/0/21100/coverbig.jpg?v=4291c84a22a1f7edc3f9974a5754cbd5)
Seorang istri yang ditinggal suaminya bertahun-tahun karena pekerjaan terus menunggunya dengan setia. Meskipun menghadapi godaan dan tekanan dari lingkungan sekitar, ia tetap berpegang pada cinta sejatinya, berharap suatu hari suaminya akan kembali.
Pagi itu, di ruang tamu yang sepi, Maya duduk di kursi yang biasanya ditempati oleh suaminya, Dewa. Pemandangan luar jendela, langit yang tampak kelabu, seolah mencerminkan perasaannya. Di tangannya, selembar surat yang Dewa tulis sebelum keberangkatannya beberapa minggu lalu.
"Aku akan kembali, Maya. Aku janji."
Kata-kata itu terus berulang di benaknya, meskipun kenyataan sudah mulai terasa berbeda. Dewa berangkat ke luar negeri untuk pekerjaan yang ia ambil dengan berat hati. Maya tahu itu, namun ia tak bisa menahan perasaan berat di dadanya. Mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang sangat ia cintai tak pernah semudah yang ia bayangkan.
Pintu rumah berderit, dan Maya mengangkat wajahnya. Sosok Dewa muncul di ambang pintu, mengenakan jas hujan dan wajah yang tampak lelah. Ia baru saja kembali setelah berhari-hari mempersiapkan perpisahan yang tak terhindarkan.
"Sudah waktunya, Maya," kata Dewa sambil menghela napas panjang. Ia menutup pintu dengan pelan, berjalan mendekat ke Maya.
Maya menatapnya dengan pandangan penuh rasa sayang, tapi ada juga ketegangan yang terpendam di matanya. "Aku tahu," jawabnya, mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa hancur. "Tapi aku tidak siap, Dewa."
Dewa duduk di sebelahnya, mengambil tangan Maya dalam genggamannya. "Kamu harus siap. Aku tidak bisa menunda kesempatan ini." Suaranya terdengar lembut, namun ada keraguan yang tak bisa disembunyikan.
Maya menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. "Aku tahu. Aku hanya... aku hanya takut kehilanganmu. Seperti ini, jarak yang memisahkan kita, bagaimana kita bisa bertahan?"
Dewa mengelus punggung tangannya dengan lembut. "Kita sudah bertahan selama ini, Maya. Cinta kita bukan soal jarak. Ini hanya sementara. Aku akan kembali. Kamu tahu itu."
Maya menundukkan kepala, memejamkan mata sejenak. "Berapa lama? Seminggu? Sebulan? Atau bertahun-tahun?"
Dewa menarik napas, mencoba menjelaskan. "Aku akan bekerja di sana untuk proyek besar, Maya. Tidak ada yang tahu berapa lama. Tapi aku janji, setelah itu, aku akan pulang. Kita akan bersama lagi."
Namun, meskipun kata-kata Dewa terdengar meyakinkan, hati Maya masih merasa bimbang. Cinta memang tidak mengenal jarak, tetapi Maya merasa ada yang hilang setiap kali Dewa berada jauh darinya. Ada ruang kosong yang tidak bisa ia isi dengan apa pun.
"Aku akan menunggumu. Seperti yang aku janjikan."
Maya akhirnya berkata dengan lembut, suaranya hampir tak terdengar. Tapi itu adalah janji yang ia buat untuk dirinya sendiri, sebuah tekad yang kuat meskipun hatinya ragu.
Dewa mencium kening Maya dengan penuh cinta, lalu berdiri, menatapnya dengan tatapan yang dalam. "Kamu selalu bisa mengandalkanku, Maya. Kamu tidak akan pernah kesepian. Aku akan selalu ada, meskipun tidak terlihat."
"Jangan lupakan aku," bisik Maya, suaranya serak.
"Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu?" jawab Dewa, dengan senyum yang lebih lembut dari biasanya. "Aku pergi bukan karena aku tidak mencintaimu, Maya. Justru karena cintaku padamu, aku harus melakukan ini. Untuk kita."
Maya menundukkan wajahnya, menggenggam erat tangan Dewa. "Aku akan menunggumu, Dewa. Aku akan menunggu sampai kamu kembali."
