Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / Yes, it's me (GxG) - omegaverse
Yes, it's me (GxG) - omegaverse

Yes, it's me (GxG) - omegaverse

5.0
25 Bab
4K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Blurb Yes it's me warning!! GXG | Dunia Pelangi 🌈 Cerita ini mengandung konten dewasa dan LGBTQ+ yang sensitif bagi sekelompok orang. HARAP BIJAK DALAM MEMILIH BACAAN. Jika tidak suka harap skip. ________________________ "Seorang wanita terjun ke bawah sana! Oh, Tuhan ... kumohon selamatkan dia!" "Be-benarkah? itu putriku!" ......................................... "Apakah dia akan bangun dengan cepat?" "Maaf, aku tidak dapat memastikannya, Third! Selain wajah, ada bagian di otaknya yang mengalami trauma akibat benturan. Kami telah berusaha melakukan operasi plastik terhadap wajah putrimu. Tapi, untuk kapan dia akan terbangun ... itu tergantung dari kemauan Mikaela. Namun begitu, pasien koma dapat mendengar apapun yang ada di dekatnya, dia hanya tertidur. Maka jangan menyerah untuk selalu mengajaknya berbicara, ceritakan hal yang mungkin direspon oleh otaknya, hingga dia mau membuka mata!" "Terima kasih, Leon. Kau telah berusaha dengan sangat baik." "Itu sudah menjadi tugasku, aku akan tetap berusaha untukmu serta Mikaela. Dia adalah omega yang malang, bahkan selain kehilangan bayinya ... rahimnya mengalami memar yang butuh waktu beberapa lama untuk sembuh." "Apakah kau mengatakan bahwa sepupuku tengah mengandung?" "Benar, Miss Lian. Sayangnya bahkan bayi itu tidak dapat kami selamatkan." "Hiks ... Oppa! Apakah alasan Mikaela melakukan semua ini? Bahkan alpha yang menghamilinya tidak meninggalkan tanda padanya." "Tenanglah, Lian! Saat dia sadar akan kita cari identitas serta keberadaan J.H saat ini. Jika alpha tersebut mampu membuat permata kita begitu terluka, maka dia pasti memiliki tempat penting di hati Mikaela." "Lalu?" "Tuhan memberi Mikaela kesempatan untuk hidup meski dengan wajah baru, maka biarkan dia memilih apa yang dia inginkan. Menemukan alpha lain dan menjadikannya mate, atau mencari alphanya. Kita harus menghormati semua keputusan Mikaela." Apakah Mikaela akan memilih untuk menyerah atau kembali untuk membalas dendam terhadap J.H?

Bab 1 1. Pertemuan pertama

Mikaela pov.

"Kau menggambar ini, Miss–"

"Mikaela ..., you can call me, Kae!" jawabku, dan hatiku bergetar seiring mataku yang melebar saat wajahku mendongak menatap wajahnya.

Untuk sesaat sensor otakku error dan tak dapat bekerja sama sekali, aku hanya dapat merasakan beberapa saraf di dalam kepalaku mungkin berhenti dari fungsinya. Seketika lututku terasa ngilu dan menjadi lemas ketika dia tersenyum, bahkan tanganku gemetar hingga pensil yang tengah kupegang meluncur jatuh dengan sendirinya.

Masih tidak mengalihkan atensiku dari alpha yang tengah menatap diriku saat ini. Indah, tatapannya yang tajam dengan mata lebar, manik mata legam, bulu mata lentik, hidungnya yang mancung dan tajam, serta bibirnya yang sedikit tebal seperti plum. Tuhan, getaran kuat yang kurasakan seakan berkata bahwa dia adalah fated pair-ku.

"Kau menggambarnya?" dia kembali bertanya.

"Kha," aku mengiyakan dalam bahasa Thailand. Dia paham dan tersenyum mendengar aksenku. Dia bukan seorang Thai sepertiku karena kulit pucatnya yang mirip kapas, bersih. Rambut yang dia lilitkan pada sumpit makan yang terbuat dari kayu lalu dia tusukkan, dari aksennya aku tahu bahwa dia orang Korea.

Wajah cantik dan manly di saat yang sama, feromon yang dia simpan rapat namun samar tercium olehku–aroma mint yang membawa perasaan tenang dalam hatiku ketika tanpa sengaja hidungku menangkapnya.

Dia kembali tersenyum, dan seketika pikiranku kosong, seakan ruangan sepi dan hanya ada kami berdua hingga membuatku memperdalam mengambil udara–dan akan kulakukan sama seperti itu untuk aroma yang kuhirup samar namun semakin kuat menguar pada detik berikutnya. Seorang alpha dominan, aku tahu bahkan tanpa dia mengatakan.

"Aku suka ketika kau menggoreskan pensilmu!" Dia berbicara sembari mengambil sebuah kursi kayu untuk duduk di dekatku. Aku tersadar dan mengedarkan pandanganku ke sekeliling–dimana aku tidak sedang sendiri dengannya.

"Ah, I've been trying. Aku seorang pemula, Anda?" jawabku sembari menunduk untuk mengambil pensil di atas meja.

"You can call me, J.H! Guru pengganti, karena Miss Cloe absen untuk suatu hal. Jadi, aku menggantikannya beberapa waktu."

"Owh ... hari ini aku baru masuk, karena kemarin alergiku sedikit menggila. Maaf, Miss J.H, that I don't know about you!"

"Never mind, overall aku suka gambarmu bahkan jika itu masih dasar dalam melukis, tapi tiap guratan wajah yang kau goreskan begitu pasti dan memiliki emosi."

"Begitukah? Anda terlalu menyanjungku Miss–"

"J.H ..., just call me J.H, Kae!"

"Kha, J.H."

Dan pembicaraan kami berhenti sampai di sana karena dia lebih tertarik menatap lekat bagaimana jari-jariku bergerak menggoreskan pensil di atas kertas gambar untuk sebuah sketsa. Saat ini aku sedang mencoba untuk menggambar wajah seorang wanita cantik. Sebuah gambar sembarang, mengisi waktu kosong ketika pelajaran belum dimulai.

Kurasa aku datang tiga puluh menit lebih awal karena Paman meminta dengan sedikit memaksa mengantarku menuju tempat ini, kebetulan dia juga ada pertemuan dengan klien di sebuah resto Chinese food yang terletak tak jauh dari sekolah lukis tempatku belajar. Meski itu artinya aku akan datang sedikit lebih awal, tetapi syukurlah ada beberapa siswa yang telah hadir. Jadi, aku tidak sendirian di sini.

Untuk waktu yang terbuang percuma biasa kugunakan untuk menggambar sebuah sketsa, karena hanya dengan menggoreskan pensil lah suasana hatiku membaik.

Aku adalah seorang omega resesif, putri semata wayang dari seorang pengusaha fashion yang cukup memiliki nama di Bangkok. Kedua orang tuaku adalah keturunan asli Thailand, ayahku seorang alpha dominan, ibuku adalah seorang omega cantik yang memilih meninggalkan posisi pewaris utama di keluarganya untuk menikah dan mengurus rumah tangga setelah mengetahui bahwa ada aku di dalam rahim beliau.

Ayah adalah seorang penyayang–yang kugambarkan sebagai alpha bertanggung jawab karena menjatuhkan dirinya di dalam keluarga.

Beliau selalu berkata bahwa meski seorang alpha dapat memiliki beberapa omega, tetapi beliau menjaga hatinya hanya untuk ibuku. Begitu pula dengan ibuku yang selalu menjadi kesayangan kami, tatapan pemujaan selalu tergambar jika itu menyangkut ayah.

Pernah aku dengan nakal menggoda ayahku dengan bertanya, tidakkah beliau memiliki keinginan untuk menggoda atau memainkan omega lain di belakang ibu?

Namun, dengan senyum teduh beliau berkata bahwa seorang alpha yang meninggalkan tanda pada omega-nya bukan berarti apa-apa karena tanda akan menghilang seiring berjalannya waktu, mungkin tersapu oleh hembusan angin. Sehingga dia dapat ditandai oleh alpha lain.

Tapi tidak untuk omega yang menandai alpha-nya, bahkan jika sang alpha berpikir untuk mencoba menyentuh selain omega-nya maka hal tersebut akan sia-sia. Jangankan berpikir untuk berhasrat, bahkan bergetar hatinya akan mustahil karena setiap dari alpha yang telah ditandai seorang omega tidak terpengaruh oleh feromon omega lain.

Jadi, tanpa beliau berkata pun aku telah memiliki asumsi dan menyimpulkan bahwa ibuku dengan semua rasa cinta dan pemujaannya telah menandai ayahku.

Namun begitu, bukankah hal tersebut tidak adil?

Aku pernah mengutarakannya pada beliau, tapi ayah malah mengusak rambutku sembari terkekeh dan berkata bahwa aku adalah seorang omega. Lalu bukankah seharusnya bersyukur atas ketidakadilan itu?

Seketika aku seperti kembali memijak bumi, aku bahkan lupa bahwa aku adalah seorang omega.

Dan aku bersyukur bahwa omega resesif sepertiku telah hadir di keluarga mereka yang menerima kekuranganku dengan berjuta kasih sayang.

Seperti semua tahu bahwa lemahnya feromonku menjadikan masa heat-ku terjadi secara acak dan tanpa jadwal hingga mengharuskanku memiliki pil suppressant setiap waktu. Selain itu, aku akan kesulitan memiliki bayi. Namun, orang tuaku selalu berkata bahwa ketika aku bertemu seorang alpha dominan fated pair-ku maka feromonnya lah yang akan memperbaiki kondisiku.

Omega selalu identik dengan lemah, alergi akan apapun, tidak tahan terhadap suhu rendah. Kami akan mudah sakit bahkan untuk musim dingin, serta ... memiliki toleransi rendah terhadap alkohol.

Sangat bertolak belakang dengan alpha apalagi jika mereka terlahir sebagai dominan. Segala hal unggul menempel pada diri dan namanya. Harta, kecerdasan, insting yang tajam, mereka juga bertubuh tegap dan kuat, kuat dalam hal apapun.

Aku bahkan tidak dapat mengingat kapan terakhir ayah sakit, karena tubuh beliau yang diberkati langit untuk selalu sehat. Wajah tampan, senyum teduh–dan yang paling mengagumkan adalah bahkan jika beliau meminum berbotol-botol alkohol red label tidak akan membuatnya jatuh dari mabuk.

Kuat adalah kata yang melekat dan mengikuti pada diri seorang alpha dominan.

Sebuah ingatan yang kusimpan rapat di dalam memori otakku. Meski mereka telah tiada, tapi di setiap waktuku seakan mereka selalu menemani apapun yang kulakukan bersama paman.

"Apakah kau begitu suka menggambar?" Suara J.H kembali membangunkanku, memecah keheningan di antara kami.

"Hu'um, hatiku hanya akan merasa tenang saat fokus menarikan jari-jariku di atas kertas. Tidakkah Anda tahu bahwa aku seorang omega resesif–yang bahkan tidak akan memiliki kemampuan dalam bekerja melebihi alpha?" jawabku, lalu aku menunduk. Ada perasaan sedikit sakit ketika mengucapkannya.

Dia masih duduk menatapku–yang bahkan aku tidak berani menghembuskan napas kasar. Hanya menekannya dan menghirup udara perlahan.

Lalu kurasakan telapak tangannya telah mengusap lembut rambutku, tanpa dia tahu bahkan saat ini aku telah kesusahan menelan saliva.

"Hem, aroma pear yang manis dan begitu manis. Aku tahu ..., tapi bukankah lebih menyenangkan berinteraksi dengan omega resesif karena feromonnya yang samar tercium, membuatku tidak begitu terganggu."

Mataku segera kubawa untuk menyambut tatapan matanya yang teduh dan kulihat di dalamnya sebuah rasa kasihan.

"Anda mengasihaniku? Maka jangan!" jawabku lirih, mataku mengerjap perlahan.

"Tidak ..., dan tidak akan," jawabnya.

______

Pulang bersama.

Hari merayap menuju makan siang dan J.H telah menutup pelajaran. Hatiku merasa lega atas berakhirnya kelas. Bagaimana tidak, bahkan untuk waktu lima jam yang kulalui, kurasakan tatapan matanya sering terlempar padaku–yang setiap dari mereka membuatku menekan napas ketika tanpa sengaja menangkapnya.

