way with you...Cause I can see
i pendengaran semua orang di ruangan seluas 20 x 30 meter berpeneran
di setiap penghujung minggu. Jum'at, Sabtu, dan Mi
ma kafe tersebut. Dia biasa mengisi jadwal m
ak salah satu pengunjung sembari acungkan g
lagu mellow tadi. "Baiklah, saya akan coba bawaka
ng pianis mengangguk, lalu main mata memberi kod
wakan mengambil versi jazz. Suara Ruby terdengar ma
menawan, terkadang memamerkan paha indah dia di balik
mengetahui nama aslinya, pun pemilik kafe atau bahkan p
ayangkan Ruby adalah gadis muda berumur awal dua puluh, b
n angan-angan
hnya masih terawat dengan baik. Pinggangnya masih ramping tersambung ol
g dadanya. Payudara dia berukuran normal dan tidak berlebihan. Walaupun be
angka. Dadanya masih mencuat kencang dan pasti ak
a memang dia rupawan serta mempesona dengan segenap garis wajah yang ia miliki. Tak m
ab sembari berpautan tangan di atas ranjang. Dia menyen
agai biduanita paling dinanti-nan
njung yang sebagian besar adalah lelaki yang datang dan terkadang rela
lan aduhai dari sang biduanita, suara Ruby jug
nya, maka para penonton pria akan mengerang meski itu ada di sudut-sudut gelap kafe yan
itu dosa dia jika para pengunjung terancam akan
ya pertunjukan disudahi. Pemilik kafe memang tegas agar
ung, ada band anak muda terlebih dahulu yang mengisi ac
a-sela lagu. Hingga terkadang maksimal ada 20 lagu dia dendangkan secara sa
sudah mulai berbenah. Pengunju
padanya sambil dagu menunjuk ke sebuah meja. Mereka sedang berkumpul di
ut. Mata besarnya mendapati sesosok pria yang
nggung tangan bosnya. "Yang dulu sudah cukup merep
alu teledor waktu itu. Baiklah, tenan
an pada musisi pengiringnya. Ia sempatkan melirik lelaki di meja ta
lnya terparkir. Riasan sudah dihapus, sehingga dia b
enggemar yang terkadang tidak rasional d
kah bagaikan anak sekolah baru mengenal cinta. Menguntit, menempel, serba i
akan membuat wanita pertengahan tiga puluh
b dan menghargai privasi Ruby jika di luar kafe. Wanita lajang itu
ia hempaskan tubuh ke sofa sebe
yang menjejali di sana sebagai bayaran hari ini, Ruby tersenyum pua
ecil, namun dia merasa seperti sapi perah saja, seminggu 4 kali, namun bayaran minim. Untung saja dia bert
uduk sendiri di meja depan panggung. Dia sadar pria itu mengaguminya meski tak banya
untuk berjalan ke kamarnya. Ia ingin bermal
sam