/0/3072/coverbig.jpg?v=55e5a9be0aa5519cd256eece150238b6)
Remaja kesepian ditinggal orang tua yang sibuk bekerja itu menjadi suatu masalah besar. Seperti itu yang dirasakan Sassy. Namun, setelah kehadiran Tio yang dibawa papanya dari Kalimantan, Sassy memiliki teman yang menemani kesepiannya. Apa jadinya jika dia sudah merasa nyaman hingga lupa segala aturan. Tio membagi hasrat dan dia pun menyambut. Segalanya semakin rumit saat mengungkapkan kebenaran tentang Tio. Apa yang akan Sassy lakukan untuk jalan hidupnya yang rumit?
Hari ini ulang tahunku yang ke delapan belas. Hadiah yang sangat aku dambakan adalah kehadiran Papa. Sudah setahun Papa mengurus proyek di Kalimantan. Semalam Papa menelepon akan pulang pagi hari ini. Namun, hingga hari menjelang sore, sosok yang dinantikan kehadirannya belum juga tampak.
Aku berjalan mondar mandir dari ruang TV ke teras. Berbagai kemungkinan terlintas dalam pikiranku. Mungkin Papa batal datang. Atau, pesawat yang ditumpangi Papa mengalami masalah. Tidak! Semoga itu tidak terjadi.
Sudah hampir jam lima sore, tapi Mama tidak ikut cemas sepertiku. Mama duduk di depan TV menyaksikan drama India di salah satu TV swasta. Sepertinya artis-artis berwajah tampan itu lebih berarti dari kehadiran papa.
"Daripada mondar mandir, mending ke kamar dan tidur. Mungkin Papa batal datang," ujar Mama santai.
"Mama nggak cemas? Kalau Papa batal datang gara-gara ditahan istri mudanya, gimana coba?"
Mama memukul kepalaku dengan remote yang dipegangnya. Padahal aku hanya bercanda. Mama memang tidak bisa diajak bercanda jika menyangkut istri muda.
"Sassy ke kamar. Kalau papa batal datang, Sassy tak akan memaafkannya." Aku melangkah naik ke lantai dua. Kubuka pintu kamar dan segera menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Semoga papa tidak seperti lagu dangdut yang sering dinyanyikan Bi Ina-Bang Toyib.
Aku mengambil ponsel, lalu menyumbat telinga dengan earphone. Lagu-lagu ceria menjadi pilihanku untuk mengusir kegalauan memikirkan Papa. Mataku terpejam, kepala bergoyang-goyang mengikuti irama.
Beberapa menit kemudian, pipiku ditepuk pelan oleh telapak tangan yang kasar. Aku membuka mata dan menemukan Papa sedang tersenyum hangat. Kulepaskan earphone dan membuangnya sembarangan. Aku bangun dan memeluk laki-laki paruh baya kesayanganku.
"Papa membuatmu cemas?" tanya Papa setelah aku melepas pelukan. Keningku dikecup.
"Sassy pikir Papa batal datang."
"Papa sengaja." Aku menyipitkan mata. Papa memencet hidungku. "Turun, yuk! Ada hadiah untuk putri Papa yang pesek."
Hidungku tidak pesek. Papaku suka mengatakan sesuatu hal yang berkebalikan. Badanku kurus dibilang gemuk. Rambutku lurus dipanggil kribo. Pipiku tirus dikata tembem. Papa memang aneh.
Papa merangkul bahuku dan melangkah ke ruang tamu. Di sana sudah ada seorang laki-laki yang berdiri membelakangi kami. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Dia sedang memandangi lukisan keluargaku yang terpajang di dinding.
"Tio!" Papa memanggilnya pelan. Dia menoleh. "Ini Sassylia, putri saya."
"Hai!"
Dia mengulurkan tangan sambil tersenyum, tapi aku tak menyambut uluran tangannya. Bukan sok alim, tapi pesonanya membuatku lupa berkedip dan menyapa. Bagaimana aku bisa berkedip, jika makhluk Tuhan di depan ini teramat memesona. Mata cokelat terangnya mengingatkan aku pada seseorang, tapi tidak tahu siapa. Aku juga tidak peduli. Hidungnya terlalu mancung untuk ukuran orang Indonesia, mungkin dia berdarah campuran. Cambang halus di rahangnya yang kokoh. Lalu, bibirnya... Astaga! Kenapa pikiranku jadi mesum saat melihat bibirnya? Terbayang kiss scene dalam drama Korea
Apa dia hadiah ulang tahunku? Oh, Tuhan! Kembalikan kesadaranku. Aku memang tergiur oleh pesonanya, tapi kalau dia merupakan hadiah ulang tahun, mungkin Papa sudah gila. Papa tidak mungkin menjodohkan aku dengan laki-laki ini. Lalu, aku akan dinikahkan dengannya setelah tamat dari SMA. Oh, tidak! Aku tidak suka kisah cintaku muluk seperti itu.
