ngg
earah lantai dimana gelas yang terlepas ke lantai pecah berhamburan memenuhi lantai rumah gubuk sederhana mereka. Hati Mak gelisah tidak tahu kenap
n tergesa-gesa dari arah depan, be
uaranya terdengar jelas dari arah depan. Fadil, nama laki-laki remaja tersebut, adik bungsu Alika, anak laki-laki satu-satunya didalam keluarga tersebut.
ggil mak langsung berusaha untuk duduk meraih serpihan pecahanpecahan kaca secara perlahan. Dia bergerak cepat, memungut yang besar lebih dulu, setelah itu
yang dia buat. Tidak tahu kenapa hati mak terlalu gelisah, tangan nya gemetaran sejak tadi. Se
yang terlalu gelisah sejak tadi. Laki-laki itu tahu mak khawatir pada sang kakak yang belum pulang seperti biasanya dari bek
pada mereka satu rumah, ada apa geranga
agaimana-," Mak bicara pelan, menatap kearah tumpukan
terutama beling dan kaca itu menjadi pertanda buruk dalam sebuah rumah. Seol
nya
cahan beling dan kaca?" Fadil buru-buru me
ngada-ada." Fadil melanjutkan, bukan meremehkan tapi mengingatkan mak se
ada hal seperti itu mak." Setelah berkata begitu, Fadil langsung berdiri dari p
il terlihat diam, dia hanya b
terlepas dari pegangan. Dia tahu mak bukan cuma gelisah soal kakak nya, ini juga tentang bapak yang sakit nya tidak kunjung membaik. Apalagi kondisi ekonomi mereka
sekolah tanpa merepotkan orang tua itu jauh lebih baik meskipun dia belum bisa membantu ekonomi keluarga. Sebenarnya sebagai anak laki-laki dia ingin sekali berhenti sekolah, tapi kakak Aliya berkata jangan berhenti. Di mana ini dan masa depan, tanpa ijazah kita tidak bisa bekerja ditempat layak yang memanusiakan manusia. Kakak
iat untuk mengganti pakaian bapak di kamar, tap
amuala
yang disekat dengan triplek tersebut, berlarian me