/0/21259/coverbig.jpg?v=01e549da942327acc9101de8b0486b53)
Setelah bertahun-tahun menikah, seorang istri menemukan bahwa suaminya memiliki hubungan rahasia dengan wanita lain. Namun, saat ia mulai menyusun rencana untuk meninggalkan suaminya, ia menemukan bahwa pengkhianatan ini menyembunyikan alasan yang jauh lebih kompleks.
Maya duduk sendirian di ruang tamu, menatap jam dinding yang berdetak perlahan. Pukul 11 malam, dan Arya belum pulang. Sekali lagi, ia menyebut alasan pekerjaan di telepon, tapi Maya merasa ada yang berbeda. Biasanya, Arya akan memberi tahu lebih dulu jika harus lembur. Kali ini, suaminya hanya memberikan jawaban singkat yang terasa hambar.
Maya menghela napas panjang. Ia memutuskan untuk tetap terjaga, meski kantuk mulai menyerang. Suara langkah kaki terdengar di depan pintu, diikuti oleh suara kunci yang berputar. Arya masuk dengan raut wajah lelah, tetapi Maya tahu itu bukan hanya kelelahan fisik.
"Kamu baru pulang?" Maya memulai, nada suaranya setenang mungkin.
"Iya, banyak kerjaan di kantor," jawab Arya sambil melepas sepatu tanpa menatap Maya.
"Kenapa nggak kasih tahu aku sebelumnya?" Maya mencoba mencari mata suaminya, tapi Arya sibuk membuka tas kerjanya.
"Lupa. Maaf ya."
Maya terdiam. Kata-kata Arya terdengar datar, seperti sebuah rekaman yang diputar ulang tanpa emosi.
"Arya, kamu baik-baik aja, kan?" Maya bertanya, kali ini dengan nada lebih lembut.
Arya akhirnya menoleh, memasang senyum tipis yang tidak meyakinkan.
"Aku capek, Maya. Aku mandi dulu, ya."
Tanpa menunggu jawaban, Arya melangkah ke kamar mandi, meninggalkan Maya yang masih duduk terpaku.
Malam itu, Maya tak bisa memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi tanya. Bukankah Arya selalu bercerita tentang harinya? Bukankah mereka adalah pasangan yang tak pernah menyimpan rahasia?
Esoknya, saat Maya sedang menyiapkan sarapan, ia mencoba memulai percakapan lagi.
"Mas Arya, apa ada masalah di kantor? Kamu terlihat tegang akhir-akhir ini."
Arya menggeleng sambil menyeruput kopi. "Nggak ada apa-apa kok, cuma kerjaan lagi numpuk."
"Tapi kenapa aku merasa ada yang berbeda?" Maya menatapnya tajam, mencoba membaca ekspresi wajah Arya.
"Kamu terlalu banyak mikir, Maya. Jangan khawatir, ya." Arya menepuk tangan Maya sejenak, lalu berdiri. "Aku berangkat dulu, ada meeting pagi ini."
Maya mengangguk perlahan, tetapi hatinya mulai diselimuti kekhawatiran. Tatapan Arya seperti menghindar, dan Maya merasa jarak antara mereka mulai tumbuh.
Malam harinya, Maya memutuskan untuk membersihkan kamar kerja Arya. Sebuah kebiasaan yang biasa ia lakukan ketika merasa ingin lebih dekat dengan suaminya. Namun, kali ini, tangannya berhenti di tengah tumpukan kertas di meja kerja Arya. Sebuah struk restoran jatuh dari antara dokumen-dokumen.
"Restoran ini bukan tempat dia biasanya makan siang," gumam Maya. Ia melihat tanggal di struk itu, dan hatinya mencelos. Tanggalnya cocok dengan malam Arya pulang terlambat minggu lalu.
Sebuah nama wanita tertulis di bagian bawah struk: Sinta.
"Siapa Sinta?" Maya berbisik pada dirinya sendiri, dadanya mulai terasa sesak.
Arya tiba-tiba muncul di pintu kamar kerja.
"Maya, kamu ngapain di sini?" tanyanya, suaranya terdengar tegang.
Maya menggenggam struk itu erat-erat, matanya menatap Arya penuh tanda tanya.
"Arya, siapa Sinta?" tanyanya, berusaha tetap tenang meski suaranya bergetar.
Arya terdiam sejenak, kemudian menggeleng.
"Itu cuma kolega kantor. Kamu nggak perlu khawatir."
"Kolega? Tapi kenapa kamu nggak pernah cerita tentang dia?" Maya mendesak.
Arya mendekat dan mengambil struk itu dari tangan Maya dengan lembut.
"Sudah kubilang, nggak ada apa-apa. Aku nggak mau kita berdebat soal ini, Maya. Aku capek. Aku tidur dulu, ya."
Arya berlalu tanpa menjelaskan lebih lanjut, meninggalkan Maya yang berdiri terpaku dengan hati yang mulai retak.
Maya duduk di tepi tempat tidur setelah Arya masuk ke kamar dan segera berbaring tanpa banyak bicara.
Ia menatap punggung suaminya yang sudah memunggunginya, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi spekulasi.
"Arya..." panggil Maya perlahan, hampir seperti bisikan.
Tidak ada respons. Hanya napas Arya yang terdengar.
"Aku nggak mau berpikir macam-macam, tapi... apa kamu yakin nggak ada yang perlu aku tahu?" tanyanya, sedikit lebih keras kali ini.
Arya bergerak, tetapi hanya untuk membenarkan posisi tidurnya. "Maya, sudah malam. Aku benar-benar lelah. Besok saja, ya, kalau mau ngobrol."
Jawaban itu seperti tamparan bagi Maya. Ia merasa diabaikan, seolah perasaannya tidak penting. Ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah pelan keluar kamar, membiarkan Arya sendirian.
Maya menyalakan lampu kecil di dapur dan duduk di meja makan dengan secangkir teh hangat yang kini terasa pahit. Ia membuka ponselnya, menggulir foto-foto lama saat mereka masih sering menghabiskan waktu bersama. Sebuah foto liburan mereka di Bali muncul, memperlihatkan senyum lebar Arya yang penuh cinta.
"Kapan terakhir kali kita bahagia seperti ini?" gumam Maya pelan.
Ia teringat malam-malam panjang ketika mereka bisa berbicara tentang apa saja, dari hal-hal sepele hingga impian mereka di masa depan. Tapi kini, pembicaraan mereka terasa seperti rutinitas kosong, penuh basa-basi tanpa makna.
Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk tidak langsung menyudahi semuanya. Ia ingin memastikan bahwa kecurigaannya bukan hanya sekadar perasaan berlebihan.
Maya menghubungi Karin, sahabat yang selalu ia percaya.
"Halo, Rin? Bisa ketemu sebentar? Aku butuh curhat," kata Maya, suaranya terdengar lebih tenang daripada yang ia rasakan.
"Tentu bisa! Ada apa, May? Kamu kedengarannya lagi banyak pikiran," jawab Karin dari seberang telepon.
Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Maya duduk bersama Karin, menceritakan semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir.
"Aku tahu Arya sibuk. Aku tahu pekerjaan kadang menyita waktu. Tapi, entah kenapa aku merasa... dia menjauh. Dan yang paling aneh, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu," Maya menjelaskan, menatap cangkir kopinya.
Karin mengernyitkan alis. "Kamu yakin ini bukan cuma perasaan kamu aja, May? Kadang kalau kita terlalu sayang sama seseorang, kita jadi lebih sensitif."
"Aku pikir begitu juga, awalnya," Maya menarik napas panjang. "Tapi semalam aku nemu struk restoran. Ada nama wanita di sana. Sinta."
Karin mencondongkan tubuhnya, nada suaranya menjadi lebih serius. "Sinta? Siapa dia?"
"Arya bilang dia cuma kolega. Tapi... kenapa dia nggak pernah cerita soal dia?" Maya menggeleng, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.
Karin terdiam sejenak, lalu menyentuh tangan Maya. "May, aku nggak mau kamu buru-buru mengambil kesimpulan. Kalau memang ada sesuatu yang nggak beres, kamu harus tahu kebenarannya dulu. Jangan bertindak berdasarkan asumsi."
"Tapi bagaimana caranya? Aku nggak bisa terus-terusan begini, Rin. Aku capek bertanya tanpa jawaban."
Karin berpikir sejenak, lalu berkata pelan, "Coba amati lagi, May. Kalau memang ada yang dia sembunyikan, cepat atau lambat, kamu akan menemukannya. Tapi kamu harus siap untuk menghadapi apa pun yang kamu temukan nanti."
Malam itu, Maya kembali pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia berusaha menata pikirannya, tetapi kecurigaan itu sudah menancap dalam di hatinya.
Saat Arya pulang, Maya memperhatikan setiap gerak-geriknya. Ia mencoba mencari tanda-tanda kecil-apakah Arya gugup, apakah Arya menghindari kontak mata, atau mungkin menyembunyikan sesuatu.
Tapi Arya tetap tenang, bahkan sempat menceritakan sesuatu tentang pekerjaannya di kantor.
