/0/21099/coverbig.jpg?v=c01596d3e41a7458eead180584cde204)
Pasangan yang saling mencurigai satu sama lain terlibat dalam permainan cinta yang rumit. Saat kecurigaan mereka terbukti benar, keduanya menemukan bahwa pernikahan mereka hanya sebuah ilusi yang harus diakhiri.
Dulu, pernikahan Lisa dan Dimas penuh warna. Mereka adalah pasangan yang saling mendukung, saling mengasihi, dan tak pernah kehabisan alasan untuk tertawa. Namun, waktu berlalu, dan bunga cinta yang dulu mekar di hati Lisa kini perlahan layu. Hubungan mereka menjadi dingin, tak lagi dipenuhi percakapan dan tawa seperti dulu.
Pagi itu, Lisa duduk di meja makan sambil memandangi secangkir kopi yang sudah mendingin. Dimas datang ke ruang makan sambil mengecek ponselnya, tanpa melihat ke arah Lisa. Keheningan terasa begitu pekat di antara mereka.
Lisa menghela napas, mengumpulkan keberanian untuk memulai percakapan.
Lisa: "Mas, akhir-akhir ini kita jarang ngobrol. Aku merasa... ada yang hilang di antara kita."
Dimas menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya. Dia menghela napas singkat sebelum menjawab.
Dimas: "Memangnya kenapa? Kita masih tinggal serumah, tidur di ranjang yang sama. Apa yang kurang?"
Lisa menggigit bibirnya, mencoba meredam perasaan sakit hati yang perlahan muncul. Jawaban Dimas terasa dingin, hampir tak peduli.
Lisa: "Itu bukan sekadar tinggal serumah, Mas. Aku merasa... kita seperti dua orang asing yang berbagi ruang, tapi tidak benar-benar bersama."
Dimas mendengus kecil, lalu meletakkan ponselnya di meja. Wajahnya menunjukkan ekspresi lelah.
Dimas: "Lisa, kita sudah dewasa. Ini bukan masa-masa pacaran lagi. Tanggung jawab semakin banyak, kerjaan makin berat. Aku nggak punya waktu untuk hal-hal romantis seperti dulu."
Lisa tertunduk, merasakan perasaan hampa yang kian menyesakkan dadanya. Dulu, Dimas adalah pria yang selalu membuatnya merasa spesial. Tapi kini, kata-kata romantis berubah menjadi rutinitas, dan kebersamaan mereka terasa hambar.
Lisa: "Aku rindu Dimas yang dulu, yang selalu menanyakan kabarku, yang peduli padaku. Aku merasa sendirian, Mas..."
Dimas terdiam, seolah tak tahu harus berkata apa. Ia menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya.
Dimas: "Aku juga lelah, Lisa. Aku bekerja keras supaya kita bisa hidup nyaman. Apa itu nggak cukup?"
Lisa menatap suaminya, mencoba memahami dari mana datangnya perubahan ini. Namun, pertanyaan di kepalanya tetap berputar, tanpa jawaban.
Lisa: "Apa yang sebenarnya terjadi pada kita, Mas? Apa aku kurang berusaha untuk menjadi istri yang baik?"
Dimas tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Lisa sejenak, lalu berdiri dan mengambil tas kerjanya. Saat hendak melangkah keluar, ia berkata pelan.
Dimas: "Mungkin kita hanya butuh waktu. Aku harus berangkat sekarang."
Tanpa menunggu jawaban, Dimas meninggalkan Lisa sendirian di meja makan. Lisa hanya bisa menatap pintu yang tertutup di depannya, merasakan rasa sakit yang menyelinap ke dalam hatinya.
Sepulang kerja, Lisa mencoba untuk menyibukkan diri di rumah. Dia memasak makan malam, berharap Dimas akan menyukainya. Namun, ketika Dimas pulang, ia hanya mengambil makanannya tanpa banyak berkata-kata, kemudian kembali tenggelam dalam pekerjaannya di ruang kerja.
Malam itu, Lisa tidak tahan lagi. Ia mengetuk pintu ruang kerja, dan Dimas membuka pintu sambil menghela napas panjang.
Lisa: "Mas, kita harus bicara."
Dimas meletakkan kertas-kertasnya dan menatap Lisa dengan wajah lelah.
