ggil Mak Piah;tukang urut ternama di kampung mereka. Kebet
h, lalu mengetuk pintu rumah wa
! T
dengan suara kencang. Namun Mak
ah tukang urut itu, tetapi belum juga dibukakan pintu. Bu Mae tidak keha
a sesek, di
k
nya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas berat. Segera ia menyusul Mak Piah yang sudah lebih dahulu masuk ke dalam rumahnya.
nya, lalu menyusul Mak Piah yang ternyata
h gak?" tanya Mak Piah
ang sekali napasnya tengah terengah-engah, sehing
arah Satria. Melihat sikap aneh nenek tukang urut pada anaknya, Bu Mae m
, nanti anak saya keburu mati. Ayo, cepat! Anak
Emak gih, bial gak nyeplos gini bibilnya pas nyi
grando*g ini!" Tentu saja Satria tidak bisa mengatak
yang ambil. Gak sopan juga saya masuk rumah Emak, karena Emak di sini," ujar Bu Mae memberi alasan. Mak
daripada harus kena bib
buh!" Bu Mae tak sabar menunggu keda
i dengan memakai gigi palsunya dan tersenyum
ia. Tuh, bisa'kan bilang Satria, bukan Satlia," ujar Mak Piah sambi
da Tuhan. Ia tidak yakin akan berumur panjang setelah dicium oleh Mak Piah. Perlahan dan d
bagaikan ikan sapu-sapu. Selain sesak napas, Satria juga kini semakin pucat dan tidak berdaya
berlari keluar rumah untuk meminta pertolongan para tetangga. Bahu Mak Piah melemah, saat tida
agar bisa bersanding dengan Satria yang berkali-kali gagal menikah,
ang lelaki dewasa masuk ke dalam kamar Satria
a Bu Maesaroh. Cepat Mak Piah menyembunyikan sesuatu yang i
aya mau ke rumah sakit." Bu Mae menarik tangan Mak Piah untuk keluar dari kamar a
skan air mata. Pelan ia rebahkan diri di tempat tidur sambil membayangkan berciuman dengan Satria Kua
mamnya sambil menyipitkan mata melihat benda yang ada atas telapak tangannya. Wan
tiup?" gumamnya lagi
n mulai meniup benda yang ia kira adalah balon, dengan sekuat t
k!" Mak Piah merasakan
*