empo dua hari yang lalu, dan dia tahu, tak akan ada banyak waktu lagi. Wajah-wajah pemilik kost yang sering menghardik
mpat tinggal adalah rutinitas yang tak terhindarkan, seperti sebuah takdir yang selalu membuntutinya. Di
empat tidurnya. Hanya beberapa lembar pakaian dan barang-barang pribadi yang dia bawa ke tempat ini. Sebuah p
rjaan paruh waktu di kedai kopi, semuanya sudah pernah dijalani. Bahkan, dia terpaksa menjadi pacar kontrak un
kirnya. Di kota besar ini, hanya ada satu aturan: bertahan
n langkah pelan, ia menuju kedai kopi tempatnya bekerja, namun ada sesuatu yang menghalangi langkahnya. Di depan kost yang selama ini d
ilik kost yang tinggal di lantai paling atas-seorang pria yang dikenal tegas dan tidak banyak bicara. Namun, ada sesuat
ana bergumam, matanya me
iana tahu, ini pasti bukan kebetulan. Seperti biasanya, dia harus menghada
duduk di kursi dekat pintu. Matanya tajam, penuh tanda tanya. "Liana, kamu harus
arakan, Tuan Arsen?" jawabnya dengan hati-hati, me
s. Saya tahu masalah kamu dengan sewa kost." Liana terdiam, tak tahu harus berkata ap
erusaha mencari uang, Tuan, tapi semuanya tidak berjalan sekeadaanmu. Tapi, ada hal lain yang perlu kita bicarakan." Matanya menatap tajam
eskipun jantungnya berdegup kencang. Arsen tidak menjawab langsung, mel
an aneh di dalam dirinya yang membuatnya ingin tahu lebih jauh. Apa yang sebenarnya Arsen ingink
apakah itu keputusan terbaik atau justru kesalahan terbesar dalam hidupnya. Tapi, s