/0/20289/coverbig.jpg?v=a196d0916f31345c8706cb48f579462a)
Dua siswa yang dulu sahabat sejak kecil, namun menjauh karena waktu, dipertemukan kembali dalam sebuah proyek sekolah. Mereka mulai mengingat janji-janji yang pernah mereka buat di bawah langit senja dan perasaan yang tak pernah hilang.
Hari itu, cuaca di sekolah terasa sama seperti biasanya, namun bagi Luna, ada sesuatu yang berbeda. Angin sore menghembus lembut, menggoyangkan rambutnya ketika ia melangkah masuk ke ruang kelas, di mana ia dan beberapa siswa lain berkumpul untuk sebuah proyek sekolah. Papan tulis di depan ruangan dipenuhi dengan tulisan besar: *Proyek Kelompok: Pameran Sejarah Lokal.*
Luna menatap sekeliling ruangan, matanya menyisir wajah-wajah yang tak asing baginya, hingga akhirnya pandangannya terhenti pada satu sosok yang tak pernah ia duga akan dilihat lagi.
Raka.
Ia duduk di sudut ruangan, sibuk dengan buku catatannya, tampak tidak terlalu tertarik dengan suasana sekitarnya. Luna terdiam sejenak. Seolah waktu berhenti, ingatan masa kecilnya melintas begitu cepat, membawa kembali kenangan tentang seorang anak laki-laki yang dulu sangat dekat dengannya. Mereka dulu tidak terpisahkan. Setiap hari selepas sekolah, mereka akan berlarian di taman dekat rumah, membuat janji-janji kekanak-kanakan di bawah langit senja yang indah. Namun, seiring berjalannya waktu, kehidupan membawa mereka ke arah yang berbeda. Tanpa peringatan, persahabatan itu perlahan memudar.
Luna tidak pernah tahu alasan sebenarnya mengapa Raka menjauh. Mereka berdua bersekolah di tempat yang sama, namun bertahun-tahun tidak pernah berinteraksi. Dan sekarang, di sinilah mereka, dipertemukan kembali dalam sebuah proyek yang sama.
Guru mereka, Pak Arif, mulai membagi kelompok, dan dengan keberuntungan yang aneh, Luna dan Raka ditempatkan dalam kelompok yang sama. "Luna, Raka, kalian akan bekerja bersama-sama dengan Sinta dan Adi," ujar Pak Arif tanpa menyadari ketegangan yang tiba-tiba melingkupi ruangan itu.
Luna menelan ludah, gugup. Ia melirik Raka, yang terlihat tak menunjukkan reaksi apapun. Hatinya berdebar-debar saat ia melangkah mendekat ke meja di mana kelompok mereka akan berkumpul. Bagaimana ini akan berjalan? Apakah Raka masih mengingatnya? Ataukah ia sudah benar-benar melupakan masa lalu mereka?
"Luna," suara Sinta memecah lamunan Luna, "kamu setuju nggak kalau kita mulai riset dari buku-buku sejarah di perpustakaan?"
Luna mengangguk sambil tersenyum kaku, mencoba fokus pada pembicaraan, tapi pikirannya tak bisa lepas dari sosok Raka yang duduk di sebelahnya. Sesekali, ia meliriknya, mencari tanda-tanda pengakuan di mata Raka. Namun Raka tetap tenang, seperti tidak ada yang terjadi.
Setelah pertemuan kelompok selesai, Luna merasa ada sesuatu yang tidak terselesaikan. Ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Raka. Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, kata-kata itu keluar begitu saja.
"Raka," panggilnya, membuat Raka menoleh perlahan. Ada jeda sejenak sebelum Luna melanjutkan, "Kamu masih ingat aku?"
Raka terdiam, menatap Luna dengan pandangan yang sulit diartikan. Sekilas, matanya tampak mengenalinya, namun ada sesuatu yang menahan. Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, Raka mengangguk pelan.
"Iya, aku ingat," jawabnya singkat, tanpa senyuman, tanpa ekspresi lebih lanjut.
Jawaban itu membuat Luna sedikit lega, namun juga menambah kebingungannya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan-mengapa mereka berhenti berbicara, mengapa Raka tiba-tiba menjauh bertahun-tahun lalu. Tapi melihat sikap dingin Raka, Luna menyadari bahwa mungkin, ini bukan saat yang tepat untuk menggali lebih dalam.
Hari itu berakhir dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, pertemuan dengan Raka membawa kenangan manis masa kecil kembali ke permukaan, namun di sisi lain, ia merasa ada jarak yang sangat besar di antara mereka sekarang. Jarak yang tak pernah ia pahami.
Saat Luna berjalan pulang, matahari mulai terbenam, menciptakan kilauan jingga di langit senja. Dia berhenti sejenak, memandangi langit yang sama seperti yang mereka tatap dulu, saat mereka masih kecil, saat segala sesuatu tampak lebih sederhana. Di bawah langit yang sama, Luna bertanya-tanya, apakah janji-janji masa kecil mereka masih tersisa? Ataukah semuanya sudah hilang bersama waktu?
Di kejauhan, Luna bisa merasakan bahwa ini bukanlah kebetulan. Pertemuan ini mungkin adalah kesempatan untuk mengungkap apa yang telah terkubur selama ini. Namun, ia juga tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Karena di balik setiap kenangan indah, selalu ada rahasia yang tersembunyi di dalamnya.
Luna masih memandangi langit yang mulai memudar warnanya, teringat bagaimana dulu mereka sering kali berlomba-lomba menebak warna apa yang akan muncul di langit senja berikutnya. Saat itu, segalanya terasa begitu sederhana. Tidak ada rasa canggung, tidak ada jarak-hanya dua anak kecil yang menikmati waktu bersama. Namun sekarang, perasaan itu terasa jauh, seperti sebuah mimpi yang perlahan memudar.
Langkah kaki di belakangnya menyadarkannya dari lamunan. Luna berbalik dan terkejut melihat Raka berdiri tak jauh darinya, tangan dimasukkan ke saku seragam, matanya masih menatap ke bawah, seolah ragu untuk mendekat.
"Kamu masih suka lihat senja?" tanya Raka, suaranya pelan tapi jelas, memecah keheningan di antara mereka. Pertanyaan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat dada Luna terasa sesak.
Ia mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, masih," jawab Luna, menatap Raka dengan tatapan yang sarat pertanyaan, seolah meminta penjelasan tentang apa yang terjadi di antara mereka selama bertahun-tahun. Tapi, seperti yang diduganya, Raka tidak memberi jawaban. Hanya pertanyaan senja yang ia sampaikan, seakan itu sudah cukup untuk membuka percakapan pertama mereka setelah sekian lama.
"Kamu kenapa tiba-tiba menjauh?" Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Luna, meski ia tahu suasananya mungkin belum tepat. Namun, rasa penasaran yang terpendam selama bertahun-tahun itu tak bisa lagi ia tahan. Ia harus tahu.
Raka terlihat kaget mendengar pertanyaan itu, namun dengan cepat ia memasang ekspresi datar. Untuk beberapa detik, ia hanya menatap Luna, seakan mencari kata-kata yang tepat, atau mungkin mencari cara untuk menghindar. Angin sore menghembus lembut, membuat suasana semakin dingin.
"Ada banyak hal yang terjadi waktu itu," kata Raka akhirnya, suaranya rendah dan berat. "Aku nggak tahu harus gimana, jadi aku pergi. Aku pikir... mungkin itu cara terbaik."
Luna menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba menyeruak. "Cara terbaik?" ulangnya pelan. "Kamu pikir dengan pergi begitu aja semua akan baik-baik aja?"
Raka tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajahnya, menatap senja yang hampir menghilang di balik cakrawala. "Aku nggak tahu, Luna. Mungkin aku salah. Tapi aku cuma anak kecil waktu itu, aku nggak ngerti apa yang aku rasain."
Kata-katanya membuat Luna terdiam. Rasa kecewa, marah, dan bingung bercampur aduk di dalam hatinya. Tapi di balik itu semua, ada sesuatu yang ia pahami. Waktu itu, mereka masih sangat muda. Mungkin benar, Raka tidak tahu bagaimana harus menghadapi perasaannya sendiri, apalagi pertemanan mereka yang mulai berubah.
