Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / MENGGODA PRIA DINGIN
MENGGODA PRIA DINGIN

MENGGODA PRIA DINGIN

5.0
3 Bab
8 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Menikahi pria tampan dan kaya? Kedengarannya seperti mimpi-sampai kamu sadar pria itu dingin, tak tersentuh, dan menganggapmu hanya alat untuk memenuhi syarat wasiat keluarga. Alesha tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis saat dijodohkan dengan Alvaro Mahendra-CEO muda yang sinis, penuh kontrol, dan tak percaya pada cinta. Tapi yang lebih gila lagi? Ia justru tergoda untuk menjinakkan pria itu. Alvaro bisa bersikap dingin di siang hari, tapi malam hari menceritakan kisah yang berbeda. Sentuhan panas, tatapan penuh hasrat yang tak pernah ia akui, dan batas-batas yang mulai kabur antara pura-pura dan nyata. Namun di balik godaan yang membakar itu, ada rahasia kelam yang siap menghancurkan segalanya. Bisakah Alesha menaklukkan pria dingin itu, atau justru ia yang akan terbakar oleh permainannya sendiri?

Bab 1 Tanda Tangan Neraka

Tiga detik setelah Alesha menandatangani surat pernikahan, pria yang kini resmi menjadi suaminya menatapnya lurus-lurus dan berkata:

"Mulai detik ini, jangan pernah tidur di ranjangku."

Tangannya yang masih memegang pena sempat gemetar. Ia menatap nama "Alvaro Mahendra" yang tertera rapi di atas kertas-legal, sah, dan tak bisa ditarik kembali. Tapi ucapan barusan... seolah menamparnya di tengah ruangan yang seharusnya jadi awal kebahagiaan.

Ia menatap pria di hadapannya. Dingin. Tampan dengan cara yang tajam dan mematikan. Pakaian formalnya nyaris tanpa cela, tapi yang membuat Alesha nyaris tak berkutik adalah sorot mata itu-gelap, tak memberikan ruang untuk kelembutan.

"Apa maksudmu?" tanyanya pelan, mencoba tetap tenang.

Alvaro bersandar santai di kursinya. "Kita sudah menikah, ya. Tapi jangan salah paham. Aku tidak mencintaimu, tidak akan menyentuhmu, dan tidak akan membiarkanmu menyentuh hidupku."

"Tapi ini-"

"Kontrak," potongnya cepat. "Tiga tahun. Pura-pura. Setelah itu cerai. Kau dapat uang, aku dapat warisan. Saling diuntungkan. Jangan berani berharap lebih."

Alesha menarik napas. Ia tahu pria ini dingin, tahu pernikahan ini bukan mimpi indah. Tapi tetap saja... mendengarnya secara langsung seperti dicekik pelan-pelan.

Ia tersenyum. Tipis. Menantang.

"Tenang saja, Tuan Mahendra. Aku tidak pernah tertarik tidur dengan patung es."

Alvaro menaikkan satu alis. "Bagus. Karena aku juga tidak suka menyentuh sesuatu yang mudah terbakar."

Dan begitulah awal dari neraka yang disetujui Alesha dengan tandatangannya sendiri.

---

Setelah akad, tidak ada peluk mesra, tidak ada senyum cinta. Hanya sesi foto yang dipaksakan, senyum palsu untuk media, dan genggaman tangan yang lebih dingin dari hujan di puncak gunung.

Mobil pengantin meluncur pelan di jalan tol. Alesha duduk di dalam, mengenakan gaun putih yang terlalu indah untuk dipakai dalam pernikahan tanpa perasaan.

"Aku punya beberapa aturan," kata Alvaro tanpa menoleh. Matanya fokus ke jalan. "Satu: jangan ganggu urusan pribadiku. Dua: jangan bawa-bawa perasaan. Tiga: tetap jaga image kita di depan umum. Kau ngerti?"

"Dan kalau aku melanggar?" Alesha melirik dengan nada setengah menggoda.

Alvaro menoleh sejenak. "Aku bisa membuatmu menyesal sampai akhir hidup."

Alesha hanya tertawa. "Wow. Romantis sekali, Tuan Suami."

Alvaro mengalihkan pandangan. "Aku tidak bermain-main, Alesha."

Ia tahu. Dari sorot matanya saja, sudah terlihat bahwa pria ini menyimpan sesuatu yang gelap. Sesuatu yang membuatnya menjaga jarak sedingin es kutub.

Rumah Alvaro-lebih tepat disebut istana. Megah, luas, dan terlalu sepi. Pelayan berseragam berdiri di beberapa titik, menunduk saat mereka lewat.

"Ini kamarmu," kata Alvaro datar sambil menunjuk pintu di ujung koridor. "Kamarku di seberangnya. Jangan salah masuk."

Alesha berdiri di ambang pintu kamarnya. "Aku tidak mengigau waktu tidur, kalau itu yang kamu takutkan."

Alvaro menatapnya lama. "Aku takut kau mulai menikmati peran ini terlalu dalam."