Maya melihat Dewa mundur, perlahan. Wajahnya yang dulu tampak penuh semangat kini terlihat lebih berat, seperti menanggung beban yang sama besarnya dengan yang dirasakan Maya. Dewa melangkah mundur ke pintu, lalu berhenti, menatap Maya satu kali lagi. Matanya penuh dengan kepedihan dan cinta yang tak terungkapkan.
"Sampai jumpa, Maya. Aku akan selalu mencintaimu, meskipun kita terpisah oleh waktu."
Maya hanya mampu mengangguk, meskipun air matanya mulai jatuh tanpa bisa ditahan lagi. Ia berdiri, menatap suaminya yang perlahan meninggalkan rumah mereka. Hati Maya terasa retak, tetapi ia berjanji dalam hati, ia akan tetap menunggu.
Begitu Dewa meninggalkan rumah, Maya merasakan kesepian yang begitu dalam. Seperti ada bagian dari dirinya yang hilang, tak bisa ia temukan. Namun, ia tahu bahwa cinta sejatinya tidak akan pernah pudar, meskipun waktu terus berjalan.
"Aku akan menunggumu, Dewa. Sampai kamu kembali."
Dewa: "Aku akan kembali, Maya. Aku janji."
Maya: "Aku tahu. Tapi aku tidak siap, Dewa."
Dewa: "Kamu harus siap. Aku tidak bisa menunda kesempatan ini."
Maya: "Tapi bagaimana kita bisa bertahan, Dewa? Jarak ini... terasa semakin memisahkan kita."
Dewa: "Kita sudah bertahan selama ini, Maya. Cinta kita bukan soal jarak. Ini hanya sementara."
Maya: "Berapa lama? Seminggu? Sebulan? Atau bertahun-tahun?"
Dewa: "Aku akan kembali, Maya. Aku janji."
Maya: "Aku akan menunggumu."
Dewa: "Aku akan selalu mencintaimu, meskipun kita terpisah oleh waktu."
Maya: "Aku akan menunggu, Dewa. Sampai kamu kembali."
Maya duduk kembali di kursi yang tadi ditempati oleh Dewa, matanya masih menatap kosong ke luar jendela. Tetesan hujan perlahan mulai turun, mengaburkan pemandangan. Wajah Dewa yang terakhir kali ia lihat-wajah yang penuh harapan-terbayang jelas dalam benaknya. Ia tahu perpisahan ini bukanlah perpisahan selamanya, namun entah mengapa, ada rasa takut yang merayapi hatinya. Takut jika janji-janji yang diucapkan suaminya hanya akan menjadi kata-kata kosong. Takut jika ia terlalu lama menunggu dalam kesendirian.
"Maya, kamu harus kuat."
Itulah pesan terakhir Dewa sebelum pergi. Namun, apakah ia benar-benar bisa kuat tanpa kehadiran Dewa di sisinya?
Hari-hari berlalu dengan lambat. Maya berusaha untuk melanjutkan hidupnya, meskipun bayangan Dewa selalu ada di setiap sudut rumah mereka. Ia kembali bekerja di kantornya, menyibukkan diri dengan proyek-proyek baru. Namun, setiap kali ia pulang, rumah itu terasa semakin sunyi. Suara derap langkah kaki yang dulu selalu ia dengar kini tak ada. Hanya ada gemerisik angin yang masuk melalui celah jendela.
Maya berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kekosongan yang menggerogoti hatinya. Ia mencoba untuk tetap tegar, seperti yang Dewa harapkan. Namun, di malam-malam sepi, saat ia duduk sendiri di meja makan, rasa rindu itu datang menghantui. Ia membuka kotak kecil di meja kerjanya-kotak yang berisi surat-surat dari Dewa. Surat-surat itu selalu ia baca berulang kali, mencari kekuatan dari kata-kata yang tertulis di sana.
"Maya, kamu adalah cintaku yang abadi. Jauh dari sini, aku selalu memikirkanmu."
Tapi meskipun Maya ingin mempercayai kata-kata itu, ada kalanya keraguan datang begitu saja. Apakah Dewa merasakan hal yang sama? Apakah ia benar-benar menunggunya kembali?
Suatu sore, saat Maya sedang berjalan pulang dari kantor, ia melihat seseorang yang tampak familiar di depan kafe favorit mereka. Arman, sahabat lama yang selalu ada di setiap momen penting dalam hidupnya. Arman adalah sosok yang baik hati, selalu memberikan dukungan saat ia merasa lelah dan putus asa. Beberapa kali, Arman menawarkan untuk mengajak Maya keluar, sekadar berbincang untuk mengalihkan pikirannya.
