnya dengan kedua tangan, tampak hancur. "Maafkan Ayah, Clara. Ayah tidak ingin menempatkanmu dalam posisi ini, tapi situasinya begitu buruk..."

Clara menghembuskan napas panjang, mencoba menahan amarah yang bercampur dengan kesedihan. Ia merasa terjebak, seolah dunia di sekitarnya runtuh tanpa ia bisa berbuat apa-apa.

"Beri aku waktu untuk berpikir," ucapnya akhirnya, suaranya datar.

Pak Surya mengangguk perlahan. "Tentu, Clara. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa apapun keputusanmu, Ayah akan selalu mendukungmu."

Clara tidak menjawab. Ia mengambil tasnya dan berjalan keluar rumah, merasa perlu udara segar untuk menjernihkan pikirannya.

***

Malam itu, Clara duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota Jakarta yang gemerlap. Biasanya, cahaya lampu kota memberinya ketenangan, tetapi kali ini tidak. Ia merasa seperti sedang menghadapi dilema terbesar dalam hidupnya.

Samuel Adrian. Nama itu terasa asing di telinganya, tetapi ia tahu betul siapa pria itu. Berita tentang Samuel sering muncul di berbagai media bisnis. Ia dikenal sebagai salah satu pengusaha muda paling sukses di New York, pemilik jaringan perusahaan multinasional, dan seseorang yang sangat ambisius. Namun, tidak ada yang tahu banyak tentang kehidupan pribadinya, yang selalu tertutup rapat.

Clara mengambil ponselnya dan mencari informasi lebih lanjut tentang Samuel. Wajah pria itu muncul di layar, tampan, tetapi dingin. Matanya yang tajam seolah memancarkan ketidakpedulian. Clara merasa semakin bingung. Apa yang diinginkan pria seperti Samuel dari seorang wanita asing seperti dirinya?

Saat itulah, pikiran tentang perusahaan keluarganya kembali menghantui. Clara membayangkan para karyawan yang akan kehilangan pekerjaan mereka jika perusahaan benar-benar bangkrut. Ia memikirkan ayahnya, seorang pria yang telah mencurahkan seluruh hidupnya untuk membangun bisnis itu.

"Apakah aku harus mengorbankan hidupku demi mereka?" gumam Clara pada dirinya sendiri.

Pilihan itu terasa seperti perang antara hati dan logika. Di satu sisi, ia tidak ingin menyerahkan masa depannya untuk perjanjian yang hanya berdasarkan keuntungan. Namun, di sisi lain, ia merasa bertanggung jawab untuk melindungi keluarga dan orang-orang yang bergantung pada perusahaan mereka.

Malam semakin larut, tetapi Clara tidak bisa tidur. Kepalanya penuh dengan pertanyaan dan ketidakpastian. Ia tahu bahwa keputusannya akan mengubah hidupnya selamanya, tetapi ia belum tahu ke arah mana hidup itu akan membawanya. Tapi jika bukan dia yang membantu keluarganya, lalu siapa lagi?

***

Esok paginya, Clara kembali ke rumah orang tuanya dengan keputusan yang telah ia buat semalaman.

"Ayah," katanya pelan, menatap Pak Surya yang duduk di ruang makan.

Pak Surya mengangkat wajahnya, tampak penuh harap namun juga khawatir. "Ya, Clara?"

Clara menarik napas panjang sebelum menjawab. "Aku akan melakukannya."

Pak Surya terdiam, menatap putrinya dengan campuran rasa lega dan kesedihan. "Clara, Ayah berjanji akan melakukan segalanya untuk memastikan kamu tidak menyesali keputusan ini."

Clara hanya mengangguk. Di dalam hatinya, ia masih penuh keraguan. Tetapi ia tahu, pilihan ini bukan hanya tentang dirinya.

Dan dengan itu, jalan baru yang penuh tantangan telah terbuka di hadapannya.

***

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY