uka-luka di hati Asha. Ia duduk di kursi kecil dekat jendela apartemennya, memeluk secangkir te
terngiang di telinganya, "Kamu pantas mendapatkan cinta yang tulus.
. Ia ingin melupakan segalanya, tapi kenangan itu terus memburunya. Kata-kata kasar Raka, tawa mengejekn
rt
irik layar. Kali ini, bukan Raka. Nama yang terte
nggilan itu deng
el terdengar rendah, hampir berbisik. "Aku cum
"Aku baik-baik saja, Pak Rafa
engan nada tegas. "Aku nggak mau memaksamu bicara, tapi kal
a sadari. Ada sesuatu dalam nada Rafael yang membua
akukan ini untukku?" bisik
afael, suaranya kini lebih lembut. "Dan aku tahu bagaimana ra
ang Kembal
a, membiarkan pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Ia teringat saa
Raka pernah berkata, menatapnya dengan m
ejekan. Kata-kata manis berubah menjadi racun. Dan perhatian yan
erlintas di pikirannya. Malam itu, mere
ginkan! Kamu cuma tahu caranya mengeluh dan me
sar. "Raka, aku hanya ingin kita bicara. Aku ha
! Kenapa aku harus peduli?" balas
hatinya, tetapi juga di tubuhnya. Stres akibat
pan ya
ang, meskipun bayangan masa lalu masih kerap menghantuinya. Setiap pagi di taman kanak-
ng menonjol. Gadis kecil itu selalu me
uatu hari, memberikan gambar hati berwarna mer
genang di matanya. "Terima ka
a hidupnya masih punya arti. Namun,
an Tak
g dari sekolah, ia melihat sosok yang tak asi
sini?" tanya Asha tajam,
Raka, wajahnya terlihat lebih lelah d
an, Raka. Kita sudah selesai," balas
t Asha membeku. Ia menatap tangan Raka di lenganny
elah menghancurkan segalanya. Tapi aku ingin memp
erbaiki? Kamu pikir luka ini bisa diperbaiki? Kam
a. Aku cuma minta kesempatan," Raka
menjawab, suara lain terd
el berdiri beberapa meter dari me
Tatapannya yang sebelumnya penuh rasa
nggak mau bicara sama aku?"
tanya semakin deras. "Raka, pergi
balas, tetapi Rafael melangkah
Raka. Jangan ganggu dia lagi," kata Raf
erbalik dan pergi, meninggalkan Asha
a dengan lembut. "Kamu ngga
ata Rafael, tetapi karena kehadirannya yang seolah menjadi tameng dari segala
ka-luka di hati Asha. Ia duduk di kursi kecil dekat jendela apartemennya, memeluk secangkir teh
erngiang di telinganya, *"Kamu pantas mendapatkan cinta yang tulus."
Ia ingin melupakan segalanya, tapi kenangan itu terus memburunya. Kata-kata kasar Raka, tawa mengejeknya
rt.
rik layar. Kali ini, bukan Raka. Nama yang tertera
nggilan itu deng
el terdengar rendah, hampir berbisik. "Aku cum
Aku baik-baik saja, Pak Rafael
engan nada tegas. "Aku nggak mau memaksamu bicara, tapi kal
a sadari. Ada sesuatu dalam nada Rafael yang membua
akukan ini untukku?" bisik
fael, suaranya kini lebih lembut. "Dan aku tahu bagaimana rasa
-
ang Kembali
a, membiarkan pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Ia teringat saa
aka pernah berkata, menatapnya dengan mat
ejekan. Kata-kata manis berubah menjadi racun. Dan perhatian yang
erlintas di pikirannya. Malam itu, mere
ginkan! Kamu cuma tahu caranya mengeluh dan me
sar. "Raka, aku hanya ingin kita bicara. Aku ha
! Kenapa aku harus peduli?" balas
hatinya, tetapi juga di tubuhnya. Stres akibat
-
pan yang
ang, meskipun bayangan masa lalu masih kerap menghantuinya. Setiap pagi di taman kanak-
ng menonjol. Gadis kecil itu selalu me
atu hari, memberikan gambar hati berwarna merah
enang di matanya. "Terima kasi
a hidupnya masih punya arti. Namun,
-
uan Tak
g dari sekolah, ia melihat sosok yang tak asi
sini?" tanya Asha tajam, s
Raka, wajahnya terlihat lebih lelah d
an, Raka. Kita sudah selesai," balas
t Asha membeku. Ia menatap tangan Raka di lenganny
lah menghancurkan segalanya. Tapi aku ingin memper
erbaiki? Kamu pikir luka ini bisa diperbaiki? Kam
. Aku cuma minta kesempatan," Raka me
enjawab, suara lain terden
el berdiri beberapa meter dari me
Tatapannya yang sebelumnya penuh rasa
nggak mau bicara sama aku?"
tanya semakin deras. "Raka, pergi
balas, tetapi Rafael melangkah
Raka. Jangan ganggu dia lagi," kata Raf
erbalik dan pergi, meninggalkan Asha
a dengan lembut. "Kamu ngga
arena kata-kata Rafael, tetapi karena kehadirannya yang seolah me