"Arman?" Maya memanggil lembut.
Arman menoleh, dan senyum hangat terukir di wajahnya begitu melihat Maya. "Maya! Apa kabar?" Ia berjalan mendekat, matanya penuh dengan perhatian. "Aku sudah lama tidak melihatmu. Bagaimana pekerjaanmu? Bagaimana Dewa?"
Maya tersenyum kecil, meski hatinya merasa sedikit cemas. "Dewa masih di luar negeri. Dia sibuk dengan pekerjaan, seperti biasa," jawabnya, mencoba terdengar ringan.
Arman mengangguk, namun Maya bisa melihat ada sesuatu yang berbeda dalam pandangannya. Sesuatu yang lebih dalam. "Aku tahu betapa beratnya kamu menjalani ini, Maya," Arman berkata dengan suara yang lebih serius. "Kamu sudah menunggu begitu lama. Apakah kamu yakin bisa terus begini? Tanpa tahu kapan Dewa akan kembali?"
Maya terdiam, terkejut dengan pertanyaan itu. Arman selalu tahu cara menembus dinding pertahanannya. "Aku janji akan menunggunya," jawab Maya, sedikit ragu. "Aku tahu itu bukan hal yang mudah, tapi... aku harus percaya padanya."
Arman menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba membaca perasaan yang tersembunyi di balik kata-kata itu. "Maya, kamu adalah wanita yang luar biasa. Aku tahu kamu kuat. Tapi, kadang, menunggu juga bisa menyakitkan. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada untukmu, kapan pun kamu membutuhkan teman."
Maya merasakan sesuatu yang berbeda dalam hati kecilnya. Sebuah dorongan untuk melangkah keluar dari kesepian yang selama ini ia rasakan. Namun, ia kembali mengingat janji yang ia buat pada Dewa, dan rasa bersalah itu muncul. "Arman... aku menghargai perhatianmu, tapi aku masih mencintainya. Hanya dia yang bisa membuat hatiku utuh."
Arman tersenyum, meskipun senyum itu tampak sedikit terpaksa. "Aku mengerti. Aku hanya ingin kamu bahagia, Maya. Jika menunggu adalah yang terbaik untukmu, maka aku akan mendukungmu."
Maya menundukkan kepala, merasakan rasa terima kasih yang mendalam pada Arman. Ia tahu, persahabatan mereka sudah terjalin begitu lama, dan Arman adalah orang yang selalu ada dalam hidupnya, baik atau buruk.
Malam itu, saat Maya kembali ke rumah, ia berdiri di depan cermin besar yang ada di ruang tamu mereka. Wajahnya yang lelah tercermin dengan jelas. Ia tahu ia sedang berada di persimpangan jalan-antara kesetiaan pada suaminya dan keinginan untuk mengisi kekosongan yang terus menggerogoti hatinya.
Namun, saat ia menatap cincin kawinnya yang masih melingkar di jari manisnya, Maya merasa sedikit tenang. Cinta mereka mungkin terhalang jarak, namun itu tidak pernah pudar. Sekeping cinta yang ia miliki, meskipun terasa rapuh, tetap ada.
Maya meletakkan tangan di dada, mencoba merasakan kehadiran Dewa meskipun ia tahu suaminya tidak ada di sana. "Aku akan menunggumu," bisiknya pelan. "Sekalipun hati ini mulai terasa berat, aku akan tetap menunggu."
Malam itu, setelah menutup jendela dan mematikan lampu, Maya merasa sedikit lebih damai. Ia tahu, meskipun jalan ini penuh dengan ketidakpastian, ia akan tetap bertahan, karena cintanya kepada Dewa tak akan pernah pudar.
Bersambung...
Setelah bertahun-tahun menjalani pernikahan, pasangan ini menghadapi krisis yang membuat mereka mempertanyakan janji setia mereka. Namun, ketulusan hati dan cinta yang tak pudar membuat mereka menemukan kembali makna kesetiaan dalam pernikahan.
Pasangan yang saling mencurigai satu sama lain terlibat dalam permainan cinta yang rumit. Saat kecurigaan mereka terbukti benar, keduanya menemukan bahwa pernikahan mereka hanya sebuah ilusi yang harus diakhiri.
