/0/16054/coverbig.jpg?v=6e703fa7c186cba31f696e26b6de979d)
Apa jadinya Jika Keuangan rumah tangga malah dihandle oleh mertua? Apa jadinya jika suami dituntut untuk menuruti kata-kata ibunya? akankah rumah tangga tersebut akan berakhir bahagia?
Pakaian Bekas Ibu Masih Banyak. Buat Apa Beli Yang Baru?
"Mas, bagaimana kalau adek beli gamis baru untuk di pakai pas acara pernikahan Cindi Nanti?"
Aku mendekati mas galih yang sedang duduk santai di teras rumah dan mencoba merayunya.
"Lho baju lebaran mu kemarin kan masih bagus dek," mas galih mengernyitkan dahi.
Aku menghela nafas kecewa. ini pertanda buruk. Dari nada suaranya saja terdengar keberatan.
"Mas, baju lebaran saya kemarin sudah enggak muat lagi. Apalagi di bagian perut. Bisa sesak nafasku,"
Aku mengelus perut yang sudah membesar.
"Enggak gitu juga kali dek, Mas lihat baju kemarin itu masih cukup besar di badanmu,"
Lagi-lagi aku kecewa dengan jawabannya.
"Mas, Mas mau melihat ku sesak nafas di acara pernikahan Cindi?" Aku cemberut.
Acara resepsi pernikahan Cindi, adik Mas Galih akan di selenggarakan sepuluh hari lagi. Aku merasa perlu juga sesekali berdandan cantik. Sudah capek rasanya sehari-hari dengan gamis dan daster-daster bekas mertuaku. Daster warisan. Di antara daster-daster itu sudah banyak yang bolong-bolong akibat termakan usia.
Bukan tidak bersyukur, tapi sebagai istri yang sedang hamil anak pertama, aku kecewa. Ingin rasanya sesekali mencoba mencicipi daster baru, atau gamis baru. Apalagi di acara penting keluarga.
"Kalau begitu, ya sudahlah, Mas,"
Dengan gontai aku melangkah masuk. Sebulir tetesan kuning menetes dari sudut. Sebegitu susahkah untuk sekedar membeli selembar gamis?
"Dek," sebuah tangan menggenggam jemari ku dari belakang.
Aku menoleh,
"Ada apa lagi, Mas?"
"Adek marah?" Tanyanya.
Sepatutnya sebagai suami ia tidak perlu bertanya lagi.
"Tidak." Jawabku.
Dalam hati aku berkata memang benar aku tidak marah, tapi lebih tepatnya kesal. Kesal dengan sikapnya yang selalu saja tidak mengindahkanku.
"Dek, nanti aku bicarakan sama ibu. Adek yang sabar dulu ya,"
Aku menghela nafas. Selalu saja begitu, apa-apa selalu mau bilang sama ibu terlebih dahulu.
"Nggak usah, Mas." Jawabku.
Aku melangkah, namun lagi-lagi mas Galih menahanku.
"Ya udah jangan marah, Sayang. Mas akan usahakan," ujarnya cepat.
"Baiklah."
Aku menjawab tanpa memandang ke mukanya.
Terlihat Mas Galih menuju ke lantai atas, ingin menemui ibunya mungkin. Ya selama ini ibu mertuaku yang memegang seluruh kendali kebutuhan rumah. Mulai dari membeli kebutuhan dapur, listrik, air, hingga pakaian dalam, semuanya ibu mertuaku yang ngatur.
Sial memang hidupku, kurang dari sepuluh juta gaji Mas galih sebagai anggota pejabat di kantor perusahaan swasta, bagianku hanya lima ratus ribu sebulan. Selebihnya ibu mertuaku yang pegang. Dengan alasan untuk kebutuhan seisi rumah.
"Kiara, tolong rapikan meja makan ya! Sebentar lagi sudah waktunya kita makan malam," teriak ibu mertua dari pucuk tangga di lantai dua.
Tanpa menjawab aku melangkah ke dapur.
Ku pandang meja makan yang baru saja di utak-atik sama Angga, suami Mbak Megan kakak sulung Mas Galih yang juga tinggal di rumah ini.
Aku berusaha menahan kehidupan ini karena anak di perutku.
Untuk mengadu pada orang tua, aku tak mempunyai nyali yang cukup. Pernikahanku dan Mas Galih dulu memang menuai ketidaksetujuan Papa.
Namun karena cintaku sama Mas Galih, akhirnya pernikahan itu tetap terjadi juga.
Sekarang, untuk menyembunyikan nasibku yang apes, terpaksa aku pura-pura bahagia di depan kedua orang tuaku.
***
"Bu," seorang lelaki menghampiri seorang ibu yang berpakaian rapi yang sedang duduk di sofa.
"Ada apa Galih?" Tanggap wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar pipih di tangan.
"Mmm, bisa Galih bicara sebentar?" tanya Galih.
"Ya,"
"Masih adakah sisa uang Galih di tangan Ibu?" Tanya Galih hati-hati.
