"Penjara ... atau habiskan satu malam denganku." "Maaf, keperawanan saya tidak bisa Anda dapatkan begitu saja, Pak!" "Kalau begitu bersiaplah berhadapan dengan proses hukum. Asal kamu tahu, aku tidak akan segan menuntutmu dengan hukuman berat." "Keperawanan saya sangat berharga. Saya tidak ada niat melakukan hubungan itu sebelum menikah. Kalau Anda menginginkan keperawanan saya ... nikahi saya terlebih dahulu!" "Aku tidak perlu menikah jika hanya untuk meniduri perempuan. Apa istimewanya milikmu itu sampai aku harus menikahimu?" Di depan lelaki itu, ia membuka pakaian dalamnya lalu memperlihatkan miliknya yang istimewa. Lelaki itu terpana, dengan gugup bertanya, "Apakah kau yakin sudah berusia dua puluh lima tahun? Mengapa milikmu bisa mulus seperti bayi begini?" *** Sheila Damaris tidak menyangka keputusannya untuk membiayai pengobatan sang ibu akan mengubah jalan hidupnya sedemikian drastis. Dari wanita elegan yang terkenal di kalangan pria, ia harus hidup sebagai istri kontrak sang direktur yang angkuh dan kejam. Awalnya ia menikmati peran baru sebagai istri Revian-sang direktur di tempatnya berkerja-, tetapi begitu lelaki itu tahu identitas kekasih Sheila sebelum menikahinya, sikapnya langsung berubah total. Hari demi hari Sheila lalui dalam penderitaan karena Revian hanya menjadikannya sebagai budak pemuas nafsu semata. Siapakah identitas kekasih Sheila sebelumnya? Apa yang akan Sheila lakukan untuk membalas semua kekejaman Revian?
Sheila berjalan dengan langkah tergesa menuju halte, meninggalkan gedung PT. EP yang menjulang megah tempatnya mencari nafkah selama ini. Dengan tak sabar ia menyetop taksi, lalu meminta sopir taksi itu untuk bergegas.
"Ke rumah sakit Haluan, Pak. Kalau bisa ngebut saja ya," pinta Sheila dengan wajah cemas.
Wanita cantik dengan bola mata biru gelap itu terus melirik arloji di pergelangan tangannya. Telepon dari orang yang ia tugaskan untuk menemani ibunya adalah alasan dia cemas sekali siang itu.
"Mbak Sheila, ibu pingsan di kamar mandi, dari hidungnya keluar darah!"
Itulah kata-kata yang ia dengar beberapa saat lalu, yang dalam sekejap mata membuat Sheila langsung berlari meninggalkan meja kerjanya.
Sheila tidak akan sepanik itu jika saja keluarganya masih utuh. Sayangnya, sang ayah meninggal tidak lama setelah perusahaannya dinyatakan bangkrut. Selepas kepergian ayahnya itu, hidup Sheila semakin kacau. Jangankan mendapat warisan yang berlimpah, semua aset keluarganya justru disita untuk membayar hutang. Itu sebabnya, Sheila harus berkerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan membiayai pengobatan sang ibu yang sakit-sakitan.
"Tolong lebih cepat lagi, Pak," pinta Sheila sambil menepuk-nepuk sandaran jok sopir itu dari belakang. Ia benar-benar tak sabar untuk segera melihat kondisi ibunya.
"Ini sudah sangat cepat, Mbak. Kalau lebih cepat lagi kita bisa celaka," jawab sopir taksi bertubuh besar itu.
"Oh, maaf. Saya sedang sangat buru-buru soalnya, ibu saya baru saja dibawa ke IGD rumah sakit itu," ujar Sheila dengan wajah yang hampir menangis.
Namun, ia tidak mau air mata itu jatuh dengan mudah. Sheila mengangkat kepalanya, mencegah air mata itu meluncur ke pipinya. Akan tetapi, tentu saja cara itu tidak akan membantu sama sekali. Air mata itu tetap meleleh di pipinya yang mulus.
Akhirnya, taksi itu sampai dengan selamat di rumah sakit yang ia tuju. Setelah membayar ongkos, Sheila berlari secepat mungkin menuju IGD, tempat sang bunda tercinta berada saat ini. Kaki Sheila lemas seolah tak bertulang saat mendapati ibunya terbaring tak berdaya dengan berbagai macam alat menempel di tubuhnya.
"Ibu Anda harus segera dioperasi, dia kritis."
Kata-kata dokter itu bagaikan palu besar menghantam dada Sheila. Sangat sakit dan menyesakkan dadanya. Tubuh Sheila bergetar hebat, ia bingung dan juga takut dalam satu waktu. Ia takut kehilangan ibunya, tetapi ia bingung dengan biaya pengobatan yang pastinya tidak sedikit itu.
'Operasi? Biayanya pasti besar sekali. Apa yang harus aku lakukan? Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membayarnya?'
Sheila berdiri resah di hadapan dokter itu. Tanpa sadar ia menggigiti kukunya sendiri sambil menatap pilu pada ibunya yang tak sadarkan diri.
'Tabunganku hanya cukup untuk biaya hidup hingga gajian bulan depan. Ke mana aku harus mencari uang dalam waktu singkat ini? Haruskah aku ...? Ah, tidak-tidak. Tidak boleh, itu melanggar hukum, Sheila!'
Sheila terus bergelut dengan pikirannya sendiri.
"Tolong cepat, Mbak. Ini dokumennya, tolong ditandatangani. Lalu selesaikan administrasinya di kasir, ya."
Beberapa lembar kertas berpindah ke tangan Sheila. Ia benar-benar harus berpikir cepat kali ini karena satu detik saja terbuang bisa berakibat fatal pada ibunya. Tanpa berpikir panjang lagi Sheila menandatangani semua berkas itu lalu menyerahkannya pada petugas yang itu kembali.
"Biaya operasinya empat puluh delapan juta. Sesuai dengan peraturan rumah sakit ini, Anda harus membayar minimal setengah dari biaya tersebut agar pasien bisa di operasi secepatnya. Sisanya bisa Anda lunasi maksimal satu minggu setelah operasi selesai," kata kasir itu.
Sheila mengangguk dengan pikiran bercabang. Akal sehatnya benar-benar sudah hilang. Meski dengan tangan yang masih bergetar hebat, ia membuka dompet lalu mengeluarkan selembar cek yang baru saja ia terima tadi pagi.
'Ya, Tuhan. Tolong ampuni aku kali ini saja,' desis Sheila dengan suara yang sangat lirih.
Wanita berparas cantik itu memejamkan mata dengan perasaan bersalah. Namun, terbayang wajah ibunya yang sekarat, semua perasaan bersalah itu langsung raib tak bersisa. Bagi Sheila, nyawa ibunya lebih berharga. Ia tidak peduli lagi dengan risiko yang akan ia hadapi karena menggunakan cek itu tanpa izin pemiliknya.
"I-ini, Mbak. Sa-saya bisa bayar dengan cek, 'kan?" tanya Sheila gugup.
Kasir itu mengangguk, ia menerima lembaran cek yang Sheila sodorkan. Dalam hitungan detik, Sheila sudah menerima bukti pembayaran lunas, beserta uang kembalian senilai dua juta rupiah. Yah, cek senilai lima puluh juta yang seharusnya ia setorkan ke rekening perusahaan itu telah berpindah tangan sekarang.
Ia tidak tahu apakah rasa syukurnya hadir untuk alasan yang tepat, tetapi tidak bisa dipungkiri hal ini bisa ia lakukan karena kolom penerima pada cek tersebut tidak diisi oleh rekan bisnis yang mengeluarkan cek itu. Bagi mereka tanda terima pembayaran yang Sheila berikan sudah cukup sebagai bukti bahwa cek itu sudah sah sebagai alat pembayaran dari mereka.
Sheila melangkah meninggalkan meja kasir menuju ruang operasi. Ia tahu, saat ini sebelah kakinya sudah berada di penjara, tetapi ia tidak peduli karena saat ini yang terpenting adalah bisa menyelamatkan ibunya, satu-satunya keluarga yang masih ia miliki.
Beberapa jam sudah berlalu, Sheila masih duduk menunggu di depan kamar operasi yang lampunya masih menyala. Jantungnya berdetak beberapa kali lipat saat melihat jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul lima belas lewat lima menit. Ia tahu arti angka di penunjuk waktu itu, karena di jam segitu biasanya ia sudah membuat laporan penerimaan pembayaran harian.
Tugas itu tentu saja sudah ia limpahkan pada rekan kerjanya sebelum pergi tadi, tetapi yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat adalah fakta bahwa dirinya telah menggelapkan satu lembar cek yang seharusnya masuk dalam rekapitulasi penerimaan pembayaran hari ini.
Pukul lima sore lewat lima belas menit, enam jam sudah operasi itu berlangsung. Sheila mulai berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Meski waktu operasi yang disebutkan dokter masih empat jam lagi, tetapi Sheila tetap tidak bisa tenang sebelum mendapat kabar bahwa operasi itu berhasil dilakukan.
Ia terus menatap ke pintu ruang operasi itu berharap dokter yang membedah tubuh ibunya keluar dari sana dengan wajah lega. Namun, lain yang ditunggunya lain pula yang ia dapatkan.
Dering ponsel yang memperlihatkan panggilan masuk dari ruang direktur membuat jantung Sheila terasa akan melompat ke luar.
["Selamat sore, Bu Sheila. Saya Chiara, sekretaris direktur. Pak Revian meminta Anda menghadapnya sekarang juga."]
"I-iya, Bu Chiara. Tetapi ... saya sedang di rumah sakit sekarang. Bisakah saya menemui beliau besok pagi?" pinta Sheila dengan suara terbata.
["Maaf, Bu Sheila. Pak Revian bilang harus sekarang, dia tidak akan menerima kedatangan Ibu besok pagi.]
Keringat dingin terasa mengalir deras di tubuhnya. Sheila tahu apa yang akan ia hadapi di ruangan direktur itu nanti. Tidak ada cara lain, ia harus menghadapi orang nomor satu di perusahaan itu jika masih ingin hidup dengan sedikit kewarasan yang tersisa.
Tiga puluh menit kemudian Sheila sudah berada di ruangan direktur berparas tampan itu. Muda, tubuh proporsional, cerdas, dan mapan. Tidak ada wanita yang menolak pesona eksekutif muda seperti Revian Adolf, sang konglomerat muda yang terkenal itu.
Jika saja hatinya tidak terikat pada seorang pria yang berada di masa lalu, mungkin dirinya sudah jatuh cinta pada ketampanan sosok di depannya saat ini. Sayangnya, sampai detik ini di hatinya masih bertahta nama pria itu. Pria yang ia sayangi sekaligus harus ia lupakan karena kemelut di kehidupan pribadinya.
"Sheila ... sudah berapa lama kamu berkerja di perusahaan ini?" tanya Revian dengan tatapan tajam, membuat lamunan panjang Sheila buyar seketika.
Kedua sikunya bertumpu di atas meja, sementara jari-jarinya yang panjang sibuk memainkan pena yang bagian atasnya bertuliskan namanya dengan tinta emas.
"Sudah dua tahun, Pak," jawab Sheila dengan suara yang dibuat setenang mungkin.
Pada hal aslinya ia sangat gugup sekali, tetapi Sheila berusaha untuk tetap terkendali di hadapan pemilik perusahaan itu.
"Apa posisimu di perusahaan ini?" tanya Revian lagi.
"Kasir utama, Pak."
"Dua tahun menduduki jabatan kasir utama PT. Eksim Perkasa. Wow ... cukup hebat," puji Revian dengan sebelah sudut bibir terangkat.
Lelaki itu tersenyum sambil memujinya, tetapi, di telinga Sheila pujian itu terdengar seperti seringai serigala yang sedang berhadapan dengan mangsanya. Ia benar-benar terpojok dan tidak berkutik, tubuhnya mendadak terasa kerdil di hadapan Revian yang berkuasa.
"Semua ... karena support dari Anda ..., Pak Revian," jawab Sheila yang semakin gugup.
Deru napasnya tak lagi teratur. Ia bisa merasakan sekujur tubuhnya basah oleh keringat.
"Selama kurun waktu tersebut ... berapa banyak uang perusahaan yang sudah kamu gelapkan?" tuding Revian tajam.
Sheila tersentak. Harga dirinya terluka mendengar pertanyaan yang mengarah pada tuduhan itu. Ia tidak bisa menerima perlakuan tidak adil itu begitu saja, karena selama ini ia mendedikasikan dirinya sepenuh hati pada perusahaan itu.
"Maaf, Pak. Saya keberatan dengan pertanyaan Anda yang jelas-jelas disertai tuduhan itu. Selama berkerja di sini saya tidak melakukan hal serendah itu, Pak. Saya adalah karyawan yang jujur dan penuh tanggung jawab," jawab Sheila dengan intonasi sedikit meninggi.
"Good! Memang itu yang saya butuhkan dari para karyawan yang berkerja di perusahaan ini," sahut Revian cepat.
"Lalu ... apa yang baru saja kamu lakukan dengan cek ini?" lanjut Revian seraya melemparkan fotocopy lembaran cek, di mana yang aslinya beberapa saat lalu sudah Sheila gunakan untuk membayar pengobatan ibunya.
Tubuh Sheila membeku. Kakinya bagai terpatri ke lantai, membuatnya tak lagi mampu bergerak meski hanya untuk sekedar menggelengkan kepala.
"Sa-saya terpaksa ... menggunakan cek itu ... untuk membiayai operasi ibu saya," jawab Sheila dengan kalimat yang terputus-putus.
"Kamu tahu, 'kan? Perusahaan ini bukan yayasan amal, Sheila. Apa pun alasannya, kamu telah menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi, dan itu jelas-jelas melanggar hukum!" kecam Revian.
Kepala Sheila tertunduk, ia mengaku salah kali ini. Setelah dua tahun berkerja, inilah pertama kalinya ia melakukan hal tercela begitu.
"To-tolong beri saya kesempatan untuk membayarnya, Pak," pinta Sheila dengan suara yang lemah.
"Satu hari, paling lambat besok sore kamu harus membawakan uang senilai cek ini ke hadapan saya," tegas Revian.
Sheila semakin tidak berdaya karena ia tahu itu adalah hal yang sangat mustahil untuk ia penuhi.
"Saya mohon, Pak. Izinkan saya mencicilnya dari gaji," pinta Sheila lagi, masih tidak menyerah untuk mendapatkan solusi terbaik untuk kesalahannya.
"Nope! Kamu telah menggelapkan uang perusahaan, berarti kamu mengkhianati kepercayaanku. Tidak ada tempat bagi pengkhianat di perusahaan ini," tolak Revian tegas.
Sheila tidak tahu lagi harus berkata apa untuk melunakkan hati Revian. Ia benar-benar tidak memiliki jalan keluar dari masalah itu.
"Sekarang begini saja," cetus Revian setelah beberapa saat terdiam, membiarkan Sheila larut dengan pikirannya sendiri.
"Aku ajukan dua opsi untukmu," ujar Revian dengan tatapan licik.
Kepala Sheila langsung terangkat demi mendengar solusi yang Revian tawarkan. Ia menatap penuh harap kepada lelaki yang kini mengumbar senyum kemenangan di hadapannya.
"Kamu boleh memilih salah satu. Penjara ... atau ... habiskan satu malam denganku."
Sheila tersentak, ia sampai mundur satu langkah saking kagetnya mendengar pilihan yang diberikan Revian.
"Maaf, Pak Revian. Tetapi keperawanan saya tidak akan pernah saya serahkan begitu saja tanpa ada ikatan pernikahan!" tolak Sheila dengan suara bergetar.
"Kalau begitu bersiaplah berhadapan dengan proses hukum. Asal kamu tahu, aku tidak akan segan menuntutmu dengan hukuman berat," jawab Revian dengan nada mengancam.
Namun, Sheila juga tidak mau menyerah begitu mudah. Jika memang harus mengorbankan hal paling berharga di dalam hidupnya itu, ia tidak mau berkorban tanpa mendapatkan apa pun selain bebas dari tuntutan hukum.
"Keperawanan saya sangat berharga, Pak. Inilah satu-satunya yang membuat diri saya merasa bernilai saat ini, yang membuktikan bahwa saya bukan wanita murahan. Bahkan dengan kekasih sekalipun, saya tidak pernah memiliki niat untuk melakukan hubungan itu sebelum menikah. Jadi ... kalau Anda menginginkan keperawanan saya ini ... nikahi saya terlebih dahulu!" ucap Sheila dengan tegas.
Revian berdecak dengan nada mencemooh.
"Aku tidak perlu menikah jika hanya untuk meniduri perempuan. Banyak perempuan di luar sana yang rela aku tiduri dengan cuma-cuma, mengapa harus repot? Lagi pula apa istimewanya milikmu itu sampai aku harus menikahimu?"
Di depan lelaki itu, ia membuka pakaian dalamnya lalu memperlihatkan miliknya yang memang istimewa.
Lelaki itu terpana, lalu dengan gugup bertanya, "Apakah kau yakin sudah berusia dua puluh lima tahun? Mengapa milikmu bisa mulus seperti bayi begini?"
Hans generasi ke tiga penerus keluarga kaya raya Adalrich. Dia nyaris sempurna tanpa cela. Wajah tampan dengan postur tubuh bak model. Namun, tak seorang pun tahu jika dirinya mengidap gangguan psikologis yang membuatnya merasa jijik setiap kali berada di dekat perempuan. Untuk menyembunyikan aib dirinya, Hans bersikap dingin dan angkuh terhadap wanita. Hingga suatu saat Hans bertemu dengan Sashenka, gadis muda putri tunggal pesaing bisnis keluarganya. Untuk pertama kalinya Hans merasa hatinya bergetar dan hasrat kelelakiannya menggeliat. Di tengah permusuhan keluarga mereka, mampukah Hans memperjuangkan cintanya pada Sashenka?
Zain, seorang pengusaha terkenal yang terlihat muda di usianya yang mendekati empat puluh. Ia adalah seorang pria yang nyaris sempurna tanpa cela. Namun, tidak seorang pun yang tahu. Lima tahun yang lalu pasca menyaksikan pengkhianatan istrinya, Zain mengalami kecelakaan tragis. Dampak kecelakaan itu ia mengalami disfungsi seksual. Demi harga dirinya, Zain menjaga aib itu rapat-rapat. Namun, hal itu dimanfaatkan Bella untuk berbuat semena-mena. Kecewa karena Zain tidak mampu memberinya kepuasan, Bella bermain gila dengan banyak pria. Zain tidak berkutik, hanya bisa pasrah karena tidak ingin kekurangan dirinya diketahui oleh orang banyak. Namun, semuanya berubah saat Zain mengenal Yvone, gadis muda yang mabuk di kelab malam miliknya. Untuk pertama kalinya, Zain kembali bergairah dan memiliki hasrat kepada seorang wanita. Namun, Yvone bukanlah gadis sembarangan. Ia adalah kekasih Daniel, anak tirinya sendiri. Mampukah Zain mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Anne mengikuti kontrak tertentu: dia akan menikah dengan Kevin dan melahirkan anaknya pada akhir tahun. Kalau tidak, dia akan kehilangan semuanya. Namun, itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Menghadapi penghinaan hari demi hari, dia sudah kehabisan kesabaran. Kali ini, dia tidak mau menyerah. Pada hari kecelakaan Kevil, Anne mengorbankan dirinya untuk menyelamatkannya. Meskipun dia hidup, dia akan segera menghilang di hadapan dunia. Nasib mereka terikat sekali lagi setelah bayi mereka tumbuh. Anne mungkin telah kembali kepadanya, tetapi dia bukan lagi wanita yang sedang mengejar cinta Kevin. Sekarang, Anne siap berjuang untuk putranya.