Ketika pertama kali tatapan kita beradu dengan kebetulan–yang mana mata kita saling mengunci, maka saat itulah kurasa benang takdir telah mengikat kedua kelingking kita.

Apakah aku yang lebih dulu menarik perhatianmu, atau pesonamu yang pertama menggetarkan hatiku, untuk cinta tidak perlu logika memperhitungkannya.

Bukankah ini masih terlalu awal untuk menyimpulkan?

Ini bahkan baru lima jam sejak kami berbicara untuk perkenalan.

Namun, getaran di hatiku telah mulai terbiasa menyebut namanya dalam diam. J.H ... siapakah kau?

Ponselku bergetar, membangunkan aku dari tenggelam dalam angan-angan yang mungkin hanya aku saja di sini dengan rasa sepihak.

"Mikaela, paman akan menjemputmu sebentar lagi. Tunggulah!"

"Kha, Paman."

fyi.

Kha = iya dalam bahasa Thailand untuk wanita yang mengucapkannya.

Dia selalu memperlakukan aku seperti telur emas, melindungiku dengan sangat hanya karena aku omega resesif yang kapan saja bisa mengalami heat.

Sejak dokter memberi hasil tes bahwa aku omega dengan feromon lemah, sejak saat itu ayah dan ibu menarikku mundur dari sekolah formal, sebagai gantinya mereka memanggil guru privat untukku agar belajar di rumah setara dengan sekolah umum. Paman menjadi lebih protektif terhadapku–menjagaku layaknya anggota tubuh dengan berpikir jika kaki tertusuk duri maka mulut akan mengaduh, perut akan mulas menahan nyeri, kepala akan pusing serta ... matanya akan menangis. Namun begitu, tidak menjadikannya posesif akut karena dia tetap menjaga senyum dan nyamanku. Paman Third adalah ayah setelah ayah tuaku.

Setelah kepergian orang tuaku tahun itu, paman mendedikasikan dirinya untuk menjagaku. Tak jarang aku menangkap rasa perih di manik legamnya, kurasa dia tenggelam dalam penyesalan ketika tak ikut menemani orang tuaku pergi saat kecelakaan itu terjadi. Berkali-kali aku berusaha membangunkannya dari sesal tak berujung, tapi rumah yang menjadi sunyi, pembicaraan tak berarti denganku tidak banyak membantu. Dia asisten ayah yang ditarik mundur saat aku lahir dengan tanda–tanda resesif. Ayah meminta paman menjadi bayanganku, dan seolah merasakan bahwa beliau tidak lama berada di sampingku.

Sebuah pemikiran yang kubicarakan dengan pengacara keluarga, mengingat kondisi perusahaan yang tidak stabil saat kepergian ayah. Tampuk kekuasaan yang seharusnya jatuh kepadaku, tetapi aku tidak mampu menanggung nasib ribuan karyawan. Untuk beberapa waktu samchon harus bolak-balik Seoul–Bangkok untuk menghandle perusahaan. Tapi, rupanya beliau bukan seorang serakah dan gila kekuasaan, atau mungkin juga merasa bahwa waktunya pun tidak lama lagi.

Maka dengan pertimbangan bahwa mendiang ayah dan ibu mempersiapkan semua hal pada paman Third untuk menjadi pengganti beliau, maka kami sepakat bahwa perusahaan akan dijalankan oleh paman.

Sebuah rapat menyelesaikan rencana pengalihan kekuasaan untuk sementara, atau atas kondisi tertentu. Sebuah surat keputusan yang kubuat dengan kondisi tertentu. Bahwa paman Third dengan kemampuan dan kepercayaan yang diberikan ayah akan memegang tampuk kekuasaan atas M.H Company sampai di saat aku mampu dan mau mengambilnya kembali.

*fyi. samchon: panggilan paman dalam bahasa Korea untuk hubungan keluarga.

Jadi, tahun itu aku dan samchon memaksa paman untuk menuruti kami.

Lalu bagaimana pandangan orang lain terhadap pemikiran konyol yang kami putuskan ini?

Bukankah ada ibu dari Lian yang merupakan adik kandung dari ayah?