Dimas: "Apa lagi sekarang, Lisa? Aku benar-benar capek."
Lisa: "Itulah masalahnya, Mas. Aku selalu merasa kamu lebih peduli pada pekerjaan daripada padaku."
Dimas menatap Lisa dalam diam, lalu menggelengkan kepalanya.
Dimas: "Lisa, ini bukan soal siapa yang lebih penting. Ini soal tanggung jawab. Kita butuh uang, kita butuh kestabilan."
Lisa menggeleng, merasa putus asa dengan jawaban yang sama berulang kali.
Lisa: "Apakah kita benar-benar butuh semua itu jika kita kehilangan rasa cinta di antara kita?"
Dimas terdiam, tatapannya berubah dingin.
Dimas: "Aku nggak tahu, Lisa. Mungkin kamu yang terlalu banyak berharap."
Setelah itu, Dimas kembali ke ruang kerja, meninggalkan Lisa dengan perasaan yang semakin hampa. Malam itu, Lisa hanya bisa merenung, bertanya-tanya apakah cinta mereka yang dulu indah telah benar-benar pudar atau hanya terpendam di balik beban kehidupan yang menyesakkan.
Lisa duduk di ranjang, matanya menatap ke arah jendela kamar yang gelap. Pikirannya penuh dengan kenangan masa lalu, saat semuanya terasa lebih sederhana dan cinta mereka masih kuat. Dulu, ia dan Dimas selalu bersemangat untuk menghabiskan waktu bersama. Tapi sekarang, bahkan senyuman dari suaminya terasa langka. Rasa rindu pada sosok Dimas yang dulu semakin membesar di hatinya.
Malam semakin larut, namun tidur tak kunjung datang. Lisa memutuskan untuk turun ke dapur, membuat secangkir teh hangat, berharap bisa menenangkan pikirannya. Ketika dia sedang mengaduk teh dengan pelan, suara langkah kaki terdengar dari arah ruang kerja. Dimas keluar, tampak terkejut melihat Lisa masih terjaga.
Dimas: "Kamu belum tidur?"
Lisa mengangguk pelan sambil menyesap teh, mencoba untuk tersenyum walau senyum itu tak sampai ke matanya.
Lisa: "Nggak bisa tidur. Banyak pikiran."
Dimas menatapnya sejenak, seolah mempertimbangkan apakah ia harus berbicara lebih jauh atau tidak. Akhirnya, ia menarik kursi di samping meja dapur dan duduk di hadapan Lisa. Ini adalah salah satu momen langka, di mana mereka duduk berdua tanpa kehadiran ponsel, pekerjaan, atau rutinitas lainnya.
Dimas: "Apa yang bikin kamu kepikiran?"
Lisa menatap suaminya dengan penuh harap. Mungkin ini kesempatan untuk berbicara, untuk membuka diri lagi, seperti yang dulu sering mereka lakukan.
Lisa: "Aku cuma merasa... sepertinya kita makin jauh, Mas. Dulu kita selalu bisa bicara tentang apa saja, tapi sekarang, rasanya ada tembok di antara kita."
Dimas terdiam, tangannya bergerak mengusap wajahnya dengan lelah.
Dimas: "Lisa, aku tahu kita lagi nggak dalam fase yang mudah. Pekerjaan semakin berat, tuntutan makin besar. Mungkin aku nggak seperti dulu, tapi aku juga nggak pernah bermaksud buat menjauh darimu."
Lisa mengangguk, memahami beban yang Dimas bawa. Tapi tetap saja, perasaan kosong itu tidak bisa ia abaikan.
Lisa: "Aku ngerti, Mas. Tapi aku juga butuh perhatianmu, sedikit waktu bersamamu. Mungkin aku terdengar egois, tapi aku merasa seperti hidup sendirian dalam pernikahan ini."
Dimas menghela napas panjang, tatapannya mulai melunak.
Dimas: "Aku nggak pernah bermaksud buat bikin kamu merasa sendirian, Lisa. Hanya saja... mungkin aku terlalu fokus sama pekerjaan. Tapi aku janji, aku akan coba memperbaikinya."
Lisa merasakan harapan muncul di hatinya. Ia tersenyum kecil, walaupun masih ada keraguan yang tersisa.
Lisa: "Itu yang aku harapkan, Mas. Aku nggak butuh banyak, hanya ingin kita seperti dulu. Mungkin nggak sama persis, tapi... lebih baik daripada yang sekarang."
Dimas mengangguk, menyentuh tangan Lisa dengan lembut.
Dimas: "Maaf kalau aku sering membuatmu merasa kesepian. Aku akan coba untuk lebih ada buat kamu."
Mereka berdua terdiam dalam keheningan yang berbeda dari sebelumnya, terasa lebih hangat, seolah ada cahaya kecil yang menyusup di antara hubungan mereka yang retak. Namun, saat Lisa hendak mengucapkan sesuatu lagi, telepon Dimas berbunyi. Dimas segera menarik tangannya dari Lisa dan mengangkat telepon, beranjak pergi tanpa memberikan penjelasan.
Lisa hanya bisa melihatnya dengan tatapan kosong. Keadaan yang baru saja terasa membaik kembali memudar. Begitu Dimas selesai berbicara di telepon, ia kembali ke dapur dengan wajah muram.
Dimas: "Maaf, Lis. Aku harus ke kantor. Ada masalah mendesak."
Kekecewaan Lisa semakin dalam, namun ia hanya mengangguk dengan lemah.
Lisa: "Sekarang?"
Dimas: "Iya, nggak bisa ditunda. Kamu tidur duluan aja, jangan tunggu aku."
Dimas mencium kening Lisa sekilas, kemudian segera beranjak pergi. Lisa hanya bisa menatap kepergiannya dengan perasaan yang berkecamuk. Janji-janji manis barusan seolah tak berarti lagi, tenggelam oleh panggilan pekerjaan yang tak pernah berhenti.
Lisa kembali duduk di meja dapur, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilewati Dimas. Rasa hampa kembali menyergap hatinya, membuatnya bertanya-tanya, apakah ia masih bisa bertahan dalam pernikahan yang hanya berisi janji-janji tanpa kepastian?
Ketika malam semakin larut, pikirannya kembali pada perasaan hampa yang terus menggerogoti hatinya. Lisa tak bisa mengelak lagi-mungkin ada sesuatu dalam dirinya yang tak lagi sama.
Bersambung...
Setelah bertahun-tahun menjalani pernikahan, pasangan ini menghadapi krisis yang membuat mereka mempertanyakan janji setia mereka. Namun, ketulusan hati dan cinta yang tak pudar membuat mereka menemukan kembali makna kesetiaan dalam pernikahan.
Seorang istri yang ditinggal suaminya bertahun-tahun karena pekerjaan terus menunggunya dengan setia. Meskipun menghadapi godaan dan tekanan dari lingkungan sekitar, ia tetap berpegang pada cinta sejatinya, berharap suatu hari suaminya akan kembali.
Seorang pria yang merasa kecewa dengan pernikahannya menjalin hubungan terlarang dengan teman istrinya. Perselingkuhan ini berakhir dengan pengkhianatan ganda yang memecah keluarga dan persahabatan.
Di balik kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna, seorang suami berselingkuh dengan rekan kerjanya. Namun, ketika sang istri mulai merasakan ada yang salah, ia menggali lebih dalam dan menemukan rahasia gelap yang menghancurkan hidupnya.
Seorang gadis kecil sering memberikan permen kepada Dika, teman sekelasnya yang diam-diam ia suka. Tapi ketika Dika mulai membagikan permennya ke teman lain, ia cemburu dan harus menghadapi rasa sukanya yang polos.
Seorang wanita cantik yang merasa tidak puas dalam pernikahannya bertemu pria misterius yang membuatnya merasa hidup kembali. Hubungan ini membawanya ke dalam intrik dan pengkhianatan yang mengancam menghancurkan hidupnya.
Setelah tiga tahun menikah, Becky akhirnya bercerai dengan suaminya, Rory Arsenio. Pria itu tidak pernah mencintainya. Dia mencintai wanita lain dan wanita itu adalah kakak iparnya, Berline. Suatu hari, sebuah kecelakaan terjadi dan Becky dituduh bertanggung jawab atas keguguran Berline. Seluruh keluarga Arsenio menolak untuk mendengarkan penjelasannya, dan mengutuknya sebagai wanita yang kejam dan jahat hati. Rory bahkan memaksanya untuk membuat pilihan: berlutut di depan Berline untuk meminta maaf, atau menceraikannya. Yang mengejutkan semua orang, Becky memilih yang terakhir. Setelah perceraian itu, Keluarga Arsenio baru mengetahui bahwa wanita yang mereka anggap kejam dan materialistis itu sebenarnya adalah pewaris keluarga super kaya. Rory juga menyadari bahwa mantan istrinya sebenarnya menawan, cantik, dan percaya diri dan dia jatuh cinta padanya. Tapi semuanya sudah terlambat, mantan istrinya tidak mencintainya lagi .... Namun, Rory tidak menyerah dan tetap berusaha memenangkan hati Becky. Apakah Becky akan goyah dan kembali ke sisinya? Atau akankah pria lain masuk ke dalam hatinya?
Megan dipaksa menggantikan kakak tirinya untuk menikah dengan seorang pria yang tanpa uang. Mengingat bahwa suaminya hanyalah seorang pria miskin, dia pikir dia harus menjalani sisa hidupnya dengan rendah hati. Dia tidak tahu bahwa suaminya, Zayden Wilgunadi, sebenarnya adalah taipan bisnis yang paling berkuasa dan misterius di kota. Begitu dia mendengar desas-desus tentang hal ini, Meagan berlari ke apartemen sewaannya dan melemparkan diri ke dalam pelukan suaminya. "Mereka semua bilang kamu adalah Tuan Fabrizio yang berkuasa. Apakah itu benar?" Sang pria membelai rambutnya dengan lembut. "Orang-orang hanya berbicara omong kosong. Pria itu hanya memiliki penampilan yang mirip denganku." Megan menggerutu, "Tapi pria itu brengsek! Dia bahkan memanggilku istrinya! Sayang, kamu harus memberinya pelajaran!" Keesokan harinya, Tuan Fabrizio muncul di perusahaannya dengan memar-memar di wajahnya. Semua orang tercengang. Apa yang telah terjadi pada CEO mereka? Sang CEO tersenyum. "Istriku yang memerintahkannya, aku tidak punya pilihan lain selain mematuhinya."
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya, Sabrina mengadakan pernikahan tergesa-gesa dengan pria yang belum pernah dia temui sebelumnya. Namun, bahkan setelah menjadi suami dan istri di atas kertas, mereka masing-masing menjalani kehidupan yang terpisah, dan tidak pernah bertemu. Setahun kemudian, Sabrina kembali ke Kota Sema, berharap akhirnya bertemu dengan suaminya yang misterius. Yang mengejutkannya, pria itu mengiriminya pesan teks, tiba-tiba meminta cerai tanpa pernah bertemu dengannya secara langsung. Sambil menggertakkan giginya, Sabrina menjawab, "Baiklah. Ayo bercerai!" Setelah itu, Sabrina membuat langkah berani dan bergabung dengan Grup Seja, di mana dia menjadi staf humas yang bekerja langsung untuk CEO perusahaan, Mario. CEO tampan dan penuh teka-teki itu sudah terikat dalam pernikahan, dan dikenal tak tergoyahkan setia pada istrinya. Tanpa sepengetahuan Sabrina, suaminya yang misterius sebenarnya adalah bosnya, dalam identitas alternatifnya! Bertekad untuk fokus pada karirnya, Sabrina sengaja menjaga jarak dari sang CEO, meskipun dia tidak bisa tidak memperhatikan upayanya yang disengaja untuk dekat dengannya. Seiring berjalannya waktu, suaminya yang sulit dipahami berubah pikiran. Pria itu tiba-tiba menolak untuk melanjutkan perceraian. Kapan identitas alternatifnya akan terungkap? Di tengah perpaduan antara penipuan dan cinta yang mendalam, takdir apa yang menanti mereka?
Novel Ena-Ena 21+ ini berisi kumpulan cerpen romantis terdiri dari berbagai pengalaman romantis dari berbagai latar belakang profesi yang ada seperti CEO, Janda, Duda, Mertua, Menantu, Satpam, Tentara, Dokter, Pengusaha dan lain-lain. Semua cerpen romantis yang ada pada novel ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga bisa sangat memuaskan fantasi para pembacanya. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.