Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / MENJEMPUT ISTRIKU
MENJEMPUT ISTRIKU

MENJEMPUT ISTRIKU

5.0
5 Bab
1 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Lamaran pernikahan dari keluarga bangsawan tingkat tinggi mengejutkan mereka sekeluarga. Berdamai dengan keadaan yang memojokkannya berharap kesabaran akan membuahkan hasil... Selembar dokumen membuat kesalahpahaman semakin nyata, membuat luka di hati semakin menganga. Malang tak dapat ditolak, nasi sudah menjadi bubur... penyesalannya datang terlambat. Kesalahpahaman semakin sulit dijelaskan karena yang bersangkutan sudah tidak lagi berada dalam jangkauan. Bisakah mereka bertemu kembali untuk menyelesaikan kesalahan masa lalu? Empat anggota baru dalam keluarga semakin membuat semuanya rumit dengan penolakan mereka demi kasih yang selama ini selalu ada di sisi mereka. Langkah apa yang akan diambil olehnya selanjutnya? Bisakah dia merebut hati empat anggota keluarga baru yang telah menolak keberadaannya karena dia absen selama sepuluh tahun... Simak ceritaku, selamat membaca...

Bab 1 Duka

**Bab 001: Duka**

Kamar tidur yang megah itu kini terasa sesak. Di tengah kemewahan, Atthy duduk terpaku di tepi ranjang, matanya masih membesar mencoba mencerna setiap kata yang terlontar dari suaminya. Duke Hugh Griffith, yang seharusnya menjadi pelindung dan pasangan hidupnya, berdiri dengan sikap santai di samping tempat tidur. Sambil merapikan pakaian yang tercecer di lantai, ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hati Atthy.

"Kau hanya seorang wanita bodoh. Kau terlalu tinggi menilai dirimu sendiri. Bagiku, kau tidak lebih baik dari mereka yang mengemis perhatian pria di jalanan demi sekantung uang," ujar Hugh dengan suara datar, tanpa ada nada penyesalan.

Kata-kata itu seakan menjatuhkan seluruh dunia Atthy. Tubuhnya bergetar, hatinya seolah tersayat oleh pedang tak terlihat. Ia ingin berteriak, menantang, melawan, namun pikirannya berkata untuk tetap tenang. Ini adalah pernikahannya-meskipun hanya di atas kertas. Keluarganya menaruh harapan besar padanya, dan Atthy tahu bahwa ia tidak boleh mengecewakan ekspektasi itu. Namun, malam pertama ini jauh dari bayangan impian para gadis muda yang mendambakan kebahagiaan pernikahan.

"Kau puas sekarang setelah tidur denganku?" tanya Hugh dengan nada sinis, menatap Atthy seolah ia hanyalah objek yang tak layak mendapat perhatian. Sorot matanya menunjukkan kesombongan, namun dalam sekejap, ada secuil keraguan yang cepat terselubung di balik sikap acuhnya.

"Puas?" balas Atthy, suaranya gemetar namun mulai menguat. "Apakah kau pikir pernikahan ini hanya tentang ambisi dan kepalsuan? Apa aku hanya pantas dijadikan alat untuk menegaskan posisimu?"

Hugh mengernyit, lalu dengan dingin berkata, "Aku hanya ingin memperjelas posisimu, Athaleyah Galina. Kau harus ingat dari mana asalmu. Jangan biarkan gelar 'Duchess' di atas kertas membuatmu lupa bahwa dirimu hanya sepotong catur dalam permainan besar ini."

Tatapan Atthy menyala. "Posisiku? Kau maksudkan aku hanyalah 'Duchess di atas kertas'? Yang terhormat Duke Hugh Griffith, aku bukanlah boneka yang bisa kau mainkan sesuka hati. Aku punya harga diri, dan aku tidak akan terus menerus tunduk pada hinaanmu."

Sebuah keheningan sejenak menyelimuti ruangan yang semula penuh kemewahan itu, namun ketegangan tak juga reda. Setiap helai pakaian yang berantakan seolah menjadi saksi bisu dari perdebatan sengit antara dua jiwa yang terperangkap dalam pernikahan politik. Di balik kemegahan ruangan, Atthy merasakan kegetiran mendalam-sebuah jurang kesendirian yang mulai menguasai dirinya.

