da di sini, di tempat di mana aku dikelilingi oleh benda persegi aneka warna dan kaligrafi indah di sampulnya. Setiap Sabtu, in
ks
p buku untuk menentukan bagian buku yang ingin ku baca lebih dulu. Tentu saja dengan membelinya, apalagi sampul buku ini masih tersegel rapi di dalam sebuah plastik bening. Dengan kame
bahasanya lebih mudah kumengerti ketimbang novel terjemahan luar negeri. Sekalipun sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, akan tetapi teta
ngapa aku bukan tipe penulis romantis, atau adegan dewasa seperti kebanyakan teman sesama penulis. Aku lebih mahir dalam mengekspresikan gambaran setan, iblis dan kejadian mengerikan yang dialami tokoh ceritaku. Novel pertamaku laku keras di pasaran, mengangka
but. Tetesan air yang perlahan itu justru membuat perhatianku teralih. Kedua bola mata langsung tertuju p
a di sini biasanya tidak sehening ini. Walau tidak ramai pengunjung, tapi ada lantunan musik yang membuat pengunjung santai dan makin betah. H
buah novel dengan tema fallen angel membuatku sedikit tertarik, teringat akan novel yang kutulis sebelumnya, yang juga mengangkat tema yang sama. Aku putuskan mengambil novel ini juga, ka
dalam lima detik, tapi seperti kain basah yang diperas dengan kasar,
ada di sana. Namun tidak ada sahutan. Bahkan tidak ada seorangpun yang duduk di kursi ka
a semu
iapa tau panggilan kali ini dapat mereka dengar. A
lhasil aku melupakan novel ketiga yang hendak aku ambil tadi, dan mencari s
Aku mendongak dan menatap bagian bawah, tepatnya belakang rak buku. Namun tida
air tadi masih jelas kudengar sampai sekarang. Aku kembali menajamkan pendengaran, mencari di mana asal muasal kucuran air yang mengusikku sejak tadi. Rasa penasaran juga mendominasi, bahkan aku melupakan buku yang sudah kupilih tadi, walau masih kudekap dalam dada. Satu pe
ap rak-nya. Dari celah rak paling bawah, aku melihat sepasang kaki. Tanpa alas kaki. Kaki tersebut terlihat kotor dan pucat. Berdiri di belakang rak, menempel di tembok. Jantungku berdegup lebih cepat. Tanganku mulai gemetaran, berkali-kali aku menelan Saliva agar mudah untuk berteriak nantinya. Karena aku yakin sepasang kaki yang bersembu
aju, menembus rak di depannya. Aku yakin, dia hendak mendekat. Entah kenapa mereka selalu berlaku hal sama, di saat aku ingin merek
untuk mendongak untuk menatapnya. Itu semua di luar kendaliku. Dengan bibir bergetar aku mulai melihat tubuhnya. Gaun yang ia pakai seperti gaun pernikahan, model yang masih terbilang baru, dengan dominan warna
os
Lili?!" suaraku terbata-bata. Bayanganku seolah terserat pada kejadian terakhir pertemuan ku dengan Lili. Itu adalah tiga hari lalu, dia datang dengan wajah berbinar memb
h satu temanku, tapi tetap saja terlihat
" kata Lili dengan terisak. Di
penasaran apa yang terjadi padanya, kenapa dia meninggal dengan pakaian seperti ini, dan kondisi
dapat memundurkan tubuhku walau sedikit. Sikapnya aneh. Dalam beberapa detik saja, wajah Lili berada tepat di depanku. Ak
engan seragam toko buku ini. Di belakangnya juga ada seorang pria dengan pakaian yang sama. Mereka karyawan toko buku yang minggu lalu kuliha
ih, Vit!" seru pegawai
ya. Biar aku ambil lap pel dulu, Na." Dia b
ada yan
ehnya. "Nggak apa-apa kok. Cuma jatuh a
kok tiba-tiba ada air di sini, ya,"
engar masuk akal. "Oh ya, saya beli novel ini." Dua b
__