"Hari ini banyak banget meeting. Kepala sampai pusing, May," katanya sambil meregangkan otot bahunya.
Maya hanya tersenyum tipis. "Aku masak sup favorit kamu. Mau sekarang atau nanti makannya?"
Arya menatapnya dan tersenyum kecil. "Sekarang aja, lapar banget."
Namun, di balik senyum itu, Maya merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Entah apa, tetapi ia tahu retakan kecil ini akan segera membesar.
Di kamar, Maya berjanji pada dirinya sendiri. "Aku akan cari tahu kebenarannya. Apa pun itu."
Bersambung...
Seorang wanita yang selalu percaya pada kesetiaan suaminya menemukan bukti perselingkuhan. Dalam pencariannya akan kebenaran, ia juga dihadapkan pada pengkhianatan lain dari orang yang paling ia percaya.
Seorang pria yang merasa pernikahannya tidak bahagia menemukan cinta baru pada wanita lain. Namun, hubungan gelap ini memaksanya untuk memilih antara keluarganya atau kebahagiaan pribadinya.
Seorang pria yang menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasihnya tergoda oleh rekan kerja barunya. Saat rahasia perselingkuhannya terungkap, ia harus menghadapi kenyataan bahwa cintanya yang sesungguhnya mungkin telah hilang.
Sepasang kekasih yang tampak bahagia di depan orang lain ternyata menyembunyikan pengkhianatan. Ketika rahasia ini terbongkar, hubungan mereka menjadi ajang perebutan kepercayaan dan penyesalan.
Yasmin gadis berusia 20 tahun terpaksa harus menikah dengan seorang duda kaya raya agar perusahaan orang tuanya tidak jatuh bangkrut, bahkan gadis itu harus menerima sebuah perjanjian kontrak. "Kamu pilih Vira atau Anggara? jika kamu pilih lelaki itu, itu artinya pernikahan kita hanya sampai disini." ujar Galih. "Bukankah dari awal perinkahan kita hanya sebuah kontrak? kamu bisa mengakhirinya sesuka hati, tapi kenapa sekarang kamu justru memberikanku pilihan? aku menyayangi Vira seperti anakku sendiri, tapi Anggara... " Yasmin tidak sanggup lagi untuk lanjukan perkataannya karena menangis. Galih memalingkan wajahnya, kedua tangannya terkepal saat melihat istrinya lebih memilih pria itu ketimbang putrinya. Itu artinya sudah tidak ada lagi harapan bagi rumah tangganya dengan Yasmin. "Mulai sekarang jangan pernah temui Vira lagi, dan aku tidak akan pernah mengizinkan kamu menemuinya untuk selamanya. Karena kamu bukan siapa-siapanya," kata Galih dengan tegas. Yasmin segera menggelengkan kepala dengan linanganang air mata, ia meraih lengan Galih dan berkata. "Tidak, dia anakku, aku adalah ibunya hiks aku-" "Kamu bukan ibunya, skarang juga aku talak kamu Yamsmin." Deg.
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Aku mengira, kalo ini hanya mimpi. Atau kalo enggak, ini hanya prank sebagai kejutan ulang tahunku yang ke delapan belas. Tapi ternyata, ini realita pahit yang harus kuterima. Aku terpaksa menerima pernikahan ini, dengan seorang laki-laki berumur yang sama sekali belum kukenal sebelumnya. "Kamu bisa masak?" tanyanya. "Bisa." "Saya jarang masak disini. Jadi kamu bisa masak kalo lapar, atau kamu bisa delivery. Ini kartu kredit dan ATM buat kamu," Aku menoleh, melihat David meletakkan dua kartu itu di atas meja rias. "Aku nggak butuh kartunya deh," kataku sambil bangkit. David mengernyit. "Kasih duit aja. Keperluanku nggak seberapa. Susah juga kalo pake itu buat beli pentol, abangnya bingung mau gesek kemana," "Kamu bisa ambil pake ATM, berapapun kamu mau, kapan pun. Zaman sekarang tuh udah mudah, nggak perlu lagi bawa duit kemana-mana," "Kamu janji mau ngurusin aku kan?" tanyaku. "Itu emang janji saya," "Kalo gitu jangan nyusahin aku. Tinggal kasih aku duit nyata, apa susahnya sih," dengusku. Apa yang bisa kuharapkan dari pernikahan yang nggak kuinginkan ini? Bahagia, atau aku hanya sengsara. Apalagi, seorang laki-laki bernama Dinar datang dan dengan bangga mengatakan kalo dirinya sanggup menungguku sampai aku menjanda.