"Kenapa bertanya soal uang, Nak?"
"Begini, Bu. Aku ingin membelikan Kiara pakaian untuk ia kenakan di acara resepsi pernikahan Cindi nanti," ujar Galih menjelaskan.
Bu Farah, ibunya Galih meletakkan ponselnya ke atas meja.
"Galih, pakaian ibu banyak, bagus-bagus lagi. Gamis ibu juga masih selemari penuh yang tidak terpakai. Semuanya pas di tubuh istrimu. Buat apa membeli yang baru kalau yang ada masih lebih dari cukup? Jangan ajari istrimu untuk berboros, Nak! Cari uang itu susah. Apa kau ingin istrimu hidup bergelimang kesenangan, sedangkan kau sendiri yang kesusahan mencari pendapatan"
Bersambung...
[Menantumu sakit, Bu Nur? Sayang sekali. Padahal aku suka cara dia bekerja. Terpaksa aku harus cari karyawan lain,] Suara wanita di rekaman itu terdengar jelas. [Iya, Amira sudah sebulan hanya bisa berbaring saja. Kedua kakinya lumpuh. Kata dokter gejala stroke ringan. Oleh karena ini aku sangat terpukul. Sedih sekali rasanya, sebab kasihan sekali melihat Habib, karena istrinya sakit begini, Habib harus mengurus dirinya sendiri.] [Semoga Amira lekas sembuh, ya. Amiin.] [Amira tidak akan sembuh, Bu Sarah. Dia terserang stroke. Tidak mungkin sembuh lagi. Oleh karena ini aku memilih untuk menyuruh Habib menghalalkan Laila. Aku dan Habib sudah bicara soal ini dan dia setuju. Selanjutnya aku akan membicarakan hal ini pada Amira] "Ya Allah," Amira mengelus dada, lebih tepatnya ia terkesiap. [Apa? Menikahi Laila maksudnya?]
"Walaupun statusku hanya sebagai istri kedua, tapi aku bisa bangga, sebab aku bisa lebih taat agama di banding istri pertama suamiku. Dan juga aku lebih cantik," ucap Fika dalam hati.
Aku kaget ketika mengetahui jika Arza, suamiku memiliki hubungan khusus dengan Zorah. Padahal selama ini akulah yang menanggung biaya hidup Zorah, istri mendiang kakakku tersebut.Beginikah cara Zorah membalasku? Aku tak akan diam. Akan kupersembahkan kejutan demi kejutan untuk dua pengkhianat ini.
Karena belum dikaruniai buah hati, seorang istri mengizinkan suaminya menikahi wanita lain. Namun siapa tahu pernikahan kedua suaminya itu adalah sebuah petaka.
Pada hari Livia mengetahui bahwa dia hamil, dia memergoki tunangannya berselingkuh. Tunangannya yang tanpa belas kasihan dan simpanannya itu hampir membunuhnya. Livia melarikan diri demi nyawanya. Ketika dia kembali ke kampung halamannya lima tahun kemudian, dia kebetulan menyelamatkan nyawa seorang anak laki-laki. Ayah anak laki-laki itu ternyata adalah orang terkaya di dunia. Semuanya berubah untuk Livia sejak saat itu. Pria itu tidak membiarkannya mengalami ketidaknyamanan. Ketika mantan tunangannya menindasnya, pria tersebut menghancurkan keluarga bajingan itu dan juga menyewa seluruh pulau hanya untuk memberi Livia istirahat dari semua drama. Sang pria juga memberi pelajaran pada ayah Livia yang penuh kebencian. Pria itu menghancurkan semua musuhnya bahkan sebelum dia bertanya. Ketika saudari Livia yang keji melemparkan dirinya ke arahnya, pria itu menunjukkan buku nikah dan berkata, "Aku sudah menikah dengan bahagia dan istriku jauh lebih cantik daripada kamu!" Livia kaget. "Kapan kita pernah menikah? Setahuku, aku masih lajang." Dengan senyum jahat, dia berkata, "Sayang, kita sudah menikah selama lima tahun. Bukankah sudah waktunya kita punya anak lagi bersama?" Livia menganga. Apa sih yang pria ini bicarakan?
WARNING 21+ !!! - Cerita ini di buat dengan berhalu yang menimbulkan adegan bercinta antara pria dan wanita. - Tidak disarankan untuk anak dibawah umur karna isi cerita forn*graphi - Dukung karya ini dengan sumbangsihnya Terimakasih
Untuk membayar hutang, dia menggantikan pengantin wanita dan menikahi pria itu, iblis yang ditakuti dan dihormati semua orang. Sang wanita putus asa dan kehabisan pilihan. Sang pria kejam dan tidak sabaran. Pria itu mencicipi manisnya sang wanita, dan secara bertahap tunduk pada nafsu adiktif. Sebelum dia menyadarinya, dia sudah tidak dapat melepaskan diri dari wanita tersebut. Nafsu memicu kisah mereka, tetapi bagaimana cinta bersyarat ini akan berlanjut?
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.