i bahwa ia pasti bisa. Bukan karena apa. Tetapi, memang harusnya seperti itu sebelum ia mendapatkan hal yang tidak d
at dari kulitnya yang putih, tubuh yang tingginya berkisar 165 cm, tidak terlihat kurus, juga tidak terlihat gemuk. S
orang tua, ia akan membantu ketika melihat orang tua yang kesusahan dimanapun ia menjumpainya. Atau, kepada
ampu mengikuti, mampu melakukan, mampu berfikir, dan bisa semua itu.Akan tetapi, hanya secukupnya saja. Padah
!" gerutu sang kakak. Alana yang masih duduk di depan sang kakak, dengan mengerjakan beberapa
ak," uj
ia lulus dari SMA. Padahal, ia saja belum masuk ke perguruan tinggi. Walaupun, sebentar lagi ia akan masuk. Tetapi pikirkan saja coba, kak
bisa. Bodoh banget sih jadi orang!
apapun yang ia lihat, semuanya emang harus ia terima mau bagaimanapun,
. Mama sampai ga fokus sama urusan Mama." ucap
a. "Tuh, liat Mah. Alana masa dari tadi suruh ngerj
hkan kakinya menuju tempat Alana duduk dan mena
erit Alana ketika meras
jalan menuju kamar di ujung, tak lain kamar Alana sendiri. Sang mama membuka pin
!" je
kan kedua tangannya di depan dada, mel
U TUH BIAR KAMU BISA JADI ANAK PINTER. BISA NGGA SIH, GA USAH MALU-MALUIN KEL
a mengharapkan papanya yang selalu ada untuknya dan memberikan semangat. Tetapi, akan ada tanggapan negatif dari sang mama, dan kakaknya yang membuatnya tidak bisa b
benar menginginkan kehadirannya. Tetapi, mungkin sekarang bukan dan belum waktunya saja. Apa ia har
U!" perinta
s menahannya. Ia menundukkan kepalany
ak sang mama lagi yang
hnya tidak kuat untuk berdiri, ia paksakan untuk bisa. Karena
ama. Kemudian berbalik, dan membuka pint
mandang pintu tersebut, dan menundukkan kepalanya kembali, mer
t Mah." uc
AUSAH LELET YAAA JADI ORANG!" teriak Alena
hembuskan nafasnya pelan. "Alana, you can! Don't down!! Its, ok
iknya. Dulu, papanya Alana adalah orang yang paling percaya dengan Alana. Karena, Alana adalah anak yang paling baik, ceria, rajin dan selalu dinomorsatukan oleh sang papa. Tetapi, itu diselingi dengan kesibukan papanya. D
n prestasi. Apapun itu, tidak pernah sama sekali. Tetapi, semua itu hanya kebohongan ya
an. Ia memang wanita licik yang tidak punya hati. S
10 tahun
rusia 10 tahun. Tepatnya, ketika kenaikan kelas di SD. Alana yang
di luar kota. Jadi, yang akan mengam
iri mamanya juga. Saat pembagian rapor di kelas dua, nama Alana berada di posisi rang
yata, berpapasan dengan beberapa ibu-ibu di luar ruangan. Ada yang anaknya kel
erapa, nak?" tanya sang ibu ya
kat 3, Bu." j
t pertama di kelas kamu,
garkan, hanya men
naknya Bu?" tan
Evan, Bu.
ter ya Bu?" ucap
tanyanya, ketika melihat Alana yang
yang kelas du
tanya ibu y
au?" tanya mama
, kelas dua ju
Kakaknya malah dapat tiga. Alena, coba liat ade
pinter." sambu
i kita gatau bisanya dimana. Biasalah, bed
arah. Wajahnya berubah seketika. Sepertinya, ia ta
m-senyum menanggapi penuturan ibu-ibu disit
lang!" batinnya, lalu melepaskan tangannya dari sang
at Alena pergi b
hbac
NYA JADI GOSONG, GARA-GARA LO NGELAMUN DARI TADI. BE
k menjadi kaget, dan lebih kagetnya ia me
ak sengaja, hal itu membuat ia langsung menjerit. Ia tak menyadari,
nass!" jeritn
dek kaya lo. Kalo mau ngerjain sesuatu tuh, mikir! Punya otak ga sih lo?" nyo
enatap keperg
ba-tiba sang Bibi datang
leh dan menatap sang bibi. Lalu, ia
a bantuin Bibi ma
ngar penuturan majik
jaan saya, biarkan saya saja yang mengerjakann
saja ia pakai untuk membuat telur tersebut menol
merasa ngerepotin Bibi kok. Kan, emang seharusnya A
a di posisi majikannya tersebut. Tak butuh waktu lama, sang bibi langsung menghamburkan pelukannya kep
ak seperti ini, inilah hal yang ia inginkan dari mereka, terutama sang papa
semudah dan bagaimanapun keadaan Non. Ingat, ada Bibi disini
akin menahan tangisnya. "Kenapa sesaki
ng bibi. Dengan air matanya yang tak pernah henti
Alana sudah dewasa hanya bibilah yang selalu menemaninya, di waktu dan di saat apapun itu. Hanya bibi, dan bib
emua itu tak pernah dijadikan beban oleh sang bibi. Alana merasa dia sangat berhutang kepada bibinya. Bertahun-tahun lamanya, bibilah yang selalu menemaninya. Bukan disaat waktu ia bersedih saja, tapi bibi
pnya, kemudian memberikan senyuma
aja ya. Nanti, biarin Bibi aj
na ngga mau, ini kan juga tugas Alana. Yaudah, mending
ma rasanya, dari dulu sampai sekarang. Alana, tetaplah Alana yang ia lihat. Walaupun, kini ia
ang masak. Ayoo!" uca
ati tersenyum. "Ayo!"
beberapa hal yang bibinya perintahkan. Dan bibinya menyiapkan hal-hal yang perlu disiapkan. Semuan
ana mandi dulu aja, siap-siap abis itu tu
ring menoleh. "Alana, makan
Ngga boleh gitu toh, Non. Kan, harus maka
luarga besar? Emang Alana dianggap
perihal apa yang Alana rasakan. Bibi langsung men
a manusia yang berhak untuk diperlakukan sebaiknya. Apalagi, ini keluarga Non sendiri, bukan orang lain. Jadi, Non lakuin
penjelasan sang bibi
annya buat makanan yang bener, malah asik se
uran sang mama, akhirnya keduanya kembali sibuk dengan pekerjaannya. Sebenarnya, m
makan!" perintah sang mama, yang su
jawabnya. Kemudian, berlalu meninggalkan da
, ay ..." langsung dipotong oleh Alena,"Lo bisa ngga sih, ga usah nakut-nakutin gue, dengan cara lo berdiri di depan pintu kaya gini? Untung
kin jauh dari pandangannya. Ia membuang nafasnya pelan, "Serba salah ya, jadi Alana,"
a jadikan tempat duduk ketika papanya ada di rumah dan makan bersama keluarganya. Tetapi, hal itu sudah tak pern
uduk di situ?" tiba-ti
etika dan menatap sang mama. "Emang, Al
kan sang mama sudah menunjukkan aura yang
kalau mau makan jangan di meja makan keluarga. Kalo bisa, kamu makan sama Bi L
diri, dan mengatur kursi seperti semula serta meninggalkan
matanya, kemudian menatap langit-langit kamarnya. "Ya Allah, Alana masih kuat kan?" tanya
kan oleh keluarga seperti ini, daripada
peluk dan air matanya kembali menetes.
na cape. Alana butuh semangat, tapi dari siapa? Siapa yan