engkingan kak Rika kembali m
rah? P
ang malam seperti ini. Teriakan yang menjadi tanda bahwa seorang pria yang setiap ak
baru mengenalnya hampir satu tahun belakangan ini. Belum terbilang lama. Entah kenapa, aku nyaman ketika berdekat
semua hal yang ada pada Bang Pino selalu aku puja tanpa secuil cela. Entahlah,
tanyaku memast
kekeh pelan seraya menggelengkan kepala. Mungkin perempuan cantik itu tak habis
se sewarna biru langit yang baru kali ini a
di atas penggorengan, lantas menoleh ke arahku. Mata bulatny
siap banget buat say bye sama si Abang," komenta
kenapa harus diingatkan lagi tentang per
terbang puluhan kilometer untuk kembali ke kota kelahiranku di Jawa Timur. Malam ini malam terakhir, di mana aku bisa menyimpan semua
gambil pendidikan kedokteran itu. Dia mengenalku dari awal kedatangan hingga detik ini. Jadi, kak Rika
ku melangkah mendekatinya yang tengah dudu
s terpaksa? karena sebenarnya jauh di dalam hati, aku sangat ingin men
mengambil alih nampan persegi yang berisi beberapa
rlihat happy? Hap
ahu saja dia bahwa di dalam hati, aku sudah ingin m
duduk di sebelahnya. "Abang sendiri kan yang bilang, kal
n senyum tenang. "Kalo kamu happy, Abang juga ikhlas ngelepas kamu pulang," sambungnya l
ang mengusap rambutku saja sudah hampir membuatku menangis. Beruntung, dengan menggi
o lagi setelah aku hanya diam
jawabku sembari menekuri kedua te
orang rumah udah
guk lagi. "
ku di sana. Andai saja aku tak terikat janji sialan yang aku buat dengan Pak Hilman, bapakku sendiri yang sang
neka yang
n koper. Biar bisa aku bawa terus s
ekali, hadiah pemberiannya kemarin. Kata Bang Pino untuk kenang-kenangan agar aku selalu mengingat sos
ng Pino menarik kedua sud
h kenapa, kali ini senyumnya terasa ngilu sekali menyiksaku. S
mbari menarik senyum miring, kali ini mengamati kedua k
lekat-lekat. Aah, aku suka sekali saat mendengar suaranya yan
karena aku tak yakin hatiku bisa kuat berlama-lama menatap netranya. Bisa-bisa kepu
paham dengan apa yang sedang aku utarakan. Kalau aku, iya. Aku memang berat karena akan meninggalkan sosoknya yan
n Bang Pino selama ini hanya karena merasa iba karena aku merantau jauh dan terpisah jarak dengan keluarga kan? Atau
alin Abang?" ulang Bang
satu anggukan kepa
Bang Pino lag
jawabku
pa be
a. Apa binar sendu di mataku belum terbaca dengan jelas
baknya lagi setelah kami dis
mengangguk pe
sampai ikut menunduk demi melihat raut waj
is
ba saja sudah membanjiri wajah. Biarlah. Toh ini pertemuan te
engan pikiran picikku yang ingin membatalkan kepulanganku esok hari.
semakin tergugu. Hingga aku merasakan telapak tangan Bang Pi
gan nangis-nangis gitu dong,
n memang. Entah bagaimana kacaunya wajahku saat itu, tapi aku setia
ini sukses membuatku menghentikan tangis. Apalagi setelah jemari besar Bang
jadi aku tak boleh m
angis kayak tadi." Pipiku mendadak hangat saat
cicitku denga
h suasananya, padahal tadi udah happy l
berani mengangkat wajah. "Ini kan jadi pertemuan ter
ngkan senyum samar. Tatapan matanya yang te
doh pasti
ya sangat kecil. Usia kami berbeda jauh, adat dan budaya kami bertolak belakang
an punggung ke sandaran kursi. Mencoba menerima kenyataan kal
da dinas di Jawa. Kita
lagi?" aku langsung m
engkan kepala pelan. Membuat gurat
a?" tanyaku lirih tak ingin te
m memaku netraku yang kembali berembun air
enyum. "Kita harus ketemu
emu, Abang akan membuktikan kalau kita berjodoh
dah tercetak jelas di
ngkasnya membuatku mengangguk dan
*
an. Aku menunggu kedatangan pria itu dengan setia seperti yang aku ucap sebelumnya. Namun semakin hari Bang
tiku. Aku tetap setia menunggu sembari mencari kabar dari rekanku yang lain di kota tempatku merantau sebelumnya. Tak ada
Bang Pinpin, Kak?" tanyaku di sua
g Pinpin udah jarang mampir ke sini. La
Pino satu-satunya orang yang memanggilku dengan sebutan 'Lisa'. Aaaah, mengingat panggilan itu tentu saja m
. Namanya juga cowok, ce
amat deh," de
jelang tua ini, elo itu masih gadis kecil polos yang mudah diperdaya cinta sama sehingga mudah sekali jatuh h
ka tadi. "Tapi Bang Pino beda Kak, dia u
ma janji pria macem
rpekik dengan nada kesal. Aku tak
gampang janji, gampang mengingkari. Begitu ketem
ak gitu. Batinku m
terlalu berharap gitu sama pria yang hanya mampir seke
jangan sedih berlarut larut gitu hanya karena janji manis o
ih apa yang dikatakan kak Rika. Bang Pino bukan siapa-siapa yang harus aku gantungkan harap
demi melupakan sosok dengan senyum ramah itu. Melanjutkan kuliah, ikut les masak memasak, ikut kursus
dengan satu kabar yang ingin kutepis jauh-jauh. Kabar tentang Bang Pi
punya selembar bukti kuat untuk menamparku. Aku ingin mengelak dan melanjutkan mem
lama kusimpan tak bisa dibiarkan lesap dan sia-sia begitu saja. Jadi, aku memutuskan untuk kembali mencarinya. Pria de
untuk mengantarkan rindu yang ingin berujung temu, aku ke sana juga untuk menyaksik
sat mata yang menghujam jantungku dengan kejamnya. Seiring dengan senyum pria yang kupanggil abang itu pada perempuan di hadapannya. Perempuan c
ka dan kecewa. Seumur hidup belum pernah aku merasakan sakit seperih ini. Namun sekarang, semesta seolah se
araku meng
mbeliak sempurna tatkala bersirobok dengan mataku yang tertutupi embun. Wajahn
senyum
atapan t
suara h
cat di pertemuan kami yang
sahutnya s
ing sangat pelan di telingaku, s
*