/0/20967/coverbig.jpg?v=20241108151619)
Ketika seorang istri yang setia mulai merasa diabaikan, ia terlibat dalam perselingkuhan emosional dengan mantan kekasihnya. Hubungan itu tumbuh menjadi lebih dalam, hingga akhirnya ia dihadapkan pada pilihan sulit yang mengancam keluarganya.
Lia menutup laptopnya perlahan, mengalihkan pandangan dari layar yang kosong ke jam dinding di ruang tamu. Sudah pukul sepuluh malam, dan Arya belum juga pulang. Sudah hampir dua bulan terakhir ini suaminya sering pulang terlambat, atau bahkan terkadang menginap di kantor tanpa kabar yang jelas.
Di sebelahnya, kedua anak mereka, Maya dan Dania, telah tertidur lelap di sofa setelah menonton acara kartun kesukaan mereka. Lia menggigit bibirnya pelan, menahan rasa kesepian yang mulai membebani hatinya. Ia menyelimuti anak-anak dengan lembut, berusaha menekan perasaan gelisah yang berdesir di hatinya.
Tak lama setelah itu, terdengar suara pintu dibuka. Arya muncul di ambang pintu, wajahnya tampak letih dan terlihat kusut.
"Kenapa nggak tidur, Lia?" tanya Arya tanpa menatapnya. Ia hanya melepas jas dan menggantungnya di rak dekat pintu.
Lia menelan ludah, berusaha menahan keinginan untuk mengeluarkan keluhan yang sudah lama ia pendam.
"Aku nunggu kamu, Arya. Udah makan?" tanyanya pelan.
Tanpa menoleh, Arya hanya menjawab singkat, "Udah, tadi di kantor."
Hening menguasai ruangan. Lia mengamati suaminya yang tampak acuh, lalu menghela napas panjang. Ia merasakan jarak di antara mereka semakin jauh, dan setiap malam terasa semakin sunyi.
"Arya... kenapa akhir-akhir ini kamu sering pulang malam? Apa ada yang bisa aku bantu?" Lia memberanikan diri bertanya, mencoba memahami beban suaminya.
Arya menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangannya lagi. "Proyek kantor lagi sibuk, Lia. Ini buat masa depan kita juga. Kamu nggak perlu khawatir."
Jawaban itu seperti tembok. Arya mengatakannya dengan nada datar, seolah meminta Lia untuk tidak lagi mengajukan pertanyaan lebih jauh. Lia terdiam, mencoba menelan kekecewaan yang terasa pahit.
"Tapi... kalau kamu terus begini, kapan kita punya waktu buat keluarga, Arya? Anak-anak sering nanyain kamu," ucap Lia lirih, mencoba mempertahankan suaranya agar tidak pecah.
Arya menghela napas panjang, tampak kesal. "Lia, kamu tahu ini buat kita juga, kan? Jangan egois. Aku capek banget. Jangan nambah beban pikiran, ya?"
Kalimat itu membuat hati Lia tersayat. Kata "egois" terasa begitu tajam. Ia menunduk, berusaha mengumpulkan sisa-sisa ketegaran. Tanpa membalas ucapan suaminya, Lia hanya mengangguk pelan dan memutuskan untuk tidak memperpanjang pembicaraan.
Setelah beberapa saat, Arya menuju kamar, meninggalkan Lia yang masih berdiri mematung di ruang tamu. Saat suara langkahnya menghilang di ujung lorong, Lia akhirnya membiarkan air mata yang ia tahan sepanjang malam itu jatuh.
Sejak kapan semua ini berubah? Sejak kapan Arya berhenti memperhatikannya? Lia tak bisa menahan perasaan kesepian yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya. Dalam hati, ia masih mencintai Arya. Ia ingin suaminya kembali seperti dulu, saat mereka bisa berbagi tawa dan cerita tanpa ada jarak di antara mereka.