"Aku juga nggak tahu," jawab Luna akhirnya, suaranya mulai melembut. "Aku cuma ingat, waktu itu aku kehilangan sahabatku, dan aku nggak ngerti kenapa."
Untuk pertama kalinya, Luna melihat sesuatu yang berbeda di mata Raka. Seperti ada rasa bersalah yang tersembunyi di balik sikap dinginnya. Dia mengangkat pandangannya dan berkata dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya, "Maaf."
Hanya satu kata, tapi itu cukup. Meskipun tidak bisa mengembalikan semua yang telah hilang, setidaknya itu adalah awal. Awal dari sesuatu yang mungkin bisa menyembuhkan luka yang telah lama mereka bawa.
Luna tersenyum kecil, merasakan sedikit beban di hatinya mulai terangkat. "Aku nggak tahu apa yang terjadi setelah ini, tapi mungkin kita bisa mulai lagi... pelan-pelan."
Raka mengangguk. "Iya, mungkin kita bisa," jawabnya dengan nada lebih tenang.
Mereka berdiri di sana untuk beberapa saat, tanpa kata-kata. Hanya ditemani oleh sisa-sisa cahaya senja yang perlahan menghilang, seakan memberi ruang untuk awal yang baru di antara mereka.
Hari itu, di bawah langit senja yang sama, Luna dan Raka tidak lagi dua orang asing yang dipisahkan oleh masa lalu. Mereka adalah dua orang yang berusaha menemukan kembali janji-janji yang dulu pernah mereka buat. Dan meskipun jalan di depan masih panjang, mereka tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar.
Senja akhirnya menghilang, meninggalkan langit yang gelap dan penuh bintang. Tapi bagi Luna, hari ini terasa seperti sebuah awal-awal dari perjalanan baru yang mungkin akan membawa mereka kembali ke masa-masa indah yang pernah hilang.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Luna merasa sedikit lebih ringan, seolah-olah bebannya sudah mulai terangkat sedikit demi sedikit. Raka mungkin belum sepenuhnya kembali, tapi dia ada di sana. Itu sudah cukup untuk sekarang.
Bersambung...
Seorang pria yang merasa tertekan oleh kehidupan rumah tangganya terlibat perselingkuhan dengan seseorang dari masa lalunya. Ketika kebohongan ini terungkap, ia harus memilih antara keluarga yang ia bangun atau cinta yang tak pernah benar-benar hilang.
Seorang pria yang sudah menikah kembali bertemu dengan cinta pertamanya yang belum pernah ia lupakan. Hubungan ini membuatnya meragukan pernikahannya dan mempertanyakan apa itu cinta sejati.
Seorang wanita yang merasa hampa dalam pernikahannya memulai hubungan dengan mantan kekasihnya. Namun, ia tak menyadari bahwa kebahagiaan sesaat itu dapat membawa bencana bagi hidupnya yang sudah stabil.
Seorang pria yang merasa terabaikan oleh istrinya karena kesibukan pekerjaan, mulai mencari kenyamanan dari wanita lain. Perselingkuhan ini membuatnya harus memilih antara keluarga yang ia cintai atau perasaan egoisnya sendiri.
Seorang wanita menemukan bahwa suaminya berselingkuh dengan rekan kerjanya. Sambil mencoba mencari tahu alasan di balik perselingkuhan tersebut, ia dihadapkan pada rahasia gelap suaminya yang jauh lebih besar.
Seorang istri yang selalu setia menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Saat kebenaran terungkap, ia harus memutuskan apakah akan memperjuangkan pernikahannya atau melepaskan semuanya.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Kumpulan cerita seru yang akan membuat siapapun terbibur dan ikut terhanyut sekaligus merenung tanpa harus repot-repot memikirkan konfliks yang terlalu jelimet. Cerita ini murni untuk hiburan, teman istrirahat dan pengantar lelah disela-sela kesibukan berkativitas sehari-hari. Jadi cerita ini sangat cocok dengan para dewasa yang memang ingin refrehsing dan bersenang-senang terhindar dari stres dan gangguan mental lainnya, kecuali ketagihan membacanya.
