h kontrakannya. Tak perlu lama untuk bisa menebak, itu pasti Noah
elirik ke Amara. "Dijawab Bun telfonnya, siapa tau
ara lalu beranjak menuju ke kamar mandi. Ponsel itu terus berb
at malam,"
mara?" tanya sua
siapa?" tanya
Apa Ama
a saya sampaikan ke Bunda." Bari bersandar di
ni
tersebut berde
an siapan
naknya. Apa ada pesan, nant
memutuskan percakapan. Bari meletakkan ponsel. Ia kembali
eritahu jika tadi Noah menelfon. Amara tertawa saat B
ma laki-laki lain." Bari begitu emosi, ia masiu tak tahu jika kedua orang tuanya bercerai. Amara j
buat kita jual, Bunda juga udah dapat lokasi bazarnya, di car free day. Nanti kita da
wa di sa
ara mulai menyalakan laptop, jemarinya mulai mencari-cari barang dagangan. Ia tak perduli jika terkesan gila bekerja atau gila me
*
g kantor tempat Amara bekerja. Ia terus menat
kedua mata Kakak laki-lakinya itu. Wanita dengan rambut panjang dengan ujung rambut di
erusahaan pembiayaan kedaraan. Mau baru atau bekas tangan pertama, juga bisa. DPnya Kakak yang bayar ya, kamu yang bayar cicilan setiap bulannya. Ambil
urun ke lapangan, juga naik taksi
tetap menjadi sifatnya. Ia menge
s? Sampai tiga puluh juta?" ta
urvey langsung ke showroom mobilnya, ya?" raut wajah Almer ber
yang selalu Amara malas untuk membahasnya. Dengan raut wajah sedikit merengut, Amara hanya diam. Al
edua matanya mengarah pada satu sosok pria yang baru saja datang dan berjalan masuk sambil tersenyum rama
suka? Perlu aku tanyain namanya? Ka
ah di besar-besarin, Kak. Itu tadi, pertanyaan aku belum dijawab
punya adik lagi di usia mereka yang udah belasan tahun. Kamu tau, Dinda sampai ngambek ke aku,
beli, aku harus ke kantor pemasaran, takut macet." Ia beranjak, Almer juga ikut beranjak. Amara meraih jemari
eluar kedai kopi, sedikit berlari untu
*
Ibu ya, untuk saya isi berkasnya," ucap Amara kepada sepasang suami istri yang tampak sudah usia lanjut. San
um punya rumah, jadi ... kami mau membelikan untuk m
ama suami saya pingin anak-anak punya rumah, mereka semua sudah menikah. Anak saya empat, tapi tinggal yang satu ini belum punya rumah. Biar lah, kita yang ambilkan, ya
anak kami ini yang mau memakainya, demi cucu-cucu saya juga, kasih
Mbak Amara, kok, kenapa di sikut?"
nya. Saya ikut senang dengarnya, mudah-mudahan, kedepannya tidak jadi masalah y
Mbak Amara, bentuk perhati
erian Ibu dan Bapak. Saya, juga tinggal di rumah kontrakan petak lho, Bu, sama anak saya, dan kami bahagia. Mudah-mudahan, anak Ibu juga bahagia walau tin
ak dengan suaminya yang menganggukan kepala
*
an untuk memudahkan aktifitas wanita itu. Adu argumen pun tak terelakan, dengan Amara yang merasa ia baik-bai
i kalau hujan, dan kalian harus buru-buru ke suatu tempat. Ra, dengerin Kakak, jangan terus bertahan sama prinsip dan ego
laki-laki lain, tapi, ini untuk hal lain dan demi Bari.
u repotin, Kak Almer, suatu hari aku juga akan beli sendiri, a
y, kamu akan repot siapin semua. Please, jangan egois untuk kali ini. Aku tinggal b
ni, deh, Kak, sambil
enang karena kamu bisa kasih hal itu. Ibu sama Ayah juga berpikiran yang sama kayak aku, Dita juga, malah dia minta
tak lama, suara rintik hujan terdengar. Ia sedang duduk di teras kecil depan kontrakannya saat berbicara dengan Almer. Ia b
ana? Mau disiapin buat besok pag
erus-terusan begini?"
." Amara terus keras kepala. Hingga Almer hany
ambu