Atau setidaknya memberi kesempatan pada Lian yang saat itu terlihat memiliki kemampuan.

"Jika kakak mempercayakan Mikaela pada Third, tentu pemuda itu telah melalui tes yang tidak mudah," kata bibi menanggapi, mengingat bahwa semua kekayaan dibangun oleh orang tuaku dari nol. Memang saat menikah ayah mendapat modal dari kakek sebagaimana bibi juga. Namun, saat itu keluarga ibu memberi apa yang seharusnya menjadi hak beliau–yang memilih meninggalkan posisi sebagai penerus keluarga.

"Kau benar, Sayang. Sejak muda kakak ipar telah mendidiknya untuk mempersiapkan posisi utama di perusahaan. Selain kesetiaan, kecakapan, serta kebijakannya tidak diragukan lagi. Jika kakak ipar menyerahkan putri semata wayangnya di bawah perlindungannya maka siapa lagi yang dapat memangku kekuasaan sementara selain Third," tambah ayah Lian.

"Jika Ayah besar memilih Oppa, maka tentu hanya dia yang pantas untuk kursi tersebut. Terlepas dari rasa cintaku padanya, dia adalah pelindung Mikaela saat ini dan kedepannya." Itu Lian dengan pendapatnya.

"Tapi, bukankah akan terdengar konyol?" sanggah Paman Third.

"Akankah kau terus tenggelam di jurang penyesalan yang tak berdasar? Lalu setidaknya buatlah dirimu sibuk dengan bekerja di siang hari, dan menemaniku untuk mendengarkan celotehku di sore hari. Aku pun akan mengambil kelas melukis, kita akan bangkit bersama!" ucapku, maju dengan jurus rewelku.

"Apakah Anda semua tidak takut bahwa aku akan mengambil semua dari Mikaela?" Kembali Paman Third maju dengan penolakannya, gurat keraguan tergambar jelas di wajahnya.

"Tidak!" jawab ketiga orang selain aku.

"Ambil jika itu membuatmu bahagia!" Aku maju dengan kepercayaan penuh atas kesetiaannya.

"Maka buat surat perjanjian yang melindungi hak Mikaela, juga sebagai pengingat agar aku tetap sadar akan posisiku!" pungkas Paman Third.

"Paman!" kataku tidak terima.

"Pengacara Kim, aturlah! Atau tidak sama sekali!" jawab Paman.

Sejak saat itu kami menyibukkan diri dan melanjutkan hidup. Tapi bukan berarti dia melepas matanya dariku. Dia bekerja di siang hari dan berakhir pada jam 6 sore untuk mengurusku layaknya ayah dan ibu.

Aku yang memohon untuk persetujuan mengikuti sekolah seni pun akhirnya diperbolehkan. Namun, sopir selalu mengantar dan memastikan keselamatanku. Karena aku menolak bodyguard mengikuti sepanjang waktu.

Sekolah seni Bangkok ini pun semua terdiri dari beta dan omega, termasuk Miss Cloe, beliau adalah seorang omega dominan.

Ah ... rupanya aku kembali terlarut dalam pikiranku.

Setelah membereskan peralatan menggambar dan menyimpannya ke dalam loker, segera aku berjalan keluar. Seiring kakiku melangkah, pikiranku telah melayang, kembali berkutat pada seseorang yang menggantikan Miss Cloe hari ini dan untuk waktu berikutnya. Seorang alpha dominan, aku dapat mengatakannya dengan yakin, bahkan jika dia telah berusaha menutupi aroma feromonnya.

Mungkin dia dapat mengelabui semua murid, tapi tidak denganku. Bahkan hatiku dapat melihat aura yang menguar dari tubuhnya, bagaimana warna serta ekspresi apa yang ada di dalamnya–yang mana aura tersebut mewakili suasana hatinya.

"Kau menunggu seseorang?" Suaranya yang serak basah dan rendah membangunkanku dari lamunan panjang, rupanya telah sepuluh menit dari waktuku keluar gedung seni lukis ini. Dan pemikiran bahwa J.H mengamatiku dari beberapa menit lalu memanaskan wajahku.

"Paman Third, aku menunggunya. Kurasa beliau sedang dalam perjalanan, tapi tidak biasanya akan lama!" jawabku dengan menunduk menyembunyikan rona di wajahku yang jelas tergambar. Aku merasa malu ketika dia menangkap semburat di wajahku.

"Maka aku akan mengantarmu, Kae!" jawabnya yang membuatku terkesiap dan tanpa sadar mendongak menatap matanya. Lalu perasaan canggung menghinggapi saat aku menyadari telah menunjukkan wajahku yang kurasa tak beda dari udang rebus, aku segera membuang pandanganku dan menjadi serba salah.

"Tapi bisakah kau menatapku? Aku tidak suka berbicara tanpa menatap mata lawan bicaraku!" lanjutnya yang kembali menggetarkan dadaku. Aura yang menguar saat ini adalah kekesalan. Maka aku mengangguk.

Ini aneh, bukankah seharusnya aku seperti murid lain yang tidak dapat merasakan feromonnya?

Tapi, bahkan otakku dapat menerjemahkan aroma mint yang menguar samar–sesekali tertangkap hidungku.

"Maaf untuk membuat Anda kesal!" Sial! Kenapa malah meluncur kata 'kesal' dari mulutku, padahal aku tengah menutupi bahwa aku tahu siapa dia.

"Lalu, kirim pesan pada seseorang yang akan menjemputmu!" Dia berbicara dengan mengalihkan topik seolah mengabaikan perkataanku. Saat ini hatiku lega, bahwa dia telah melembut.

'J.H ...,' batinku memanggil namanya.

"Nde?" jawabnya bertanya, aku sedikit terkesiap. Jangan bilang bahwa dia mendengar isi hatiku.

Tak banyak yang kami bicarakan kemudian, aku mengirim pesan pada Paman Third, kemudian J.H mendekat untuk membantuku mempersiapkan diri naik motor besar yang dia kendarai.

'Motor yang keren,' batinku.

Setahuku untuk mesinnya, berkapasitas 998 cc dengan empat silinder segaris. Dengan 6 percepatan bertransmisi manual, motor ini mampu menyemburkan tenaga sebesar 212 tk pada 11.000 rpm dan torsi maksimumnya 133,5 Nm pada 10.000 rpm.

Tenaga yang dihasilkan mesin ini merata, mulai dari putaran bawah hingga putaran atas. Kecepatan tertingginya dapat menyentuh 245 kpj. Kemampuan akselerasinya sendiri dari 0-100 meter dapat ditempuh dalam waktu 2,6 detik.

Motor garang yang ada di depanku adalah sebuah motor mahal dengan model limited edition. Bahan yang digunakan adalah serat karbon dengan karakter sangat kaku, tapi juga sangat ringan. Pembuatnya menamainya dengan lightweight CFRP (Carbon-Fiber Reinforced Polymer).

Kendaraan ini baru dirilis tahun 2017. Sang produsen membuat motor ini sebagai edisi terbatas dengan hanya 120 unit yang mereka jual ke seluruh dunia.

Aku pernah naik yang seperti ini sebelumnya, karena Paman Third memiliki satu di rumah–yang akan keluar ketika dia mencari angin atau saat Lian datang mengunjungiku. Gadis cantik itu selalu memaksa Paman untuk berkendara membelah jalanan di sepanjang pantai Pattaya.

Lian sebaya denganku, hanya terpaut dua tahun. Dia lahir lebih dulu dariku, tetapi karena susunan keluarga maka dia memanggilku unnie–jika di hadapan keluargaku. Ketika kami berdua saja aku lebih nyaman memanggilnya unnie. Dia adalah omega dominan yang cerdas, cantik, serba tahu akan apapun–yang melindungiku layaknya emas. Sayang ... tahun lalu ayahnya meninggal karena serangan jantung, sehingga mengharuskannya menjadi pilar bagi keluarganya.

Lian menggantikan ayahnya menjabat sebagai wakil CEO dari perusahaan ayahku. Saat ada waktu bebas dia akan terbang dengan pesawat Jet pribadi miliknya untuk menemuiku, maksudku menemui Paman Third. Kadang aku terkekeh sendiri jika mengingat kelakuannya saat menyeret tanganku untuk menemaninya mengekori Paman. Kurasa Lian telah menjadi seorang bucin akut.

