"Jangan pernah menaruh perasaan pada anakku yang ada dalam perutmu, dengan begitu tidak akan sulit bagimu saat pernikahan kita usai. Jangan cemas, saat dia lahir kau takkan melihat wajahnya, kami akan langsung membawanya. Nanti seolah-olah kami tidak pernah ada dalam hidupmu."
"Hanya sampai kau memiliki anak, Jihan. Itu tidak akan lama. Satu tahun lagi kau akan kembali lagi ke sini."
Satu tahun. Itu akan menjadi waktu yang sangat panjang. Bagaimana mereka katakan itu takkan lama? Kupandangi wajak Mak Tuah dan Tek Ida bergantian, sudah nyaris satu bulan ini mereka membujukku.
"Aku ...."
"Dengar, orang itu akan datang esok pagi. Kau harus bersiap. Mamak tidak ingin kau membantah."
"Hanya satu tahun, lalu semua akan baik-baik saja." Tek Ida mengusap rambutku perlahan, kepura-puraan begitu kentara ketika tangan itu menyentuh rambutku.
"Untuk apa uang seratus juta itu?" Aku menatap hampa ke luar jendela rumah, yang menampilkan pesona alam nan memukau.
"Untuk menebus semua harta yang telah tergadai akibat membesarkanmu." Suara Tek Ida berubah ketus. Benar, wanita paruh baya yang terpaksa merawatku dari kecil ini sangat pandai berpura-pura.
Harta, entah harta yang mana yang telah kuhabiskan. Bisa dikatakan aku besar dari belas kasihan orang. Selalu saja ada orang yang datang tiap minggu, entah itu mengantar beras atau kebutuhan lainnya, dan kini mereka mengkambing hitamkanku atas semua harta yang tergadai.
"Aku akan bekerja, akan kubayar uang Mamak dan Etek yang sudah terpakai olehku, tapi bukan cara seperti ini."
"Jangan bertingkah, Jihan! Apa pekerjaan yang akan kau dapatkan, kau hanya menamatkan SMP! Bekerja di mana, menjual diri!" gertakan Mila membuatku semakin beku, aku sudah sangat biasa dengan suara keras dan makiannya. Anak sulung Mak Tuah ini, lebih tega dari siapapun di rumah ini.
"Aku akan bekerja," desisku menggigit bibir, memutar otak mencari pekerjaan apa saja.
"Sudah, tidak ada pertengkaran atau penolakan lagi. Besok orang itu akan datang. Kau harus bersiap!"
Aku memejamkan mata, memeluk lutut erat, suara Mak Tuah adalah final. Terdengar langkah kaki meninggalkan kamarku lalu pintu yang ditutup keras.
Air mataku jatuh, tidak menyesal. Aku tidak pernah menyesali apa pun. Bagiku semua yang terjadi adalah jalan takdir yang telah tertulis. Hanya saja kadang aku tak bisa menahan sesuatu yang pedih di dalam dada, menyesakkan. Hingga aku harus meneteskan air mata.
Baiklah, kuceritakan awal ide buruk ini menghampiri Mak Tuah. Beberapa minggu lalu, seorang laki-laki bertubuh subur datang ke rumah, dan menawarkan sesuatu yang sangat buruk pada Mak Tuah.
Aku tidak terlalu terkejut kenapa Mak Tuah langsung menawarkanku. Dari dulu, semenjak Ibu meninggal dia selalu mencari celah untuk mencampakkanku. Namun, tidak berhasil. Aku cukup diperhatikan di kampung ini, anak yatim yang malang. Sehingga Mak Tuah tak pernah berhasil dengan semua rencana jahatnya.
Tetapi kali ini rencana mereka untuk menyingkirkan akan terlaksana. Beliau akan mengumumkan bahwa aku akan bekerja di kota. Lalu aku menghilang, entah sampai kapan.
Aku tidak punya seseorang untuk berbagi, aku memang tidak suka bercerita pada siapapun. Jadi, kali ini mereka akan berhasil.
Aku tidak bisa membayangkan seperti apa orang itu. Apakah sudah tua atau cacat? Sehingga harus mencari wanita lugu di perkampungan untuk melahirkan anaknya.
Tetapi siapapun, mungkin kami bisa berteman. Mengingat melahirkan seorang anak berarti harus menikah dulu, dan aku akan menikah dengan orang asing.
Di usia delapan belas tahun, aku belum pernah menjalin hubungan dengan laki-laki manapun. Apa lagi membayangkan menikah. Almarhum Ibu pernah memberi petuah tentang pernikahan saat itu aku berumur enam tahun, beberapa bulan sebelum dia meninggal, tentang tanggung jawab besar menjadi seorang istri. Dan itu tidaklah mudah.
Aku menenggadahkan kepala, menatap langit-langit kamar. Benarkah malam ini malam terakhir aku di sini? Benarkah waktu itu hanya satu tahun dan semua akan selesai?