"Kau pikir dengan tidur denganku, kau bisa menguasaiku? Perempuan... Aku, Duke Griffith, bukan seorang pria yang bisa kau manipulasi hanya karena aku telah menikmati tubuhmu," desis Hugh, menambah tajam setiap kata. "Aku bisa dengan mudah mendapatkan wanita sepertimu di jalanan, dan kau? Kau hanyalah satu dari mereka."

Mendengar kata-kata itu, Atthy menahan tangis, namun keberanian mulai tumbuh di antara reruntuhan harga dirinya. "Kenapa kau harus berkata seperti itu padaku, di malam pertamaku sebagai istrimu? Apakah ini yang kau anggap pantas? Sudah tiga bulan sejak pernikahan kita, dan kau hampir tidak pernah menganggap keberadaan diriku. Apakah semua ini hanya permainan untuk menegaskan kekuasaanmu?"

Hugh terdiam sejenak. Wajahnya memperlihatkan keraguan yang cepat hilang, digantikan oleh sikap dingin. "Aku ingin kau mengerti, Atthaleyah. Aku ingin kau sadar akan posisimu, agar tidak terlena oleh gelar kosong. Aku memberimu kesempatan untuk mengakui siapa dirimu sebenarnya-Apa ambisimu?"

Atthy tak bisa menahan kemarahannya lagi. "Apakah salah jika aku berambisi memenangkan hati suamiku?! Jadi, kau katakan aku hanyalah alat dalam permainanmu? Bahwa keberadaan dan perasaanku tidak berarti apa-apa? Aku lelah menelan semua hinaan ini, dan malam ini, aku tidak akan diam saja."

Mata Hugh menyipit, sesaat ia terlihat tersentak oleh keberanian dan kemarahan yang terpancar dari Atthy. "Apakah kau akan terus bersilat lidah denganku? Lalu, apakah kau siap meninggalkan pernikahan yang, sekurang-kurangnya, membawa kekuasaan dan kedudukan?"

Suasana semakin memanas. Atthy melangkah mendekat, tatapannya tajam bagaikan pedang. "Aku tahu apa yang aku inginkan. Aku ingin menentukan jalanku sendiri, hidup sesuai keinginanku, bukan berdasarkan ambisi dan aturan politikmu. Aku tidak akan mengorbankan harga diriku hanya untuk memenuhi ambisi palsu yang kau banggakan."

Hugh terdiam, lalu berkata dengan suara serak, "Athaleyah Galina, penjelasanmu bertolak belakang dengan apa yang selama ini kupahami tentang dirimu. Namun, aku akan memberimu pilihan. Aku telah cukuo mendengar keinginanmu, kau bebas pergi dariku. Tidak perlu gunakan Raja sebagai alasan. Dengan kekuasaanku, aku pastikan kau tidak akan mendapat masalah di luar sini."

"Aku akan pergi," jawab Atthy dengan tegas, meski suara masih bergetar karena emosi. "Tapi kau harus berjanji. Janjikan padaku: jangan usik keluargaku, jangan sentuh mereka, biarkan mereka hidup dengan damai. Aku memilih jalan ini bukan untuk melukai, melainkan untuk kedamian keluargaku."

Hugh terpaku sejenak, terkejut mendengar permintaan itu. Di balik sikap arogan yang biasa ia tunjukkan, sesaat tampak bayangan penyesalan yang samar-sebuah perasaan yang hampir membuatnya goyah. Namun, ego dan keinginan untuk mempertahankan kontrol segera menguasai dirinya. "Kau benar-benar keras kepala," gumamnya, meski nadanya kini mengandung nada pertanyaan yang tidak bisa ia singkirkan.

"Benar," jawab Atthy, menatap tajam, "dan justru keberanian inilah yang membuatku takkan terus hidup dalam bayang-bayangmu. Aku tidak akan menjadi bagian dari permainan kekuasaan yang hanya menghancurkan jati diriku."