Lagi-lagi aku telah hilang dalam pikiranku.

Sementara mataku masih menatap lekat alpha dominan yang tengah membantuku memasang helm berwarna hitam–warna yang sama dengan yang dia pakai.

Ekspresi wajahnya ketika mengulas senyum samar dengan tatapan teduh. Ahh ... aku menekan napasku lagi dan lagi saat tatapan mataku tertangkap olehnya.

Bagaimana aku harus menjelaskan tentang apa yang kulihat saat ini?

Dia mengenakan celana berbahan denim warna navy, kaos kasual berwarna putiih–memperlihatkan lekuk perut yang kokoh tercetak samar ketika dia bergerak. Kesan cute dan jantan terpancar di sana.

Lalu apa sekarang?

Hanya membungkus kaos dengan jaket kulit warna hitam, serta mengenakan sarung tangan hitam dari bahan kulit.

Lalu, Jari-jarinya yang ramping meraih sumpit kayu yang melilit rambutnya dan masih menancap menjadikan ikatan kuat pada rambutnya. Hatiku berdebar keras saat rambut panjangnya terbebas ketika tusuk dari kayu tersebut dia tarik seolah terhempas dan tergerai.

Tuhan ... wajah cantik, juga jantan di saat yang sama membuatku membelalakkan mata, hingga tanpa sadar daguku telah jatuh. Waktu terasa berhenti untuk semua penglihatanku padanya yang penuh pemujaan.

Harum napasnya menerpa wajahku, dadanya yang bergerak naik turun ketika menarik napas mulai menghempaskan kewarasanku, hingga terpikir untuk mengubur wajahku di antara dua gundukan indah yang terbalut jaket kulit berwarna hitam itu. Dan pemikiranku berlanjut dengan hidungku mengendus bau feromon yang menguar dari spot yang ada di lehernya.

Aku menekan mulutku dari mendesah atas pikiran mesumku.

"Katakan apa yang kau pikirkan saat ini, hem?" Suaranya membangunkanku untuk kesekian kali.

Tetapi sial, karena perutku berbunyi di saat yang tidak tepat, membuatku menunduk dalam. Kurasakan wajahku kembali memanas. Aku malu ....

"Kau selalu membawa helm cadangan?" Sebuah pertanyaan sederhana meluncur dari mulutku, menutupi rasa maluku.

Dia hanya mengangguk dan sesaat kemudian tubuh tegapnya telah menaiki motor dengan aku yang mengikuti untuk duduk di belakangnya. Tangannya meraih tanganku agar berpegangan dengan melingkari perutnya yang berotot.

J.H tidak kurus, juga tidak gemuk, tapi jemariku dapat merasakan otot-otot yang terlatih, tubuh yang nyaman untukku memeluk dan menyandarkan wajahku.

Lalu hatiku mulai berdiskusi dengan otakku.

Tuhan ... jika mencintainya dalam waktu sesingkat ini menjadikan aku omega murahan, maka aku akan. Kurasakan sesak menghimpit dadaku, perasaan tercekat oleh rindu yang menyeruak membuatku sakit, rasa sakit dan bahagia bersamaan.

Cinta ... aku mencintainya dari ketika mata kami saling menatap, aku mencintainya bahkan di hari pertama kami berkenalan. Iya ... aku mencintainya. Dan karena cinta adalah tentang rasa, di manapun, pada siapa pun, atau bahkan kapan pun, itu hak asasiku untuk mengakuinya.

Bahkan jika itu hatiku yang bertanya, aku akan tetap mengatakan aku mencintainya.

"Kita mau ke mana? Bahkan kau tidak bertanya alamat rumahku!"

"Tidak sulit memeriksa identitasmu. Kita akan makan siang, kudengar perutmu berteriak ingin diisi."

"J.H ..., tidak bisakah kau memberi aku sedikit muka?" jawabku dengan berteriak di jalanan karena deru angin memecah suara yang keluar dari mulut kami.

Rasa panas masih menghiasi pipiku, kurasa akan nampak merona, pasti.

Dia berbicara dengan begitu saja tanpa memikirkan perasaanku. Bahwa aku merasa malu.

tbc

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY