tak terasa menggenang di pelupuk mata. Aku tidak ingin terlihat lemah
atku dengan raut wajah yang cemas. "Tar, kamu kenapa?" tan
"Aku nggak apa-apa, Bang," bisikku dengan suara parau. Namun, hatik
m. "Tar, kalau ada apa-apa bilang
merasa sendirian, Bang. Aku berusaha buat baik sama semuanya, tapi mereka seolah nggak peduli. Padahal tadi pagi Ibu tahu aku lagi nggak enak badan ...
gkin tadi mereka lupa, Tar ... atau mungkin mereka pikir kamu nggak suka nasi bu
Seolah-olah, secara halus ia menyiratkan bahwa sikapku yang keliru, bahwa aku mungkin berlebihan dalam merasakan ini s
=
an Bang Hanif yang terserang flu. Semalam dia merasa sekadar lelah bias
gan lembut, mendekati Bang Hanif yang duduk bersandar di sofa den
ndarkan ke belakang, matanya terpejam. Melihatnya
sakit, hampir saja jatuh di dapur karena badan lemas, tapi ibu mertua hanya melihat sekilas dan kembali sibuk dengan kegiatann
tiba-tiba, menyadarkanku dari lamunan. Lalu, ia menoleh padaku. "Tari, bua
," jawab
, pikiranku melayang-layang. Aku berusaha memahami, wajar memang kalau ibu mertua
bagai menantu seharusnya berarti aku juga diperhatikan. Namun, kenya
berbicara pelan padanya. Aku menarik napas panjang, mencoba menghilangkan rasa sepi di
sambil menyodorkan mangkuk bubur. Ibu mertua tersenyum
nyum kecil sambil duduk di sampingnya, memastikan ia benar-benar makan. I