mpak begitu lelap. Hatinya bergolak antara keinginan untuk percaya dan dorongan kuat untuk mencari t
ku harus tahu,"
rya. Tidak ada sandi-Arya selalu percaya bahwayang sudah tidak asing lagi baginya: Sinta. P
akan siang bareng, ya. Aku udah
e. Sampai
i duri yang menusuk hatinya. Bukankah Arya selalu mengatakan bahwa hubungan mer
n itu penuh candaan ringan, perhatian kecil yang membuat Maya mer
i ini. Aku senang banget ngobrol sama
Kamu selalu bikin hari-h
nggenang, tetapi ia mencoba menahann
mar. Ia menuju ruang tamu, duduk di sofa sambil menatap layar ponsel
jak kapan ini dimulai? Apakah aku kurang
ian untuk menelepon atau mengirim pesan. Namun, tangann
biasa, meskipun hatinya masih berat. Arya d
oreng favoritku,
kamu butuh energi lebih banyak. Keli
il. "Iya, kerjaan kant
ya?" pertanyaan Maya keluar begi
i langsung berhenti. Ia menata
, mencoba terdengar santai
ku baca pesan kalian, Mas. Jadi aku
panjang. Ia meletakkan sendoknya dan menat
ku dan Sinta cuma teman. Kami memang dek
kenapa dia bilang hal-hal yang seharusnya nggak diucapkan ol
mu merasa nggak nyaman, makanya aku nggak cerita. Tapi, sum
n tajam. "Kalau memang nggak ada apa-apa, kenapa s
aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi aku janji,
Tapi semua ini terlalu banyak menyakiti aku. Aku
apa lagi. Maya meninggalkannya di ruang
terasa remuk. Ia duduk di kursi dekat jendela, memandang keluar dengan tatap
gkah Arya terdengar mendekat
suaranya terdengar tenab. Ia membiarkan A
an Maya yang tetap memandang keluar jendela.
ku harap kita bisa bicara baik-baik," kata
enuh luka. "Masih ada yang mau kamu jelaskan, M
arah. "Aku tahu kamu terluka. Tapi hubungan aku sama Sinta benar-benar ngga
ekerjaan, kenapa pesannya penuh dengan perhatian yang aku bahkan nggak pernah dapat
tepat. "Aku nggak tahu, May. Aku... Aku nggak
cerita karena takut aku cemburu, atau kar
rcipta membuat Maya semakin yakin b
Aku butuh waktu sendiri, Mas. Aku ngga
begini. Kita bisa bicarakan ini. Ak
ini sudah besar. Dan aku nggak yakin kita bisa me
ri kamu waktu. Tapi tolong, jangan langsung ambil ke
luar kamar, meninggalkan Arya yang m
ebingungannya. Ia kembali membuka ponsel Arya dan mencatat nomor
k pesan deng
ya. Aku mau bicara dengan kamu s
an tombol kirim. Detik-detik berlalu, dan po
tu. Saya bisa bertemu
it terkejut. Sinta terdengar t
seorang wanita muda, rapi, dan menawan. Senyum kecil di wajahnya teras
mu," kata Maya, mencoba menja
aya juga ingin semuanya jelas. S
di, Sinta, apa sebenarnya
t buat Mbak. Tapi saya harus jujur. Saya memang dekat dengan Mas Arya. Kami
sesak. Namun, ia berusaha menahan emosinya. "Sejauh apa hubung
itu. Tapi saya merasa dia nyaman dengan saya. Mungkin saya salah
Kamu merasa nyaman, dia merasa nyaman, t
Mbak harus bicara lebih dalam dengan Mas Arya. Ada
ambu