ol
ah
ang empun
gan berita
uah ne
ndasoka
suatu
Yang mendera sejak usia dini sampai senja. Yang mendera diri sendiri dan seluruh anggota keluarga. Dia pun sampai pada akhir kata. Pe
i si senja usia duduk di atas kursi roda bersama cucu satu-satunya. Dia berk
luh tahun y
ga adiknya -Setiyani, Setiyono, Tarnoto- sudah berangkat sekolah. Setiyani dan Setiyono kelas XII di SMA 1 Tawangtalun. Tarnoto kelas IX di
masih SD, Basudo sudah terbiasa bangun pagi sebelum jam lima. Sebagai anak sulung, Basudo sudah terbiasa membantu pekerjaan ibunya sebagai penjual makanan di
sampai semur daging terjaga aroma dan rasanya. Orang-orang Dukuh Tegelan sudah tahu masakan Samiyani. Mereka selalu minta tolong Samiyani menjadi koki alias juru masak kalau punya kerja. Warga Tegelan kurang merasa afdol saat punya hajat kalau kokinya bukan Samiyani. Tidak jarang, seora
tro terhadap kepala sekolah, Samiyani diperbolehkan membuat kantin di dalam lingkup SD Kapuguhan 03 sej
amat SD karena Gotro bersikukuh bahwa pendidikan tidak ada gunanya. Bagi Gotro, yang penting ketiga anaknya nanti akan mewarisi harta berupa sawah. Gotro mewarisi tiga hektar sawah dari orang tuanya. Ketiga hektar sawahnya kelak akan dia wariskan kepada ketiga anaknya: Setro, Rubiyem, dan Tariyem. Setro terlahir sebagai anak sulung, anak laki-laki satu-sat
ro masih atas nama Joyo, ayahnya. Gotro anak tunggal, sehingga dipastikan seluruh harta Joyo akan menjadi milik Gotro. Namun pemikiran Gotro tiak t
etelah sang ayah meninggal karena wabah kolera. Basudo masih anak-anak, dan Sawiyah, istri Gotro tidak berhak mewarisi atau pun membagikan warisan. Pembagian warisan diserahka
isan satu hektar sawah dari almarhum Joyo. Ya..., kenyataannya memang begitu. Ketiga hektar tanah milik Gotro memang masih atas nama Joyo. Maka cukup sulit bagi Sarko mengalihnamakan satu hektar
iyem setengah hektar. Karena Tariyem sudah meninggal dunia, maka setengah hektar warisannya menjadi hak Rubiyem. Berdasarkan hukum adat itu pula, mestinya
amil. Kehamilan Samiyani yang tidak lama dari waktu pernikahannya, membuat warga Tegelan bertanya-tanya dalam hati masing-masing. Mereka bergunjing dengan nada bicara pelan, setengah berb
kepada Setro kalau anak sulung Setro sudah dewasa. Namun, sebelum Basudo (anak sulung Setro) dewasa, Sa
babkan kesengsaraan bagi Setro sekeluarga. Keseng
i emper rumah. Lincak, tempat duduk terbuat dari bambu, terdengar berkereyot ketika mereka duduki. "Walaupun Mbah Sarko bukan kakek langs
asudo untuk melega
ialami bersama ayah, ibu, dan ketiga adiknya. Padahal, dalam benaknya paling dalam, masih m