Seorang pria yang merasa kecewa dengan pernikahannya menjalin hubungan terlarang dengan teman istrinya. Perselingkuhan ini berakhir dengan pengkhianatan ganda yang memecah keluarga dan persahabatan.
Di balik kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna, seorang suami berselingkuh dengan rekan kerjanya. Namun, ketika sang istri mulai merasakan ada yang salah, ia menggali lebih dalam dan menemukan rahasia gelap yang menghancurkan hidupnya.
Seorang gadis kecil sering memberikan permen kepada Dika, teman sekelasnya yang diam-diam ia suka. Tapi ketika Dika mulai membagikan permennya ke teman lain, ia cemburu dan harus menghadapi rasa sukanya yang polos.
Seorang wanita cantik yang merasa tidak puas dalam pernikahannya bertemu pria misterius yang membuatnya merasa hidup kembali. Hubungan ini membawanya ke dalam intrik dan pengkhianatan yang mengancam menghancurkan hidupnya.
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"
Memang benar perkataan adrian tentang dirinya, dia wanita yang sangat cantik nan rupawan, aroma tubuhnya sampai tercium meskipun jarak di antara kita cukup jauh. tubuhnya juga sangat terawat, pantatnya yang besar dan nampak sekel, dan lagi payudara miliknya nampak begitu bulat berisi. "Ehmm... dia itu yaa wanita yang mendapat IP tertinggi sekampus ini !", gumamku. "Cantik, kaya dan pintar.. dia seperti mutiara di kampus ini !", lanjut gumamku.
Untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya, Sabrina mengadakan pernikahan tergesa-gesa dengan pria yang belum pernah dia temui sebelumnya. Namun, bahkan setelah menjadi suami dan istri di atas kertas, mereka masing-masing menjalani kehidupan yang terpisah, dan tidak pernah bertemu. Setahun kemudian, Sabrina kembali ke Kota Sema, berharap akhirnya bertemu dengan suaminya yang misterius. Yang mengejutkannya, pria itu mengiriminya pesan teks, tiba-tiba meminta cerai tanpa pernah bertemu dengannya secara langsung. Sambil menggertakkan giginya, Sabrina menjawab, "Baiklah. Ayo bercerai!" Setelah itu, Sabrina membuat langkah berani dan bergabung dengan Grup Seja, di mana dia menjadi staf humas yang bekerja langsung untuk CEO perusahaan, Mario. CEO tampan dan penuh teka-teki itu sudah terikat dalam pernikahan, dan dikenal tak tergoyahkan setia pada istrinya. Tanpa sepengetahuan Sabrina, suaminya yang misterius sebenarnya adalah bosnya, dalam identitas alternatifnya! Bertekad untuk fokus pada karirnya, Sabrina sengaja menjaga jarak dari sang CEO, meskipun dia tidak bisa tidak memperhatikan upayanya yang disengaja untuk dekat dengannya. Seiring berjalannya waktu, suaminya yang sulit dipahami berubah pikiran. Pria itu tiba-tiba menolak untuk melanjutkan perceraian. Kapan identitas alternatifnya akan terungkap? Di tengah perpaduan antara penipuan dan cinta yang mendalam, takdir apa yang menanti mereka?
WARNING 21+ !!! - Cerita ini di buat dengan berhalu yang menimbulkan adegan bercinta antara pria dan wanita. - Tidak disarankan untuk anak dibawah umur karna isi cerita forn*graphi - Dukung karya ini dengan sumbangsihnya Terimakasih
Dua tahun lalu, Regan mendapati dirinya dipaksa menikahi Ella untuk melindungi wanita yang dia sayangi. Dari sudut pandang Regan, Ella tercela, menggunakan rencana licik untuk memastikan pernikahan mereka. Dia mempertahankan sikap jauh dan dingin terhadap wanita itu, menyimpan kehangatannya untuk yang lain. Namun, Ella tetap berdedikasi sepenuh hati untuk Regan selama lebih dari sepuluh tahun. Saat dia menjadi lelah dan mempertimbangkan untuk melepaskan usahanya, Regan tiba-tiba merasa ketakutan. Hanya ketika nyawa Ella berada di tepi kematian, hamil anak Regan, dia menyadari, cinta dalam hidupnya selalu Ella.
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?