Cerita ini hanya fiksi belaka. Karanga author Semata. Dan yang paling penting, BUKAN UNTUK ANAK2. HANYA UNTUK DEWASA. Cinta memang tak pandang tempat. Itulah yang sedang Clara rasakan. Ia jatuh cinta dengan ayah tirinya sendiri bernama Mark. Mark adalah bule yang ibunya kenal saat ibunya sedang dinas ke Amerika. Dan sekarang, ia justru ingin merebut Mark dari ibunya. Gila? Tentu saja. Anak mana yang mau merebut suami ibunya sendiri. Tapi itulah yang sekarang ia lakukan. Seperti gayung bersambut, Niat Clara yang ingin mendekati Mark diterima baik oleh pria tersebut, apalagi Clara juga bisa memuaskan urusan ranjang Mark. Akankah Clara berhasil menjadikan Mark kekasihnya? Atau lebih dari itu?
Kesalahan satu malam, membuat semuanya menjadi hancur lebur. Miranda berawal hanya bersenang-senang saja, tapi sialnya malah dia terjebak malam panas dengan Athes Russel. Hal yang membuatnya semakin kacau adalah pria itu merupakan teman bisnis ayahnya sendiri. “Kita bertemu lagi, Miranda,” bisik Athes serak seraya memeluk pinggang Miranda. Miranda mendorong tubuh Athes keras. “Shit! Menjauh dariku, Jerk!” Athes terkekeh sambil membelai rahang wanita itu. “Bagaimana bisa aku melupakanmu? You’re so fucking hot.” *** Follow me on IG: abigail_kusuma95 (Informasi seputar novel ada di IG)
Ketika Nadia mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu Raul tentang kehamilannya, dia tiba-tiba mendapati pria itu dengan gagah membantu wanita lain dari mobilnya. Hatinya tenggelam ketika tiga tahun upaya untuk mengamankan cintanya hancur di depan matanya, memaksanya untuk meninggalkannya. Tiga tahun kemudian, kehidupan telah membawa Nadia ke jalan baru dengan orang lain, sementara Raul dibiarkan bergulat dengan penyesalan. Memanfaatkan momen kerentanan, dia memohon, "Nadia, mari kita menikah." Sambil menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis, Nadia dengan lembut menjawab, "Maaf, aku sudah bertunangan."
Dia seperti dewa penjaga dalam hidup nya, selalu ada untuk dirinya baik di saat suka maupun duka, kesan pertama saat mommy nya memperkenalkan laki-laki tersebut sebagai calon Daddy tiri nya dia bahagia, setidaknya ada sosok lain yang akan menjaganya hingga akhir juga melindungi mommy nya dan membuat mereka aman dari gangguan orang-orang disekitar tapi bagaimana jika kebahagiaan setelah pernikahan mommy nya dan laki-laki tersebut berubah karena sebuah tragedi berdarah?. Pada akhirnya dia harus ikut laki-laki tersebut dan tinggal dengan nya dalam jutaan pertimbangan keluarga, dan siapa sangka malaikat berwajah tampan tersebut sangat pandai menjebak nya yang lugu dan polos, dalam rasa ketidak tahuan dari awalnya pelukan, curi-curi ciuman, tidur di kamar dan kasur yang sama hingga tangan-tangan kokoh dan hangat tersebut mulai bergerak nakal menggoda nya dalam rayuan mulut seorang malaikat penjaga. Masa SMA dalam kepolosan nya, dimanfaatkan sang daddy tiri secara halus dan perlahan menjadikan dia satu-satunya gadis yang terus berada di bawah Cengkraman Daddy nya tersebut. Dan hubungan daddy anak tersebut berubah menjadi hubungan terlarang di belakang semua orang.