ilah tempat yang ia tuju. Masa depannya seperti apa, akan ditentukan di sini. Sebenarnya ia gentar. Sewaktu di kampung dulu, ia belum pernah ke
jalan. Ia hanya memberikan secarik alamat pada supir taksi, dan langsung diantarkan hingga ke depan pintu rumah yang dituju. Menurut Tanti, di Jakarta transportasi itu mudah. Asalkan kita punya uang untuk membayar
alah bahasa Jawa. Sementara di Kampung Rambutan ini adalah campuran antara bahasa betawi dan beberapa bahasa daerah lainnya. Dialek yang mereka ucapkan, sangat asing di telinganya. Saat mendengar orang-orang berbicara saja, Mayang langsung merasa kalau ia telah berada jauh dari kampungnya. Ia ju
lihat ada beberapa bapak-bapak lainnya yang juga berkemeja yang sama, Mayang
h pada bapak supir taksi. Kertas lusuh itu adalah alamat rumah Mahesa di Jakarta ini. Kertas
mata. Seratus ribuan itu artinya seratus ribu lebih. Sementara ongkosnya dari Banjarnegara ke Jakarta ini saja hanya sembilan puluh ribu
nya ini, Dek?" tanya s
piah, Pak. Saya takut kalau uang saya tidak cuk
rang, 'kan Adek bisa minta sama yang punya rumah nanti." Mendengar usul sang supir, Mayang seperti m
turun jika berhubungan dengan nama Mahesa. Ia bisa gembira sekaligus sedih di saat yang bersamaan. Cinta telah membuat hatinya jungkir balik dan logikanya tumpul. Beberapa menit kemudian ia tel
enaiki tangga setinggi itu setiap hari? Pak supir tertawa saat mendengarnya berbicara sendiri. Ternyata tanpa Mayang sadari, ia telah menyuarakan suara hatinya. Pak supir menjelaskan kalau gedu
ksi memang benar. Argonya hanya mencatat angka seratus dua puluh ribu rupiah. Uangnya
a kayak kosong ya?" Pak supir taksi memandang rumah Mahesa dengan tat
pasti Mas Esa memberitahukannya pada saya," bant
ang yang kamu cari tidak ada, sebaiknya Adek pulang ke kampung saja. Jakarta i
segera punya anak.
rena Mayang msngingatkannya pada putrinya sendiri. Mayang sangat bersyukur. Hari pertamanya di Jakarta, ia telah bertemu dengan orang baik. Setelah taksi menjauh, Mayang segera mendekati rumah Mahesa. Ia tidak peduli
da orang di rumah?" Mayang
rumah. Mayang mendekati pagar. Ia mengetuk-ngetuk gembok pada besi pagar. Ia berharap keributan yang ia timbulkan, akan membuat
di samping rumah Mahesa membuka pintu. Seorang ibu muda dengan ana
ayang merasa darahnya tersirap. Ternyata apa yang didu
gak tinggal di sini. Esa udah kawin sama anak atasan b
mi yang dipijaknya amblas ke dalam tanah. Kalau Esa sudah menikah,
a kehilangan fokus. Ia masih tidak percaya kalau Mahesa telah menikah. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus ia lakukan? Perutnya makin hari akan semakin membesar, sementara ia tidak mempunyai suami. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan, Mayang jongkok memeluk lututnya sendiri di depan pagar. Rasa lelah dan lapar yang tadi ia rasakan, hilang sudah. Ia kini mati rasa. Bahkan saat hujan turun dan t
lo si Esa kagak bakalan pulang. Lo batu amat yak? Sono pulang! Ntar lo dicariin emak lo." Sang tetangga menggeleng-gelengkan
ang mencoba berdiri. Sebaiknya ia pergi saja dari sini. Tidak ada gunanya juga ia menunggu Esa. Seandainya pun mereka bertemu, status Esa telah berubah. Esa telah menjadi suami orang. Tanpa menjawab pertanyaan te
a orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan. Ia menanyakan angkot mana yang sekiranya lewat ke terminal Kampung Rambutan. Satu jam empat puluh menit kemudian, barulah ia sampai di tempat tujuan. Ia
r mineral saja. Sisanya hanya berupa uang recehan. Sementara bus terakhir yang akan berangkat ke Banjarnegara baru saja meninggalkan terminal. Mayang hanya bisa menatap n
ang bingung?" Mayang yang sedang duduk di kursi tunggu, menoleh sampi
ang ke Banjarnegara,
aja jalan. Kok si Eneng tidak nai
uhnya ia bingung dan ketakutan. Ia tidak tau harus meminta tolong
pagi sekali Ibu anterin pulang ke Banjarnegara. Mau?" tanya si ibu ramah. Mayang bimbang. Di satu sisi, ia memang ingin sek
eng siapa?" sapa si ibu ramah. Ragu-ragu Mayang mengulurkan
i kok. Pokoknya besok pagi-pagi, kamu akan ibu antar naik mobil pribadi ke Banjarnegara. Jadi lebih cepat sampainya. Mau ya, May?" bujuk Bu Fatma lagi. Mayang ya
a, mewahnya luar biasa. Mayang duduk di belakang, sementara Bu Fatma duduk di depan dengan supir. Tubuh lelah, sementara perut baru saja diisi, seketika membuat Mayang mengantuk. Beberapa menit
nepuk bahunya. Ia gelagapan dan membuka
mari karena silau. Mayang memandang sekeliling. Ia bingung melihat suasana tempat mobil Bu Fatm
u?" Rumah Ibu yang mana?
ecil, yang Bu Fatma sebut dengan nama lift, ia pun ikut masuk. Saat lift bergerak naik, jantung Mayang mencelos. Ia merasa tubuhnya mendadak ringan. Setelah pintu lift terbuka, ia kembali
bu menekan bell. Sejurus kemudian pintu pun terbuka. Mayang merasa tubuhn
kamu, Mayang," sahut Bu Fatma d
mah Mayang di Banjarnegara san
adalah di sini. Bu Fatma tel
dalam kamar. Sementara itu, empat orang laki-laki bertubuh kekar, be
lagi ini,