Lamunanku buyar saat papa menarik tanganku dan duduk di sampingnya. Laki-laki itu juga ikut duduk di sofa lain yang berhadapan dengan kami. Senyuman tak lagi menghiasi bibirnya. Aku menarik napas, lalu merunduk. Apa kelakuanku barusan membuatnya enek? Semoga saja tidak.
"Silakan!"
Aku mendongak melihat Mama yang meletakkan dua cangkir di atas meja. Ini kebiasaan Mama, tidak pernah mengizinkan Bi Ina membuat teh untuk Papa. Setelah itu Mama ikut duduk di sampingku.
Papa mengambil teh menyuruputnya. Begitu pun laki-laki itu. Lalu, Papa mengusap punggung tanganku. Aku dapat mendengar tarikan napasnya yang berat.
"Apa Mama dan Sassy setuju jika Tio tinggal di sini?" tanya papa.
"Dia tinggal bareng kita, Pa?" tanyaku riang. Itu artinya aku bisa melihatnya tiap hari. Aku menggigit bagian bawah. Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
"Dia akan tinggal jika kalian setuju. Papa tidak maksa."
"Aku setuju," jawabku cepat. Tapi ... "Arrght!!!" Aku mengusap paha yang baru dicubit mama.
"Kenapa harus tinggal di sini?" tanya Mama tanpa peduli padaku yang memandang kesal padanya.
"Wasiat neneknya. Dia tidak punya keluarga lagi. Selama di sana, neneknya selalu baik pada Papa. Kalau Mama tidak setuju, izinkan dia menginap malam ini saja. Besok Papa akan bantu dia cari tempat tinggal."
"Bukan gitu, Pa. Dia laki-laki, sedangkan Papa tidak bersama kami di sini." Mama memberi alasan yang masuk akal. Apa kata tetangga nanti.
"Papa tidak kembali lagi ke Kalimantan. Proyek di sana sudah selesai."
Mataku melebar. Aku memeluk Papa dan berteriak gembira. Mama kembali mencubitku, kali ini pinggang yang jadi korban.
"Apaan sih, Ma? Ini hadiah ulang tahun yang paling indah. Jangan melarang Sassy berbahagia. Oke?" ujarku tanpa melepas pelukan.
"Papa masih punya hadiah yang lain." Papa melepas pelukanku dan mengambil sesuatu dalam dompetnya. "Nih! Kunci mobil."
"Sassy belum bisa nyetir dan belum ada SIM" Aku menerima kunci dengan bibir cemberut. Bukankah selama ini papa selalu melarangku belajar menyetir. Katanya tidak akan mengizinkan aku menyetir, tapi kenapa memberi hadiah mobil. Mungkin setahun di Kalimatan membuatnya mengubah keputusan.
"Papa tidak mengizinkanmu menyetir sendiri. Inilah fungsi Tio di sini. Dia akan selalu mengantar kemana pun kau pergi."
Astaga!
"Maksud Papa dia jadi sopir di sini?" Papa malah menjewer telingaku. Apa yang salah dengan pertanyaanku? Kalau dia yang menyetir berarti dia sopir, kan? Kenapa Papa menjewer telingaku.
"Papa sudah anggap dia seperti anak sendiri. Itu artinya dia kakakmu."
"Oke." Kakak ketemu besar bisa dipacarin, kan? Aku melihat ke arah laki-laki itu. Dia menyunggingkan senyuman tipis.
"Jadi, gimana? Apa Mama masih keberatan?" tanya Papa pada Mama lagi. Semoga Mama setuju. Kalau pun mama tidak setuju malam ini, aku akan merayunya nanti. Apa pun caranya, Mama harus setuju laki-laki itu tinggal di sini. Dan, anggukan kepala Mama membuatku berbinar.
Besok aku pasti jadi pusat perhatian di sekolah. Teman-teman yang centil akan iri padaku. Di depan Papa aku pasti menganggapnya sebagai kakak, tapi bersama teman-teman akan kukenalkan sebagai tunangan. Dan, dia harus menurutiku. Bagaimana pun caranya nanti.
"Sekarang kamu antar dia ke kamar di samping kamarmu. Lalu, kalian bersiap-siap kita akan makan malam di luar."
Aku berdiri dan mengajak laki-laki itu. Dia berdiri dan menyeret kopernya mengikuti langkahku. Kami naik ke lantai dua dalam diam. Apa dia pendiam, ya? Okelah, aku yang akan agresif kalau dia hanya diam. Tiba di depan kamar, aku membuka pintunya dan menyilakan dia masuk. Aku tetap berdiri di samping pintu. Dia melangkah mendekat, lalu menarik tanganku masuk ke dalam kamar.