Beberapa saat kemudian, Atthy berbalik membelakangi Hugh. Kepalanya terasa berat, namun dia tidak bisa menahan keinginannya untuk pergi, mencari kedamaian, atau mungkin hanya untuk melarikan diri dari kenyataan yang begitu menyesakkan.

Hugh memandangnya dari kejauhan, menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya-sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan yang biasa. Ketika Atthy membelakanginya memperlihatkan punggungnya yang kesepian, Hugh memanggilnya dengan suara yang lebih pelan daripada sebelumnya.

''Atthaleyah...''

Atthy tidak menjawab. Hanya matanya yang bereaksi terhadap panggilan itu.

Hugh menarik napas pelan. Suaranya terdengar lebih dingin saat akhirnya ia berkata, "Jangan menyesal."

Atthy tersenyum tipis, tanpa sedikit pun goyah. "Jangan khawatir. Aku tidak akan."

Keangkuhan Hugh menolaknya untuk mengakui bahwa kali ini, firasatnya berteriak lebih keras dari sebelumnya. Bahwa bukan Atthy yang akan menyesal-melainkan dirinya sendiri.

---

Hugh membuka pintu kamarnya, langkahnya tenang seperti biasa. Namun, begitu keluar, ia langsung disambut oleh tiga pelayan pribadi Atthy yang berdiri rapi di depan.

Mereka berbicara pelan, nyaris berbisik. Begitu menyadari kehadirannya, mereka buru-buru terdiam.

Hugh menyipitkan mata, memperhatikan mereka satu per satu. Ada sesuatu yang tidak biasa.

"Pagi, Tuan Hugh," sapa Stela, mencoba tersenyum meskipun ekspresinya kaku.

"Pagi," balas Hugh pendek, matanya tetap mengamati gerak-gerik mereka.

Rosa, yang paling muda, melirik temannya seolah menunggu isyarat. Yang lain menegakkan bahu, berusaha terlihat tenang, tetapi ketegangan di mata mereka terlalu jelas.

"Ada yang ingin kalian katakan?" tanya Hugh akhirnya, nadanya datar, tetapi mengandung tekanan.

Mereka saling pandang sebelum salah satu menggeleng cepat. "Tidak, Tuan. Kami hanya bersiap jika Duchess membutuhkan sesuatu."

Kebohongan. Terlalu rapi untuk bisa dipercaya.

Firasatnya berdenyut, memperingatkan bahwa sesuatu sedang terjadi. Namun, Hugh tidak berhenti. Ia hanya menghela napas dan melangkah melewati mereka dengan ekspresi tetap dingin.

"Baiklah," katanya tanpa menoleh. "Jika kalian berencana melakukan sesuatu... pastikan kalian siap menanggung akibatnya."

Tiga pelayan itu berdiri lebih kaku dari sebelumnya.

Jika mereka menyembunyikan sesuatu, cepat atau lambat ia akan mengetahuinya. Dan ketika saatnya tiba... ia akan memastikan bahwa merekalah yang menyesal.

---

"Tuanku, ada yang harus saya persiapkan?" tanya Helena, kepala pelayan, yang baru tiba dengan sigap.

"Panggil Alwyn ke ruanganku segera, dan juga Dr. Windfold untuk melihat kondisinya!" seru Hugh, suaranya tegas.

Helena sedikit terkejut. "Maaf, tuanku?!"

"Dia... Sepertinya terluka. Tidak... Dia memang terluka... Sudahlah! Kau urus saja dia!" suara Hugh semakin tegang. Ekspresinya tetap dingin, tetapi Helena menangkap sesuatu yang aneh-sebuah kecanggungan.

Helena mengernyit, bertanya dalam hati. Kenapa pria setenang gunung es ini tampak tersipu?

Namun, dia menyimpan rasa ingin tahunya. Profesionalitas adalah yang utama.

"Baik, tuanku," jawabnya, meskipun hatinya penuh tanda tanya. Namun, sesuatu dalam diri Hugh mulai menarik perhatiannya.

Helena beralih menatap ketiga pelayan pribadi Atthy yang masih berdiri cemas di depan kamar.

"Ada apa dengan mereka?" pikirnya. "Apa yang mereka sembunyikan sampai harus bicara hanya dengan tatapan mata?"