Azan magrib berkumandang dari masjid dekat rumah, aku bergegas menutup jendela kamar. Melangkah ke kamar mandi dan berwudhu. Satu-satunya tempat pulang adalah padaNya. Hanya padaNya aku menceritakan semua.
Setelah memakai mukena aku kembali mengintip di celah jendela. Memperhatikan teman-teman sebaya shalat berjamaah di masjid. Aku rindu ingin ke sana juga, tapi tidak boleh. Mak Tuah melarang, mungkin beliau takut aku memiliki teman. Seperti dicerita-cerita dongeng, aku tidak pernah membantah Mak Tuah. Entahlah, aku memang tak menyukai pertentangan.
Selesai shalat dan bermunajat, aku ke luar kamar. Menuju meja makan, menikmati makanan sisa yang telah disediakan. Aku tak pernah diizinkan makan satu meja dengan keluarga Mak Tuah, kecuali jika ada tamu. Ya, Mak Tuah selalu kelihatan menyayangiku di depan orang-orang, meskipun itu tidak tapi aku tak berniat menceritakan cerita sedih ini pada siapapun.
Selesai makan aku membereskan piring dan langsung mencucinya. Lalu melangkah ke ruang keluarga. Pemandangan seperti biasa terlihat, keluarga bahagia. Lengkap, sepasang anak yang sudah hampir menginjak dewasa, dengan orang tua yang begitu menyayangi. Hanya ini yang membuatku iri. Hanya ini yang mampu mengusik keikhlasan betapa cepatnya Ayah dan Ibu dipanggil yang maha kuasa.
"Ada apa, tidur sana!" Mila yang pertama menyadari kehadiranku dia menatap sinis.
"Ingin gabung? Susul ayah dan ibumu ke dalam kubur," potong Rudi terbahak.
Aku menelan ludah yang terasa pahit. Aku mengerjapkan mata, berusaha mengusir kabut yang hendak mengalami pandangan. Kalau saja bunuh diri itu sah dalam agama, sudah kususul Ayah dan Ibj jauh-jauh hari.
"Kapan orang itu akan menikahiku, Mak?" Suaraku yang serang terdengar nyaring, membuat semua orang itu menatap ke arahku dengan keterkejutan yang nyata. Kemudian tawa mengejek Mila dan Rudi memenuhi ruangan keluarga.
"Nikah? Mimpi!" Rudi memegangi perutnya dan terus tertawa.
"Tidak akan ada pernikahan, Jihan." Suara Mak Tuah menghentikan tawa Mila dan Rudi. Mak Tuah menatap ke arahku tajam.
"Tapi ...."
"Orang itu hanya membutuhkan anak, bukan istri. Kau mengerti maksudku?"
Aku menggeleng, bagaimana memiliki anak tanpa menikah. Astaga, apakah orang itu akan mengajakku berzina? Bisa kurasakan darah surut dari wajahku, menggelengkan kepala cepat. Aku takkan memasuki lobang dosa itu.
"Ya, kau akan melahirkan anaknya tanpa menikah. Tidak akan ada orang yang tahu ...."
"Tuhan tahu, Mak! Tuhan tahu segalanya! Aku takkan melakukan dosa itu!" jeritku.
Ayah dan Ibu akan masuk neraka karena dosaku. Mereka berdua akan menyesal memiliki anak sepertiku. Jadi, aku takkan melakukan itu, tidak tanpa pernikahan.
"Kamu jangan aneh-aneh, Jihan. Mana ada orang kota kaya raya yang mau menikahi wanita kampung sepertimu. Meskipun dia bandot tua itu takkan terjadi. Sudahlah terima saja takdirmu," tekan Tek Ida.
"Aku tidak akan berzina untuk memberikan siapapun anak," geramku memutar tubuh dan melangkah masuk kamar. Rasanya tenaga tercabut habis dari ragaku, kenapa kenyataan begitu semengerikan ini?
"Jangan coba-coba bertingkah, atau aku akan kujual kau ke rumah kuning kampung sebelah!" Tek Ida menyentakkan tanganku hingga kembali menghadap padanya. Mataku membulat tak percaya dengan apa yang dia katakan. Rumah kuning adalah tempat wanita yang menjajakan dirinya secara diam-diam. Penghuninya rata-rata janda genit. Tidak tersentuh hukum, kabarnya rumah itu milik seseorang yang berpengaruh.
"Etek takkan berani," tantangku.
"Jangan mengujiku, akan kuantar kau ke sana malam ini." Lalu tangannya menyeretku.
"Lepaskan!"
"Jangan membantahku, Ayo, Pak. Kita antar saja dia ke rumah kuning itu!" Tek Ida berseru pada Mak Tuah dengan terus menyeretku ke luar.
"Tidak! Tidak!" Aku mencoba melepaskan diri ketika dipaksa naik mobil Avanza yang baru saja dibeli Mak Tuah dari hasil penjualan tanah tapi tak berhasil.
Tak berapa lama kemudian mobil sudah meluncur melewati jalan desa. Dari kejauhan rumah kuning itu sudah jelas, lampu temaram terasnya membuatku merinding. Tel Ida tak main-main, dia ingin menjualku. Ke mana semua orang malam ini, kenapa tak ada yang melihatku. Ya Allah ....
"Baik, baik! Aku akan memberikan anak pada orang itu, bawa aku pulang!"
Pernikahan ini hanya sebuah perjanjian, dia punya kekasih begitu juga dengan aku. Tetapi entah siapa yang memasukkan obat ke dalam minuman ku, sehingga benar-benar lepas kendali.
Menikahi single mom yang memiliki satu anak perempuan, membuat Steiner Limson harus bisa menyayangi dan mencintai bukan hanya wanita yang dia nikahi melainkan anak tirinya juga. Tetapi pernikahan itu rupanya tidak berjalan mulus, membuat Steiner justru jatuh cinta terhadap anak tirinya.
Pada hari ulang tahun pernikahan mereka, simpanan Jordan membius Alisha, dan dia berakhir di ranjang orang asing. Dalam satu malam, Alisha kehilangan kepolosannya, sementara wanita simpanan itu hamil. Patah hati dan terhina, Alisha menuntut cerai, tapi Jordan melihatnya sebagai amukan lain. Ketika mereka akhirnya berpisah, Alisha kemudian menjadi artis terkenal, dicari dan dikagumi oleh semua orang. Karena penuh penyesalan, Jordan menghampirinya dengan harapan akan rujuk, tetapi dia justru mendapati wanita itu berada di pelukan seorang taipan yang berkuasa. "Ayo, sapa kakak iparmu."
Warning area dewasa (21+) Bijaklah memilih bacaan! ~~~ "Jika kau mau aku akan membantumu. Membiayai seluruh operasi ayahmu yang terkena kanker paru-paru. Setahuku, biaya pasien yang terkena kanker paru-paru itu tidak sedikit. Jumlahnya bahkan lebih dari lima puluh ribu dolar. Tentu, jika kau mau menerima tawaran dariku." Gwen bergeming. Mencerna semua pernyataan Nich barusan. Tetapi, belum selesai Gwen mencernanya, Nich kembali berkata, "Jadilah istriku, Gwen." "A-apa?" "Menikahlah denganku, Gwen. Aku mohon …." Gwen nampak berpikir sejenak, sambil menjilat sisa-sisa jejak bibir Nich. Beberapa saat kemudian dia mengangguk. "Aku mau menerima tawaranmu, asal kau juga mau menerima syarat dariku, Nich." Sebelah alis Nich terangkat. "Apa?" sambil mengusapkan ibu jari di bibir Gwen. "Kita menikah kontrak. Hanya sebatas itu, Nich." *** Gwen Florine terpaksa menerima tawaran mantan kekasih sekaligus pria yang telah menorehkan luka di hatinya sejak 10 tahun yang lalu, lantaran pergi tanpa pamit. Demi sang ayah yang membutuhkan biaya besar untuk operasi. Lantas, apakah Gwen akan terjerat oleh pesona seorang Nicholas Kennedy kembali, di saat hatinya telah membeku? Lalu, apa sebenarnya alasan Nicholas pergi meninggalkan Gwen 10 tahun yang lalu? ### Simak yuk!
Amy tidak menyangka suaminya yang sangat dia cintai dan percayai selama bertahun-tahun akan berselingkuh dengan berhubungan seks dengan sekretarisnya. Ketika dia menghadapinya, dia dan sekretarisnya mengejek dan mengejeknya, mereka memanggilnya mandul, lagipula, dia tidak mengandung selama tiga tahun terakhir bahwa dia telah menikah dengan suaminya, Callan. Sangat Patah Hati, dia mengajukan gugatan cerai dan pergi ke klub, dia memilih gigolo acak, melakukan one night stand dengannya, membayarnya dan menghilang ke kota kecil. Dia kembali ke negara itu enam tahun kemudian dengan tiga anak laki-laki imut yang identik dan tiga gadis imut yang identik dengan usia yang sama. Dia menetap dan mendapat pekerjaan tetapi segera mengetahui bahwa CEO-nya adalah gigolo yang dia berhubungan seks enam tahun lalu di klub. Apakah dia bisa menyembunyikan enam imut kecilnya dari CEO-nya, yang kebetulan adalah pria paling berkuasa di NorthHill dan dianggap tidak subur? Bisakah Amy dan pria paling berkuasa di NorthHill bergaul mengingat kesenjangan sosial di antara mereka.
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"