Dadaku bergemuruh. Mataku terbelalak, tak percaya dengan sikapnya yang tak terduga. Padahal aku pikir dia pendiam dan pemalu. Nyatanya, dia berani menarikku. Sepertinya aku telah tertipu oleh pesonanya. Lihatlah sekarang, dia malah memojokkanku. Kedua tangannya menumpu di dinding, mengunci pergerakanku. Matanya memandangku tajam.
"Kau terpesona denganku?" tanyanya bangga. Aku hanya mampu menelai air liur. Aku tak sanggup berkata-kata dengan jarak wajah sedekat ini. Napasnya terdengar jelas di telingaku. "Wajahku memang layak dipandang hingga liurmu merembes."
Aku mendorong dadanya, tapi ia bergeming. Ini di luar kemungkinan yang aku pikirkan. Dia ternyata lebih percaya diri dari yang aku bayangkan.
"Aku mau mandi. Seharusnya kamu juga." Sekali lagi aku mencoba mendorongnya.
"Baiklah!" Dia meniup wajahku. Aku meremang. "Kita lanjutkan setelah wangi."
Dia membukakan pintu dan menyilakan aku keluar. Saat aku melangkah keluar, dia meremas pantatku. Aku berbalik ingin menamparnya, tapi dia sudah menutup pintu. Oke, aku cabut semua perkataan tadi. Dia memang tampan, tapi kelakuannya munafik. Bagaimana mungkin dia begitu pendiam di hadapan Papa, lalu berubah menjadi laki-laki mesum saat sendiri. Tuhan, lindungi aku. Mungkin besok hari-hariku akan suram. Aku memang menginginkannya, tapi bukan seperti ini.
Bagi Sella Wisara, pernikahan terasa seperti sangkar yang penuh duri. Setelah menikah, dia dengan bodoh menjalani kebidupan yang menyedihkan selama enam tahun. Suatu hari, Wildan Bramantio, suaminya yang keras hati, berkata kepadanya, "Aisha akan kembali, kamu harus pindah besok." "Ayo, bercerailah," jawab Sella. Dia pergi tanpa meneteskan air mata atau mencoba melunakkan hati Wildan. Beberapa hari setelah perceraian itu, mereka bertemu lagi dan Sella sudah berada di pelukan pria lain. Darah Wildan mendidih saat melihat mantan isrtinya tersenyum begitu ceria. "Kenapa kamu begitu tidak sabar untuk melemparkan dirimu ke dalam pelukan pria lain?" tanyanya dengan jijik. "Kamu pikir kamu siapa untuk mempertanyakan keputusanku? Aku yang memutuskan hidupku, menjauhlah dariku!" Sella menoleh untuk melihat pria di sebelahnya, dan matanya dipenuhi dengan kelembutan. Wildan langsung kehilangan masuk akal.
Kesalahan satu malam, membuat semuanya menjadi hancur lebur. Miranda berawal hanya bersenang-senang saja, tapi sialnya malah dia terjebak malam panas dengan Athes Russel. Hal yang membuatnya semakin kacau adalah pria itu merupakan teman bisnis ayahnya sendiri. “Kita bertemu lagi, Miranda,” bisik Athes serak seraya memeluk pinggang Miranda. Miranda mendorong tubuh Athes keras. “Shit! Menjauh dariku, Jerk!” Athes terkekeh sambil membelai rahang wanita itu. “Bagaimana bisa aku melupakanmu? You’re so fucking hot.” *** Follow me on IG: abigail_kusuma95 (Informasi seputar novel ada di IG)
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Rumornya, Laskar menikah dengan wanita tidak menarik yang tidak memiliki latar belakang apa pun. Selama tiga tahun mereka bersama, dia tetap bersikap dingin dan menjauhi Bella, yang bertahan dalam diam. Cintanya pada Laskar memaksanya untuk mengorbankan harga diri dan mimpinya. Ketika cinta sejati Laskar muncul kembali, Bella menyadari bahwa pernikahan mereka sejak awal hanyalah tipuan, sebuah taktik untuk menyelamatkan nyawa wanita lain. Dia menandatangani surat perjanjian perceraian dan pergi. Tiga tahun kemudian, Bella kembali sebagai ahli bedah dan maestro piano. Merasa menyesal, Laskar mengejarnya di tengah hujan dan memeluknya dengan erat. "Kamu milikku, Bella."
Cerita ada adengan dewasa harap pengertian bagi pembaca Satria seorang pensiunan tentara yang sekarang meneruskan bisnisnya yang bergerak dalam bidang jasa pembangunan. satria yang memiliki keluarga bahagia dan di kenal sosok yang alim harus terjebak dalam birahi nafsu di puber keduanya, dan perjalan kisah yang tidak di sangka yang akan terjadi pada dia dan orang sekitarnya termasuk keluarganya