Alesha membalas tatapan itu. "Dan aku takut kau berpikir kau terlalu sulit untuk dicintai."

Untuk pertama kalinya, Alvaro tidak menjawab. Hanya menatap. Dalam. Sunyi. Lalu pergi begitu saja.

---

Malam pertama mereka sebagai suami-istri seharusnya menjadi malam yang penuh hasrat. Tapi tidak malam itu.

Alesha duduk di depan meja rias, mengenakan slip satin yang nyaris transparan. Ia tahu Alvaro tak akan masuk kamarnya. Tapi bagian dari dirinya ingin tahu... sejauh mana pria itu bisa menahan diri.

Saat tengah malam, terdengar ketukan pelan di pintu.

Deg.

Alesha berjalan perlahan, membuka pintu. Alvaro berdiri di sana. Dingin. Seperti biasa. Tapi matanya... berbeda.

Ia menatap slip tipis yang dikenakan Alesha. Tatapannya turun... naik... lalu berhenti di mata Alesha.

"Ada apa?" tanya Alesha, nadanya rendah.

"Kau terlalu berisik," katanya singkat.

Alesha tertawa kecil. "Berisik? Aku tidak melakukan apa-apa."

"Dalam kepalamu."

Alesha mendekat, mengurangi jarak mereka. "Jadi kau memikirkanku malam ini, Tuan Mahendra?"

Alvaro tidak bergeming. Tapi rahangnya mengeras. Tanda ia menahan sesuatu.

"Pakai baju yang lebih sopan kalau keluar kamar. Rumah ini penuh mata."

"Mata atau telinga?" bisik Alesha.

Alvaro mendekat, nyaris menyentuh bibirnya. "Kau bermain dengan api."

Alesha menahan napas.

"Tapi jangan salah. Aku bisa membuatmu terbakar tanpa menyentuhmu sekalipun."

Dan dengan itu, Alvaro pergi. Lagi. Meninggalkan Alesha berdiri di depan pintunya dengan jantung berdebar dan kulit yang terasa seperti terbakar.

---

Dua hari kemudian, pesta makan malam keluarga besar Mahendra digelar. Semua orang penting hadir. Termasuk ibu Alvaro yang legendaris: Nyonya Mahendra.

"Kau cantik," kata wanita itu pada Alesha. "Tapi terlalu terang untuk keluarga ini."

Alesha tersenyum manis. "Mungkin keluarga ini memang butuh sedikit cahaya, Tante."

Nyonya Mahendra menyipitkan mata. "Kalau kau pikir bisa menjinakkan Alvaro... kau salah besar."

"Siapa bilang aku ingin menjinakkannya?" balas Alesha. "Aku hanya ingin tahu, apa yang ia sembunyikan di balik semua kebekuan itu."

"Dan ketika kau tahu... kau mungkin berharap tak pernah mengenalnya."

Ucapan itu membuat bulu kuduk Alesha berdiri. Tapi ia tetap tersenyum. "Aku suka kejutan."

---

Malam itu, setelah pesta usai, Alvaro berdiri di balkon, menatap langit Jakarta yang kelabu.

"Kau tidak perlu menjawab semua tuduhan ibuku," katanya pelan saat Alesha mendekat.

"Aku tidak menjawab. Aku hanya... membalikkan permainan."

Alvaro menoleh. Menatapnya dalam. "Jangan terlalu jauh, Alesha. Ini bukan permainan."

"Buatmu, mungkin tidak. Tapi bagiku, ini pertaruhan." Ia mendekat. "Dan aku benci kalah."

Alvaro tak bergerak. Tapi tubuhnya menegang saat Alesha berdiri hanya beberapa inci darinya.

"Cium aku," bisik Alesha. "Kalau kamu memang yakin kamu nggak akan jatuh."

"Jangan coba aku."

"Aku serius."

Alvaro mencengkeram lengannya. Wajah mereka begitu dekat.

"Aku bisa membuatmu ketagihan dengan satu ciuman, Alesha. Dan itu akan menghancurkanmu."

"Aku siap hancur," bisiknya.

Dan saat itu juga-Alvaro menariknya dan mencium bibirnya keras, panas, penuh dorongan yang selama ini ditahan.

Ciuman itu... bukan ciuman main-main. Itu peringatan. Dan janji sekaligus.

Saat mereka berpisah, napas mereka tersengal. Mata mereka berbenturan dalam diam yang membakar.

Tiba-tiba, ponsel Alvaro berdering. Ia melihat layar-dan wajahnya berubah.

Alesha bisa melihatnya. Rahang yang menegang, tangan yang mengepal, dan sorot mata yang mendadak gelap.

"Ada apa?" tanyanya.

Alvaro menatapnya. Wajahnya kini dingin seperti malam mereka pertama bertemu.

"Dia kembali," gumamnya.

"Siapa?"

Pria itu menatap Alesha tajam. "Wanita yang seharusnya jadi istriku."

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY