Xavier menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya meregang nyawa di tangan mafia. Ia tidak terima atas kematian ayahnya. Rasa sakit hati yang tak terbendung, Xavier mulai belajar ilmu bela diri untuk bisa membalaskan dendamnya pada mafia yang telah menghabisi nyawa ayahnya.
Dor !
Xavier mencari sumber tembakan itu. Dengan berlari kecil ia menuju tempat tinggalnya. Dari balik pintu ia mendengar suara dua orang pria yang tidak di kenalnya. Dengan berhati-hati, ia mencoba melihat dari celah jendela sambil berjongkok.
"Bos. Xander sudah kami habis," ungkap salah satu pria bertubuh tegap yang sedang berada di dalam rumah sambil menghubungi seseorang melalui ponselnya.
Xavier membulatkan matanya tanda ia terkejut saat melihat ayahnya telah terbujur kaku di lantai. Seketika ia teringat adiknya yang masih kecil. Matanya mencari-cari keberadaan adiknya namun tidak ia temui.
"Ayo, kita segera keluar dari rumah ini sebelum orang lain melihat !," seru pria asing itu.
Xavier bergegas untuk bersembunyi agar ia tidak menjadi korban selanjutnya dari pria asing itu.
Dengan perlahan ia berjalan menuju belakang rumahnya dan masuk melalui pintu belakang.
Pria-pria yang bertubuh tegap itu sudah meninggalkan tempat tinggal keluarga Xavier barulah ia memberanikan diri menuju jasad ayahnya.
Air mata Xavier membasahi pipinya. Karena ayahnya lah yang selama ini banyak berkorban untuk mereka sedangkan ibunya pergi meninggalkan mereka setelah melahirkan adiknya yang bernama Xaviera yang pada saat itu perekonomian keluarganya sedang sulit.
Ia melihat luka di dada kanan ayahnya kemudian menyentuhnya dan bersumpah akan membalaskan dendam atas kematian ayahnya.
"Kakak! Apakah kamu sudah pulang?," tanya seorang gadis mungil pada Xavier.
Xavier memeluk adiknya. Ia bersyukur adiknya selamat.
"Mengapa ayah tidur di lantai, kak?" tanyanya polos.
"Ayah kelelahan. Sebentar lagi kakak akan membangunkan ayah," sengaja Xavier tidak memberitahukan pada adiknya bahwa ayah mereka telah tiada.
Xavier memberitahukan kepada tetangganya perihal kematian ayahnya. Para tetangganya pun berbondong-bondong membantu Xavier dan juga melaporkan ke pihak kepolisian mengenai kematian Xander.
Xavier ingin merahasiakan kematian ayahnya dari adiknya. Ia meminta tolong pada tetangganya selama proses pemakaman, adiknya berada di rumah tetangga mereka. Tetangga mereka pun setuju.
Proses pemakaman telah selesai. Xavier pun menjemput adiknya dari rumah tetangga.
"Kakak darimana saja? Mengapa lama sekali menjemput ku?" tanya adiknya yang pada saat itu berada di punggungnya.
Sambil berjalan Xavier pun menjawab, "Kakak harus kembali bekerja."
"Apakah ayah sudah bangun?" tanya adiknya dengan polos.
"Ayah sudah pergi ke luar negeri untuk bekerja," jawab Xavier.
Dengan hati yang teriris, Xavier terpaksa berbohong pada adiknya. Ia tak ingin ada kesedihan di wajah ceria adiknya.
"Kakak, mari kita bernyanyi !" pinta Xaviera.
"Baiklah,"
Xavier yang pada saat itu masih menggendong Xaviera di punggungnya pun menuruti permintaan adiknya. Bait demi bait lagu ia nyanyikan untuk menghibur hati adiknya walau air matanya masih ingin menetes. Perlahan suara Xavier berubah menjadi parau. Adiknya pun heran dengan perubahan suara kakaknya.
"Kakak kenapa? Apakah kakak sedang bersedih? Mengapa suara kakak seperti itu?" tanya Xaviera heran.
"Kakak tidak apa-apa. Hanya saja tadi kakak terlalu banyak makan gorengan sehingga suara kakak seperti ini," jawab Xavier sambil menyeka air matanya yang sempat terjatuh.
Walaupun Xavier memberi banyak alasan, Xaviera tetap merasa curiga dengan apa yang terjadi pada kakaknya tetapi Xaviera memilih diam dan pura-pura tidak tahu.
Sesampainya di rumah, rumah sudah kembali bersih seperti tidak terjadi apa-apa di rumah mereka. Xaviera pun turun dari gendongan Xavier.
"Segera cuci kaki kamu dan lekas lah tidur," pesan Xavier yang pada saat itu sedang berjalan menuju kamarnya.
"Iya, kak."
Xaviera memperhatikan setiap gerakan kakaknya yang hendak memasuki kamar. Ia melihat raut wajah sedih terlukis di wajah kakaknya. Ia tidak ingin menanyakan karena tidak ingin menambah beban kakaknya.
Xaviera bergegas melaksanakan apa yang di katakan kakaknya. Selesai membersihkan diri, ia pun segera menuju tempat tidurnya. Terdengar suara langkah kaki, ia pun segera menutup matanya. Ia tahu itu langkah kaki kakaknya yang akan memastikan jika dirinya sudah tertidur.
Xavier membuka pintu kamar adiknya. Lampu kamar masih terang. Ia melihat adiknya sudah memejamkan mata. Kemudian ia menarik selimut untuk membungkus tubuh adiknya yang saat itu ia kira sudah tertidur. Dengan lembut ia mengusap puncak kepala adiknya.
"Jadilah anak yang baik dan pandai menjaga diri," ucap Xavier lirih.
Xaviera masih mendengar ucapan Xavier karena pada saat itu Xaviera sedang pura-pura tidur.
Setelah Xavier mengira jika adiknya sudah terlelap, ia pun mematikan lampu kamar dan menghidupkan lampu tidur kemudian menutup kembali pintu kamar adiknya.
Xaviera merasa ada yang aneh dengan kakaknya. Setelah kakaknya keluar dari kamarnya, ia pun kembali membuka matanya. Ada rasa gelisah yang ia rasakan. Tiba-tiba saja ia teringat ketika ayahnya meminta ia sembunyi di dalam ruang bawah tanah dan tak lama terdengar suara ayahnya yang berdebat dengan beberapa orang pria, selanjutnya terdengarlah suara letusan tembakan.
Pikiran Xaviera terlalu bising dengan peristiwa ayahnya meminta agar ia sembunyi dan juga suara tembakan yang sempat ia dengar di siang itu. Tetapi berkat kakaknya mengatakan jika ayahnya telah bangun dan pergi ke luar negeri untuk bekerja, membuat perasaan gelisah nya sedikit mereda. Walaupun demikian, malam ini tetaplah ia tidak bisa memejamkan matanya.
Setelah memeriksa rumah sudah terkunci, Xavier kembali ke kamarnya. Tubuhnya yang sudah berada di atas ranjang tampak gelisah. Berulang kali ia berpindah posisinya tetapi ia tetap merasa tidak nyaman. Ia pun berjalan menuju meja belajarnya dan membuka laptopnya. Sebuah file yang berisi kenangan bersama ayahnya pun ia buka. Walaupun mereka hanya bertiga, terlihat ekspresi bahagia diantara merek bertiga. Kembali hatinya di hujani rasa sedih. Tak ingin berlarut, ia pun menutup kembali laptopnya.
Pikirannya berkelana ke masa depan adiknya. Dengan kondisi seperti ini, ia tidak mungkin meninggalkan adiknya untuk bekerja. Akhirnya terlintas di pikiran Xavier untuk menitipkan adiknya ke panti asuhan agar ia merasa tenang saat bekerja dan juga saat ia akan membalaskan dendam atas kematian ayahnya.
Keesokan harinya, Xavier sudah mengemasi barang-barang adiknya. Xaviera yang melihat kakaknya yang pada saat itu mengemasi barang miliknya pun merasa heran karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya.
"Kakak sedang apa?. Mengapa barang-barang aku kakak masukan ke koper?"
"Oh iya, kakak lupa memberitahukan kamu jika hari ini kakak akan menyusul ayah untuk bekerja diluar negeri. Jadi kakak ingin menitipkan kamu ke rumah orang baik dan kamu akan menemukan banyak teman di sana," jawab Xavier.
Xaviera yang mendengar jawaban kakaknya pun membalas dengan ekspresi datar. Sepertinya ada rasa ingin memprotes dengan sikap kakaknya itu.
"Aku saja yang mengemasi barang-barang ku."
Xavier menoleh ke arah adiknya dengan rasa bersalah tetapi ini harus ia lakukan demi keselamatan adiknya.
"Nanti ketika sampai di sana katakan pada mereka nama kamu adalah Grizelle jangan katakan Xaviera," pinta Xavier.
"Mengapa begitu?"
"Grizelle itu juga kan nama kamu. Xaviera Grizelle Werner. Tetapi kamu cukup katakan nama kamu Grizelle dan jangan katakan nama depan kamu dan juga nama belakang kamu yang merupakan nama keluarga kita," pesan Xavier.
Xavier ingin menyembunyikan identitas adiknya. Agar para mafia tidak melacak keberadaan adiknya.
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Naya Agustin, "aku mencintaimu, tapi cintamu untuknya. Aku istrimu, tapi kenapa yang memberi segalanya ayah mertuaku?" Kendra Darmawan, "kau Istriku, tapi ayahmu musuhku. Aku mencintamu, tapi sayang dosa ayahmu tak bisa kumaafkan." Rendi Darmawan, "Jangan pedulikan suamimu, agar aman dalam dekapanku."
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"