Sinta butuh tiga tahun penuh untuk menyadari bahwa suaminya, Trisna, tidak punya hati. Dia adalah pria terdingin dan paling acuh tak acuh yang pernah dia temui. Pria itu tidak pernah tersenyum padanya, apalagi memperlakukannya seperti istrinya. Lebih buruk lagi, kembalinya wanita yang menjadi cinta pertamanya tidak membawa apa-apa bagi Sinta selain surat cerai. Hati Sinta hancur. Berharap bahwa masih ada kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki pernikahan mereka, dia bertanya, "Pertanyaan cepat, Trisna. Apakah kamu masih akan menceraikanku jika aku memberitahumu bahwa aku hamil?" "Tentu saja!" jawabnya. Menyadari bahwa dia tidak bermaksud jahat padanya, Sinta memutuskan untuk melepaskannya. Dia menandatangani perjanjian perceraian sambil berbaring di tempat tidur sakitnya dengan hati yang hancur. Anehnya, itu bukan akhir bagi pasangan itu. Seolah-olah ada penghalang jatuh dari mata Trisna setelah dia menandatangani perjanjian perceraian. Pria yang dulu begitu tidak berperasaan itu merendahkan diri di samping tempat tidurnya dan memohon, "Sinta, aku membuat kesalahan besar. Tolong jangan ceraikan aku. Aku berjanji untuk berubah." Sinta tersenyum lemah, tidak tahu harus berbuat apa ....
Cerita tentang kehidupan di kota kecil, walau tak terlalu jauh dari kota besar. Ini juga cerita tentang Kino, seorang pria yang menjalani masa remaja, menembus gerbang keperjakaannya, dan akhirnya tumbuh sebagai lelaki matang. Pada masa awal inilah, seksualitas dan sensualitas terbentuk. Dengan begitu, ini pula kisah tentang the coming of age yang kadang-kadang melodramatik. Kino tergolong pemuda biasa seperti kita-kita semua. Apa yang dialaminya merupakan kejadian biasa, dan bisa terjadi pada siapa saja, karena merupakan kelumrahan belaka. Tetapi, kita tahu ada banyak kelumrahan yang kita sembunyikan dengan seksama. Namun Kino mempunyai hal yang menarik yang dalam cerita ini lebih menarik dari cerita fenomenal lainnya.
Rumornya, Laskar menikah dengan wanita tidak menarik yang tidak memiliki latar belakang apa pun. Selama tiga tahun mereka bersama, dia tetap bersikap dingin dan menjauhi Bella, yang bertahan dalam diam. Cintanya pada Laskar memaksanya untuk mengorbankan harga diri dan mimpinya. Ketika cinta sejati Laskar muncul kembali, Bella menyadari bahwa pernikahan mereka sejak awal hanyalah tipuan, sebuah taktik untuk menyelamatkan nyawa wanita lain. Dia menandatangani surat perjanjian perceraian dan pergi. Tiga tahun kemudian, Bella kembali sebagai ahli bedah dan maestro piano. Merasa menyesal, Laskar mengejarnya di tengah hujan dan memeluknya dengan erat. "Kamu milikku, Bella."
Amora Nouline selalu dibanding-bandingkan oleh sang ibu dengan kakak perempuannya sendiri bernama Alana Nouline! Dalam hal apapun Alana selalu unggul dari Amora, membuat sang Ibu lebih menyayangi Alana dibandingkan dengan Amora. Ketika dihadapkan dengan posisi sang ayah yang sakit parah dan memerlukan biaya rumah sakit yang tidak sedikit, Ibu dan kakak Amora sepakat untuk membujuk agar Amora menjual dirinya demi pengobatan sang ayah. Dengan hati teriris perih, terpaksa dan penuh ketakutan, Amora akhirnya menuruti keinginan ibu dan kakaknya demi kesembuhan sang ayah! Sialnya, malam itu laki-laki yang membeli Amora adalah seorang mafia dingin yang meskipun wajahnya teramat tampan namun wajah itu terlihat sangat menakutkan dimata Amora.