Esok harinya, saat sarapan, suasana di meja makan terasa hambar. Lia mencoba menghidupkan suasana, tapi Arya hanya fokus pada layar ponselnya.
"Arya, minggu depan ulang tahun pernikahan kita. Kamu ingat, kan?" tanya Lia, mencoba menaruh sedikit harapan.
Tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel, Arya mengangguk pelan. "Hmm, iya... nanti kita lihat aja, ya. Mungkin aku bisa cari waktu kalau nggak terlalu sibuk."
Jawaban itu lagi-lagi menyayat hati Lia. Ia tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kekecewaannya di depan anak-anak yang makan dengan ceria.
Setelah sarapan selesai dan Arya sudah berangkat kerja, Lia mengantar anak-anak ke sekolah. Dalam perjalanan pulang, ia hanya terdiam di dalam mobil, merenung. Saat itulah pikirannya kembali melayang ke masa-masa saat ia dan Arya masih pacaran, saat Arya begitu perhatian dan selalu punya waktu untuknya.
"Apakah aku sudah tidak menarik lagi baginya?" batin Lia sedih.
Sepanjang hari itu, Lia merasakan kehampaan yang semakin besar. Ia mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah dan kegiatan lain, tetapi rasa sepi terus menghantuinya. Hatinya terasa kosong, dan kesepian mulai menjalar dalam hidupnya.
Di malam hari, setelah anak-anak tidur, Lia duduk sendiri di teras, memandangi langit malam yang gelap. Sambil memeluk lutut, ia bergumam pada dirinya sendiri, "Apa aku sudah kehilangan Arya?"
Dalam hati, Lia tahu bahwa perasaannya ini tidak bisa ia pendam terlalu lama. Jika Arya terus mengabaikannya, ia takut perasaan kesepian ini akan berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya.
Lia masih duduk di teras, terbuai dalam pikirannya yang kalut, ketika ponselnya bergetar. Dia mengambilnya dengan perasaan malas, berpikir mungkin hanya pesan notifikasi biasa. Tapi ketika melihat nama di layar, dia tertegun.
"Bayu?" gumam Lia lirih, tak percaya.
Bayu, mantan kekasihnya saat kuliah, tiba-tiba menghubunginya setelah bertahun-tahun tanpa kabar. Rasa heran sekaligus penasaran merayap dalam hatinya. Dengan ragu, ia membuka pesan singkat yang muncul di layarnya.
"Hai, Lia. Lama tak bertemu. Apa kabar?"
Sederhana, namun membuat dadanya berdebar-debar. Lia sejenak bimbang. Di satu sisi, ada rasa hangat yang membuatnya tersenyum mengingat sosok Bayu dan kenangan mereka bersama. Di sisi lain, ia merasa bersalah karena membuka pintu masa lalunya yang seharusnya sudah tertutup rapat sejak lama.
Namun, tanpa sadar, jemarinya mulai mengetik balasan.
"Hai, Bayu. Aku baik. Kamu apa kabar?"
Tak perlu waktu lama, Bayu langsung membalas. Mereka pun mulai terlibat dalam percakapan ringan, saling bertanya kabar dan membicarakan hal-hal kecil yang terjadi selama bertahun-tahun ini. Dalam setiap balasan, Lia merasakan kenyamanan yang sudah lama hilang. Seakan-akan, ia berbicara dengan seorang sahabat yang sangat memahaminya.
Di tengah percakapan, Bayu menulis:
"Kamu nggak berubah, masih ceria seperti dulu. Kadang aku masih ingat obrolan kita tentang impian kita dulu. Apa semua impian itu sudah terwujud, Lia?"
Lia tersenyum pahit. Bagaimana ia bisa menceritakan kehidupan rumah tangganya yang terasa hampa kepada Bayu? Namun entah kenapa, ia merasa seolah Bayu adalah satu-satunya orang yang mau mendengarkannya sekarang.
"Aku bahagia dengan keluarga kecilku, tapi... kadang aku merasa kesepian, Bayu. Arya... suamiku sekarang, dia sibuk sekali dengan pekerjaannya."
Balasan Bayu datang dengan cepat. "Aku bisa mengerti, Lia. Kadang kesibukan memang membuat kita jauh dari orang-orang yang kita sayangi. Tapi jangan biarkan kesepian menguasaimu. Kamu masih punya banyak hal yang berharga."
Lia membaca kata-kata itu berkali-kali, seperti mendengar seorang teman lama menasihatinya dengan lembut. Pembicaraan dengan Bayu malam itu seperti oase di tengah gurun yang gersang, memberinya rasa nyaman dan penghiburan yang selama ini ia rindukan.
Sambil berbaring di tempat tidur malam itu, Lia menatap kosong ke langit-langit, memikirkan percakapannya dengan Bayu. Ia tahu seharusnya ia tidak melibatkan diri terlalu dalam, tapi hati kecilnya merasa bahagia telah berbicara dengannya. Ia merasa didengarkan, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan dari Arya.
Keesokan harinya, Lia terbangun dengan perasaan bercampur aduk. Sepanjang pagi, ia berusaha fokus mengurus anak-anak dan menyiapkan kebutuhan mereka untuk berangkat ke sekolah. Namun, pesan Bayu tetap berputar-putar di pikirannya.
Saat Arya berangkat ke kantor pagi itu, Lia hanya bisa memandang punggung suaminya dengan perasaan getir. Dia tak berusaha mengucapkan selamat tinggal seperti biasanya, dan Arya pun pergi begitu saja tanpa menoleh.
Sorenya, Lia menerima pesan lagi dari Bayu.
"Hari ini aku di kafe tempat kita biasa nongkrong dulu. Kalau kamu punya waktu, mungkin kita bisa ngobrol sebentar? Tapi kalau nggak bisa, aku ngerti kok. Cuma... rasanya senang sekali bisa berbicara denganmu lagi, Lia."
Lia menatap pesan itu dengan campuran rasa bimbang dan penasaran. Bertemu Bayu adalah keputusan besar, dan ia tahu ada risiko di balik pertemuan itu. Namun, rasa kesepian dan kosong dalam hatinya begitu kuat hingga ia tidak bisa menahannya lagi.
Setelah berpikir lama, akhirnya ia mengetik balasan dengan tangan bergetar.
"Oke, aku akan ke sana. Jam 5 sore?"
Bayu segera membalas, "Aku akan menunggumu, Lia."
Pukul lima tepat, Lia tiba di kafe yang sudah lama tak ia kunjungi. Banyak hal yang berubah, namun ketika matanya menangkap sosok Bayu yang menunggunya di sudut kafe, ia merasa seakan waktu kembali ke masa lalu.
Bayu tersenyum hangat dan bangkit dari kursinya, menyambutnya dengan ramah. "Lia, lama tak bertemu," ucapnya lembut.
Lia hanya bisa membalas senyuman itu, perasaannya bercampur aduk antara rasa rindu dan canggung. Mereka pun duduk bersama dan mulai berbicara. Awalnya, percakapan mereka seputar kenangan masa kuliah, tempat-tempat yang mereka datangi, dan tawa yang mereka bagi.
Namun, perlahan-lahan, percakapan itu semakin dalam. Lia membuka diri, menceritakan kehidupannya yang terasa kosong dan kebersamaannya dengan Arya yang semakin pudar.
"Aku merasa seolah aku berbicara dengan tembok, Bayu. Arya terlalu sibuk, dan aku merasa diabaikan... Aku tahu seharusnya aku mendukungnya, tapi aku juga punya perasaan. Aku hanya ingin seseorang yang benar-benar peduli," kata Lia, menundukkan kepala.
Bayu mendengarkannya dengan penuh perhatian. Setelah beberapa saat hening, ia berkata, "Kamu layak merasa dicintai, Lia. Kamu wanita yang luar biasa. Jangan biarkan siapa pun membuatmu merasa sendirian."
Kata-kata Bayu membuat hati Lia bergetar. Mereka saling bertatapan dalam keheningan yang panjang. Tanpa mereka sadari, suasana di antara mereka dipenuhi oleh perasaan lama yang tak pernah benar-benar hilang.
Saat itu, Lia menyadari sesuatu yang membahayakan: kehadiran Bayu kembali menggoyahkan hatinya.
Bersambung...
Setelah bertahun-tahun menjalani pernikahan, pasangan ini menghadapi krisis yang membuat mereka mempertanyakan janji setia mereka. Namun, ketulusan hati dan cinta yang tak pudar membuat mereka menemukan kembali makna kesetiaan dalam pernikahan.
Seorang istri yang ditinggal suaminya bertahun-tahun karena pekerjaan terus menunggunya dengan setia. Meskipun menghadapi godaan dan tekanan dari lingkungan sekitar, ia tetap berpegang pada cinta sejatinya, berharap suatu hari suaminya akan kembali.
Pasangan yang saling mencurigai satu sama lain terlibat dalam permainan cinta yang rumit. Saat kecurigaan mereka terbukti benar, keduanya menemukan bahwa pernikahan mereka hanya sebuah ilusi yang harus diakhiri.
Seorang pria yang merasa kecewa dengan pernikahannya menjalin hubungan terlarang dengan teman istrinya. Perselingkuhan ini berakhir dengan pengkhianatan ganda yang memecah keluarga dan persahabatan.
Di balik kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna, seorang suami berselingkuh dengan rekan kerjanya. Namun, ketika sang istri mulai merasakan ada yang salah, ia menggali lebih dalam dan menemukan rahasia gelap yang menghancurkan hidupnya.
Seorang gadis kecil sering memberikan permen kepada Dika, teman sekelasnya yang diam-diam ia suka. Tapi ketika Dika mulai membagikan permennya ke teman lain, ia cemburu dan harus menghadapi rasa sukanya yang polos.
Apa yang terlintas di benak kalian saat mendengar kata CEO? Angkuh? Kejam? Arogan? Mohammad Hanif As-Siddiq berbeda! Menjadi seorang CEO di perusahaan besar seperti INANTA group tak lantas membuat dia menjadi tipikal CEO yang seperti itu. Dia agamis dan rajin beribadah. Pertemuan putrinya Aisyah dengan Ummi Aida, seorang office girl di tempat dimana dia bekerja, membuat pertunangannya dengan Soraya putri pemilik perusahaan terancam batal karena Aisyah menyukai Ummi yang mirip dengan almarhum ibunya. Dengan siapa hati Hanif akan berlabuh?
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
Kisah asmara para guru di sekolah tempat ia mengajar, keceriaan dan kekocakan para murid sekolah yang membuat para guru selalu ceria. Dibalik itu semua ternyata para gurunya masih muda dan asmara diantara guru pun makin seru dan hot.
Cerita ini hanya fiksi belaka. Karanga author Semata. Dan yang paling penting, BUKAN UNTUK ANAK2. HANYA UNTUK DEWASA. Cinta memang tak pandang tempat. Itulah yang sedang Clara rasakan. Ia jatuh cinta dengan ayah tirinya sendiri bernama Mark. Mark adalah bule yang ibunya kenal saat ibunya sedang dinas ke Amerika. Dan sekarang, ia justru ingin merebut Mark dari ibunya. Gila? Tentu saja. Anak mana yang mau merebut suami ibunya sendiri. Tapi itulah yang sekarang ia lakukan. Seperti gayung bersambut, Niat Clara yang ingin mendekati Mark diterima baik oleh pria tersebut, apalagi Clara juga bisa memuaskan urusan ranjang Mark. Akankah Clara berhasil menjadikan Mark kekasihnya? Atau lebih dari itu?
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?