/0/2863/coverbig.jpg?v=f6b049065f2ef378a9882edea50e9ebc)
Chika berharap pernikahannya akan bertahan seumur hidup, nyatanya Irsan tega menceraikan Chika, atas permintaan ibunya. Sakit hati dan terluka, berniat balas dendam justru Chika kecantol ayah tiri mantan suaminya. Bagaimana perjalanan cinta mereka?
Menantu Menjadi Madu 1
"Ceraikan dia Irsan!" teriak mertuaku lantang, meluapkan amarahnya padaku.
Rasanya seperti disambar petir disiang hari, meski ini bukan pertama kalinya Ibu mertuaku mengucapkannya, tapi kali ini rasanya sangat melukai hatiku.
Aku hanya bisa menatap nanar mertuaku, tajam sekali lidahnya, seolah kata-kata yang keluar dari bibirnya, adalah hal biasa.
"Lihat apa yang dia lakukan, Irsan! Menumpahkan sup di pangkuanku! Pakaianku jadi kotor begini, dasar bo doh! Tidak becus melakukan apa pun, percuma kamu peristri perempuan go-blok dan mandul ini!" Netra wanita itu menatapku nyalang, seolah aku mangsa yang harus segera diterkam.
Ibu mertuaku semakin berapi-api memakiku, seolah aku ini hanya seonggok daging tanpa perasaan, yang tak bisa merasakan sakit hati, dan tidak pantas dihargai.
Mudah sekali mulutnya memaki, harusnya dia introspeksi diri. Bagaimana aku bisa hamil, kalau setiap hari dibebani pekerjaan yang tak ada habisnya. Belum lagi sikap ketusnya yang membuatku senewen.
Dan parahnya lagi Mas Irsan, suamiku. Tak pernah berusaha, atau melakukan sesuatu untuk membelaku. dia hanya bisa menurut saja perintah Ibunya.
Kalau bukan statusnya sebagai mertua, sudah aku remas mulut jahatnya. Tidak bisa kah dia bersikap baik padaku? Dia sudah seperti Wewe Gombel saja, bisanya marah-marah.
"Iya Bu...iya...sekarang Ibu istirahat saja dulu ya? Biar Chika, yang beresin semuanya," ucap Mas Irsan lesu, dia membersihkan sup yang menempel di pangkuan Ibu tercintanya itu.
"Kamu itu terlalu lunak sama istrimu, lihat! berbulan-bulan tinggal di sini sikapnya tidak berubah sama sekali, suka seenaknya sendiri." Sekali lagi, Ibu mencelaku.
Ibu, tak henti-hentinya menyalahkanku, padahal kalau saja dia tidak berulah, pasti kekacauan ini tidak akan terjadi.
Tuhan...rasanya ingin kutampar mulut perempuan setengah baya itu, kalau saja tidak takut dosa.
Sudah setahun aku menikah dengan Mas Irsan, selama itu pula dia memusuhiku, dan mencari-cari kesalahanku, entah apa salah dan dosaku padanya, hingga dia begitu membenciku.
Tadi dia minta dibuatkan sup ayam, dia minta mericanya dibanyakin, karena merasa kurang enak badan, dan aku buatkan. Meski pekerjaan yang lain belum kuselesaikan.
Dia memintaku mengantar sup kekamar, pun aku antarkan. Bahkan dengan suka rela aku menyuapinya, tapi apa balasannya untuk ku?
"Sup macam apa ini! rasanya membakar mulut! kamu kasih racun ya! biar aku cepat mati!" ucapnya saat mencicipi, lalu sup yang sudah masuk mulutnya itu pun disemburkan kemukaku.
"Brrtt..." Sup di mulut Bu, berpindah ke wajahku.
"Kan Ibu yang pesen, mau sup yang banyak ladanya, mau disajikan hangat-hangat," ucapku lembut, sambil mengelap mukaku dengan punggung tangan, mencoba menurunkan emosinya, meski sebenarnya amarah sedang menguasai hatiku.
Tiba-tiba mangkuk sup yang kupegang dia tepis, hingga jatuh kepangkuannya, kemudian menggelinding ke lantai dan pecah. Jadilah keadaan lantai kamar Ibu mertuaku penuh tumpahan sup, dan pecahan mangkuk.
Lalu tiba-tiba Mas Irsan masuk, mungkin karena mendengar kegaduhan. Dan seperti biasa, Ibu membuat drama, seolah aku yang salah, dan Mas Irsan percaya begitu saja.
"Chika cepat kamu bersihkan, kamu itu selalu saja begitu, kerja nggak pernah beres," hardik Mas Irsan, dia menatapku tidak suka.
"Mas, ini bukan salahku. Ibu sengaja menepis mangkuk sup yang kupegang. Lihat! Ibu sengaja menyemburkan sup yang sudah dia makan kemukaku," ucapku membela diri.
Jari ini menunjuk wajahku sendiri, agar dia tahu, apa yang sudah dilakukan ibunya.
"Heh! kamu bilang apa? kamu memang menantu kurang ajar, berani memfitnah mertua." Bukannya merasa bersalah, amarah Ibu mertuaku justru makin menjadi-jadi.
"Sudah! Chika, cepat kamu bersihkan kamar Ibu! Pusing kepalaku! tiap hari mendengar kamu ribut terus sama Ibu!" bentak Mas Irsan.
Ini yang kubenci dari Mas Irsan, dia selalu membela Ibu dan tak pernah menghargai perasaanku, sebagai istrinya. Aku jadi merasa seperti babu.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun aku pergi meninggalkan kamar itu, menuju kamarku sendiri. Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur, menangis sejadinya. Meluapkan segala sesak di dada.
"Chika, kamu harusnya lebih sabar menghadapi Ibu, bukan malah membalas semua ucapannya," ucap Mas Irsan lembut, rupanya dia langsung menyusulku ke kamar. Mas Irsan duduk di tepi ranjang, tangannya mengelus pelan punggungku.
"Kurang sabar apa Mas? Aku sudah mengalah terus, meski semua yang ku lakukan tidak ada yang benar," ucapku sesenggukan.
"Sabarlah Chika...."
"Sabar! Sabar! Sabar terus! Aku capek Mas! Percuma aku bersabar, kalau ibumu selalu saja mencari-cari kesalahanku!" raungku.
Aku keluarkan semua unek-unek yang lama kusimpan di dada ini, memang tidak merubah apapun, tapi setidaknya aku merasa sedikit lega.
"Lalu aku harus bagaimana? Dia Ibuku, tidak mungkin aku memarahinya, dosa," ucapnya sendu.
"Ya, kalau menyakiti hatiku itu tidak dosa, memang hanya aku yang pantas dimarahi Mas," aku bangkit dari ranjang, berjalan menuju lemari pakaian, dan mengemasi seluruh pakaianku.
"Chika, apa yang kamu lakukan?" Mas Irsan menahan lenganku.
"Sudahlah Mas, aku capek, aku nggak sanggup lagi tinggal di rumah yang sudah seperti neraka ini." Aku melepaskan tangan Mas Irsan.
"Kamu mau pulang kerumah Papa?" tanya Mas Irsan, dan kujawab dengan anggukkan.
"Kalau Papa tanya bagaimana? Apa Papa nggak sedih melihat kamu pulang sendiri? Papa pasti mengira kita sedang bertengkar," tanya Mas Irsan lagi.
"Lebih baik begitu Mas. Biar Papa tahu, kalian sudah berlaku tidak adil padaku," sindiran.
"Hhh..." Mas Irsan menghirup nafas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
"Aku tidak bisa meninggalkan Ibu, hanya aku yang dia punya," ucap Mas Irsan frustasi.
"Masih ada Ayah, kan?" selaku.
"Kamu tahu sendiri bagaimana sikap, Ayah. Dingin, dia hidup di duniannya sendiri," Mas Irsan menundukan kepala, aku tahu berat untuknya, jika harus memilih antara istri atau ibunya.
"Lalu aku yang harus berkorban, begitu?" tanyaku tajam.
"Lalu aku harus bagaimana?" tanyanya lesu.
"Tidak bisakah kamu bersikap tegas, Mas? Kamu sudah punya istri, punya tanggung jawab sendiri," tukasku.
"Aku tahu, tapi aku tidak tega meninggalkan Ibu sendiri." Entah sudah dah berapa kali Mas Irsan berkata seperti ini. Sampai kapan dia terus bersembunyi dibalik ketiak ibunya.
"Aku tunggu di rumah Papa, jika dalam waktu satu bulan kamu tidak menyusulku, aku anggap kamu sudah menceraikanku, dan aku akan menggugatmu kepengadilan," ucapku.
kemudian berlalu meninggalkan kamar ini, kamar yang menjadi tempat kami memadu kasih sepuluh bulan terakhir ini.
Meskipun terasa berat mengambil keputusan ini, Aku yakin ini yang terbaik, lelah hati, terus-menerus di sakiti, walau masih ada cinta di dada, biarlah untuk sementara kita berpisah.
Semoga Mas Irsan bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk masa depan, pernikahan kami berdua.
Bersambung.....
Yuk di krisan.
Demi menutup aibku, aku menikah dengan salah seorang karyawan Papa. Awalnya aku tidak bisa menerima, karena kami beda kasta. Tapi sikap dinginnya justru membuatku tertantang, sulit memang, karena dia laki-laki setia yang tidak mudah berpaling dari wanitanya. Tapi aku tidak akan menyerah, aku akan melakukan segala cara untuk menaklukannya. Karena aku jatuh cinta.
Hesti punya suami yang pelitnya na'uzubillah, jangan memberi uang nafkah untuk istri, urusan belanja saja dia beli sendiri. Jangankan uang untuk beli skincare, uang pegangan sama dia tak ada. Bahkan gajinya dikuasi suaminya. Bagaimana akhir kisah si Pelit Pramono? Baca sampai tamat ya?
Wanita yang ku nikahi ternyata serakah, dia tidak hanya ingin mengusai hartaku, tapi juga hidupku. Tapi semua kusadari setelah aku kehilangan segalanya.
Hati Melani gundah gulana, pacarnya diam-diam menikahi gadis lain. Parahnya lagi, Robin tak mau melepaskan Melani begitu saja. Dalam pelariannya menghindari Robin, Melani bertemu Yudha, dosen tampan mirip Aldebaran. Tapi sayang sang dosen ganteng ini juteknya minta ampun. Siapakah yang akan bersanding dengan Melani akhirnya? Robin atau Yudha.
Lima tahun setelah bercerai, aku kembali dipertemukan dengan mantan istriku, Uma. Dia sudah bermertamorfosa menjadi wanita cantik dan sukses, dokter kandungan sekaligus direktur rumah sakit swasta di kotaku. Penyesalan menghantui hidupku, melihat Uma dan anak-anakku. Salahkah aku berharap bisa kembali bersatu dengan mereka?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
“Usir wanita ini keluar!” "Lempar wanita ini ke laut!” Saat dia tidak mengetahui identitas Dewi Nayaka yang sebenarnya, Kusuma Hadi mengabaikan wanita tersebut. Sekretaris Kusuma mengingatkan“Tuan Hadi, wanita itu adalah istri Anda,". Mendengar hal itu, Kusuma memberinya tatapan dingin dan mengeluh, “Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?” Sejak saat itu, Kusuma sangat memanjakannya. Semua orang tidak menyangka bahwa mereka akan bercerai.
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Pelan tapi pasti Wiwik pun segera kupeluk dengan lembut dan ternyata hanya diam saja. "Di mana Om.. ?" Kembali dia bertanya "Di sini.." jawabku sambil terus mempererat pelukanku kepadanya. "Ahh.. Om.. nakal..!" Perlahan-lahan dia menikmati juga kehangatan pelukanku.. bahkan membalas dengan pelukan yang tak kalah erat. Peluk dan terus peluk.. kehangatan pun terus mengalir dan kuberanikan diri untuk mencium pipinya.. lalu mencium bibirnya. Dia ternyata menerima dan membalas ciumanku dengan hangat. "Oh.. Om.." desahnya pelan.
BERISI ADEGAN HOT++ Seorang duda sekaligus seorang guru, demi menyalurkan hasratnya pak Bowo merayu murid-muridnya yang cantik dan menurutnya menggoda, untuk bisa menjadi budak seksual. Jangan lama-lama lagi. BACA SAMPAI SELESAI!!