Kalah menjadi abu. Menang menjadi arang. Ini adalah kisah tentang pertikaian sengit di antara para putri yang ikut serta di dalam perebutan mahkota Putri Purba. Tujuh bersaudara yang sedari kecil hidup bersama-sama dengan bahagia, ... mulai menjalani hubungan persaudaraan yang kacau nan berantakan, ... dikala mahkota yang didamba-damba telah jatuh ke tangan putri yang bahkan sama sekali tak mengharapkan takhta kerajaannya sedari awal. Akankah takhta kembali beralih kepada orang yang sudah seharusnya menerimanya sedari awal? Ataukah sang putri yang dijatuhi bingkaian hiasan kepala terbuat dari logam mulia, lengkap dengan intan dan juga permata itulah, ... yang pada akhirnya akan tetap menjadi pemimpin kerajaan? "Apa kau ingin tahu, kesalahan terbesar apa yang pernah dibuat olehku di sepanjang hidupku ini?" Sang putri tertua kerajaan ini, si Putri Mahkota yang bahkan tak dapat menggapai gelaran mahkotanya lagi, Putri Purbararang, ... bertanya dengan wajah yang pahit terhadap sang putri baik hati, yang saat ini tengah berdiri berhadapan dengannya diluar sel penjara. "Kesalahan terbesarku adalah, pernah membuat hatiku yang sudah hancur ini, untuk menyayangimu dengan segenap hati ...." Dia berucap lirih semacam itu, diiringi dengan lelehan air mata. "... Purbasari." Air mata keputusasaan yang akan senantiasa ia dapatkan, dikala berhasil dikalahkan oleh adik kandungnya sendiri, Putri Purbasari, lagi dan lagi.
"Jangan sok berbaik hati dan cepat bunuhlah aku, ... Purbasari."
Ah, sesungguhnya, Purbasari masih belum mengerti.
Si anak bungsunya Raja Prabu Tapa Agung, putri kerajaan Pasir Batang yang tersayang, ... merasa sangat tidak paham dengan kejadian buruk yang telah menimpa keluarga besarnya ini.
"Bunuhlah aku dengan peraturan hukum yang sudah kubuat!"
Purbasari, sang putri yang memiliki banyak sari kecantikan selayaknya bulan purnama, dengan anugerah rambut putih keperakan juga manik mata sebening es kristal, ... memandang kasihan putri tertua kerajaan Pasir Batang, sang kakak kandung, Purbararang.
"Jangan mengasihaniku ...! Itu menjijikkan."
Purbararang, putri yang lebih tua lima tahun dari Purbasari itu, memiliki penampilan yang sangat suram lagi membosankan.
Berbanding terbalik dengan Purbasari yang mewarisi keanggunan wajah lemah lembut seperti sang ibu ratu, ... Purbararang memiliki tampang sangar dengan ciri fisik yang lebih condong ke paduka raja.
Rambutnya yang sehitam arang, juga matanya yang segelap langit malam, ... tambah menonjolkan sifatnya yang memiliki hati yang sama hitam.
Bertindak seenaknya, menghukum orang sesukanya, juga menyelewengkan kekuasaan semaunya, adalah hal yang sangat pantas untuk dijadikan alasan mengapa ia berada di dalam kurungan penjara.
Apalagi, mengingat ia mencoba merebut kekuasaan Purbasari dengan mencoba membunuh sang calon ratu sesungguhnya dari kerajaan Pasir Batang, ... dia memang pantas untuk mendapatkan hukuman berat, seperti hukuman mati.
"Paling tidak, biarkan aku mendapatkan satu saja keinginanku yang akhirnya dapat terkabulkan."
Namun, Purbasari yang sekarang telah menyandang status sebagai ratu resmi kerajaan warisan ayahnya itu, dengan bersanding bersama pasangannya, pangeran dari Kekaisaran Kahyangan, ... bukanlah orang yang banyak menaruh dendam.
"Nyai Teteh."
Memanggil lembut sang kakak dengan tubuh yang rela direndahkan meski gaun putih bersihnya dapat terkotor oleh beceknya tanah penjara, ... Purbasari kembali berujar.
"Aku memaafkanmu. Jadi, ... tolong kembalilah seperti dulu."
Purbasari yang penuh kasih sayang, dengan berbesar maaf masih bisa melupakan rasa hati terlukanya akibat dari di sakiti oleh sang kakak tertua.
"Aku sayang Teteh."
Dikarenakan, pada dasarnya, ... Purbasari adalah putri yang pemaaf.
"Teteh tolong maafkan Sari juga."
Apalagi, ... jika sudah bersangkutan dengan keluarganya yang tercinta.
"... Ya?"
"Ha!"
Mendengus keki, Purbararang melemparkan tatapan tajam dari mata hitam kelamnya yang menyorot geram.
"Jangan membuatku tertawa."
BRANG!
Mencengkeram kuat batang besi yang mengurungnya sampai menimbulkan bunyi nyaring, mencakar dan menggeret karat pada besi itu pula saking ingin melampiaskan kemarahannya, Purbararang ... menggeramkan kata-kata.
"Orang yang merebut semuanya dariku, tidak memiliki hak untuk mengatakan ucapan yang sok suci itu!"
"Nyai Teteh, kamu ... kamu tidak boleh seperti ini."
"MEMANGNYA-!"
"-Kyaaa!" jerit Purbasari ketakutan, dikala dirinya itu ditarik secara tiba-tiba oleh Purbararang yang mencomot kerah gaunnya secara kasar.
"Memangnya ... kau tahu apa tentang diriku, Purbasari?! Memangnya ... kau paham apa tentang penderitaanku selama ini? Jangan bertingkah sok akrab denganku!"
Membentak dan mengatai Purbasari dengan suara yang mulai terdengar bergetar, kening Purbararang, kini ... dipenuhi oleh kedutan alis yang mengerut menahan segala rasa kepahitan. "Itu mengesalkan!"
Manik mata kelam yang tadinya menatap tajam ke arah manik mata bening milik adiknya, mulai dibaluri oleh air mata yang menggenang.
"Kau pikir, pengalaman apa yang sudah banyak kualami, sampai-sampai menjadikanku seperti ini, ... hah?"
Suaranya yang bergetar getir, dan pandangan matanya yang mengabur karena dilimpahi oleh banyak air mata ... benar-benar meriasnya menjadi seseorang yang begitu menyedihkan.
"Kau tidak tahu apa-apa."
Menundukkan kepalanya dan mengendurkan sedikit pegangan tangannya pada jeruji besi penjara, Purbararang melirih hampa.
"Kau tidak merasakan penderitaan yang serupa."
Menggigit pahit bawah bibirnya sampai berdarah dengan rintikkan air mata yang semakin berjatuhan selayaknya hujan pertama di musim kemarau, ... Purbararang semakin menanamkan bibit-bibit kebencian yang begitu mendalam di dalam lubuk hatinya.
"Kau beruntung sekali, hidup di dunia ini hanya diperuntukkan untuk menjalani hari dan hal-hal yang bahagia saja."
"Kau harus membayar utangmu sekarang juga," desis Lucas, matanya dingin seperti es. Flora terpaku, tak bergeming, dadanya sesak. Hutang? Hutang apa? Sebuah perjanjian hutang antara mendiang orang tua Flora dengan Lucas, yang kini berakhir mengikat Flora dengan pria yang baru dikenalnya malam ini di pesta lajang sahabatnya. Menjerumuskannya dalam lingkaran neraka. Flora tak pernah tahu orang tuanya berhutang pada seorang pria kejam, berusia lima belas tahun lebih tua darinya, pemilik Perusahaan Blackwood tempatnya magang sebagai staf marketing. Lucas, pria yang tak kenal ampun, menuntut pembayaran detik itu juga. "Jika kau tidak bisa bayar nominal utangnya, tubuhmu untukku malam ini!" tegas Lucas, menarik tangan Flora masuk ke kamar hotel.
Jatuh dari keningratan, Zen Luo menjadi budak yang rendahan yang digunakan sebagai karung tinju untuk para mantan sepupunya. Secara tidak sengaja, dia menemukan cara untuk mengasah dirinya menjadi senjata dan sebuah legenda dimulai karena itu. Dengan keyakinan yang kuat untuk tidak pernah menyerah, dia berusaha untuk membalas dendam dan mengejar impian yang besar. Pendekar dari berbagai klan bersaing untuk kekuasaan dan dunia menjadi kacau. Mengandalkan tubuh yang sebanding dengan senjata ampuh, Zen mengalahkan banyak musuh dalam perjalanannya menuju keabadian. Akankah dia berhasil pada akhirnya?
Ketika Nadia mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu Raul tentang kehamilannya, dia tiba-tiba mendapati pria itu dengan gagah membantu wanita lain dari mobilnya. Hatinya tenggelam ketika tiga tahun upaya untuk mengamankan cintanya hancur di depan matanya, memaksanya untuk meninggalkannya. Tiga tahun kemudian, kehidupan telah membawa Nadia ke jalan baru dengan orang lain, sementara Raul dibiarkan bergulat dengan penyesalan. Memanfaatkan momen kerentanan, dia memohon, "Nadia, mari kita menikah." Sambil menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis, Nadia dengan lembut menjawab, "Maaf, aku sudah bertunangan."
"Kau pikir aku mau menjadi istrimu?" Rose tertawa mencemooh. "Not in milions time." "Ya, Rose. Kau akan menggantikan Rosa! Aku tidak butuh dirimu menjadi istriku karena aku hanya perlu kau berdiri di sana menggantikan Rosa!" Ucapan Robert penuh penekanan. "Kau tahu apa yang terjadi jika menolakku? Pertama, aku akan menjaukan Kenzie dari jangkauanmu, kedua, aku akan membuat Romeo ayahmu di deportasi, ketiga, aku akan menjual dirimu ke rumah bordil!"
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”