Namun, saat ini majikannya lebih utama.

"Apa lagi yang kalian tunggu?! Masuk!" perintahnya.

Begitu mereka masuk, ekspresi mereka berubah menjadi cemas. Helena tersentak ketika melihat kondisi kamar. Matanya membelalak, tangannya menutup mulut. Ruangan berantakan. Namun, lebih dari itu-penampakan Atthy membuat dadanya sesak.

"Ah, Duchess!" seru Helena, cepat mendekat. "Ada apa ini?"

Atthy menatapnya, matanya kosong tetapi tegas. Wajahnya memelas, seolah meminta pertolongan tanpa mengatakannya. Namun, di balik kepedihannya, ada harga diri yang tetap ia pertahankan.

Helena tahu, Atthy bukan wanita yang dengan mudah akan menerima simpati. Justru karena itu, melihatnya seperti ini jauh lebih menyakitkan.

"Duchess, saya akan sege-"

"Helena," potong Atthy, suaranya serak. "Tinggalkan aku... Tolong, biarkan aku sendiri."

Helena terdiam, terkejut dengan permintaan itu. Namun, melihat betapa rapuhnya Atthy, dia menahan dirinya dan menurut. Dengan berat hati, ia meninggalkan kamar itu, meskipun kecemasannya semakin menguat.

Keluar dari kamar, dia membawa ketiga pelayan Atthy bersamanya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Pelayan-pelayan itu tampak gelisah, ketegangan masih tersisa di antara mereka.

Ada sesuatu yang tidak mereka katakan.

---

Saat menuju ruang makan, Helena bertemu Alwyn.

"Nyonya Helena!" panggil Alwyn, "Tolong berikan ini pada Duchess!" Ia menyerahkan amplop berisi dokumen.

Helena mengerutkan dahi. "Dokumen?" Namun, dia tetap menerimanya. "Tuan Alwyn, maaf, bisakah Anda bantu saya? Tolong panggilkan Dr. Sarah."

"Dokter Sarah?" Alwyn tampak waspada. "Duchess sakit?"

Helena mengangguk. "Ya, tolong segera lakukan."

Alwyn tidak bertanya lebih lanjut dan pergi. Namun, hati Helena semakin tidak tenang.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan Atthy?

---

Terdengar ketukan di pintu kamar Atthy.

"Duchess, saya masuk," kata Helena sebelum menyerahkan dokumen dari Alwyn.

"Duchess... Apa Anda baik-baik saja?" tanyanya, mencoba membaca ekspresi wanita itu.

Atthy tersenyum samar. "Aku baik-baik saja, Helena."

''Maaf Duchess, Tuan Alwyn menitipkan sebuah dokumen untuk Anda...'' ujar Helena m asih menjaga sikap profesionalnya.

Namun, saat melihat dokumen itu, ekspresi Atthy berubah. Sebuah senyum pahit terbentuk di bibirnya. Helena bisa melihatnya-mata Atthy tampak menangis, meskipun tidak ada air mata yang jatuh.

"Ada apa, Duchess?" tanya Helena waspada.

Atthy mengangkat dokumen itu, menatap Helena dengan mata kosong. "Aku sudah tidak punya gelar itu lagi. Hanya Atthaleyah Galina."

"Maaf, Duchess, saya tidak mengerti..."

"Tuanmu mengirimi aku berkas perceraian," ujar Atthy, mengacungkan surat cerai dari Hugh dengan ekspresi santai yang bertentangan dengan kesedihan di matanya.

"Apa?!" Helena terperangah, nyaris tidak percaya.

Ia bahkan lupa niat awalnya untuk mengajak Atthy makan siang. Pikirannya penuh amarah. Ingin rasanya ia segera menemui Hugh dan menuntut penjelasan.

Sebelum Atthy bisa menandatangani surat itu, tangan Helena spontan menahannya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 Utara dan Selatang   02-18 17:26
img
1 Bab 1 Duka
04/10/2024
2 Bab 2 Perpisahan
04/10/2024
3 Bab 3 Konspirasi
04/10/2024
4 Bab 4 Mencurigakan
04/10/2024
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY