t subu
lalu berbalik menghadap sosok yang baru saja berbis
n dari ranjang. Kosong. Apa s
r dengan posisi menyamping ke arah tempat kosong yang biasanya diisi oleh Mas Satya. Ponsel yang sejak kemari
sekali tidak pern
asanya d
a yang menunjukkan di mana keberadaannya, teta
na
t siapa yang menelpon Mas Satya sebelum dia pergi. Baya
on nomor paling atas dalam riwayat telepon: Mas Satya. Se
ku berdetak kasar. Apalagi sampai ke lima kalinya,
agi di
ui aplikasi perpesanan on
a samping kamar. Telapak tangan berge
? Seolah-olah, aku tidak pantas untuk merasakan bahagia dalam uru
ku tepat hari pernikahan demi mengej
enyelamatkan pernikahanku, tetapi kini juga sering me
etapi air mata malah bergulir menyusur
dengar nyaring, m
hijau, lalu menempelkan layar dingin di telinga. Bibirku
o, D
g? Kenapa belum pulang?"
i ke
ra sama sepupu kam
lepon. Sekali lagi, aku melirik jam. Pukul sete
ra. "Mas nanti datang ke rumah Nenek kok. N
getahui Mas Satya berbohong d
pu
ertawa saki
laikum ...." Sambunga
iku. Kecewa karena Mas Satya tidak pernah pulang; kesal Mas Saty
gung harus mengeluarkannya bagaimana. Ingin marah, tapi siapa
dengan satu-satunya opsi di
>
i. Aku mau kerja!' Begitu pinta tanpa suaraku pada perut yang masih saja sedikit nyeri. Tambah
an yang
in
isa yang sibuk mem
jangan bikin repot orang! Saya mau pergi, nanti Zia yang gantiin saya.
a,
mudian menghentikan taksi dan b
amuala
Lisa, sampai salam ters
tersenyum kikuk pada Mi
... dia tidak cerita pada orang lain, kan? Aku lupa dengan fakta
oko, Milka meno
a Mas Satya!" Milka memekik tertahan. D
tahu r
si. Tapi nggak papa. Eh, pas aku cerita, Bu Lisa langsung larang aku cerita ke orang lain. Kenapa sih? Kenapa harus disembunyiin? Kan keren banget gitu, Satya si aktor terkenal menika
a, dan mungkin semua wanita: ingin memiliki suami me
likasikan hubungan Mba
ubungan, aku jadi lancar mencari alasan
mulutnya seraya
g tanpa aba-aba. Dia tersenyum hangat selayaknya
bangga. "Mbak, aku pulang
keluar sebelu
aikumu
esrek gitu otaknya." Zia meletakka
ak t
sa antarnya? Kalau nggak bisa,
papa. B
sudah be
>
ikit membuka mata untuk melihat sekitar, dan menemukan
sebuah pertanyaan yang membuatku merasa tida
tertidur lelap. Tapi (lagi) suara gemuruh ringa
erus mengganggu, tetapi aku malas mengutarak
buka. Lalu menggeleng sama
elakanginya. Tetap terjaga deng
i gemuruh di perutnya sampai te
at tidur. Ikat rambut di atas nakas aku
ja gagal. Bahkan, meski dalam keadaan kesal pada Mas S
Ponselnya. Jemariku saling meremas, bimbang. Tapi di sisi lain aku penasaran dengan isi benda itu. B
aneh di dalam benda itu. Tapi jika sebaliknya ... a
tya. Terlalu mudah, aku menarik benda perseg
eja. Sekarang, memanaskan nasi adalah
as Satya. Tapi sialnya, gawai Mas Sat
ya boleh mencoba dua kali. Ji
ap Mas Satya mustahil. T
rena tidak ada yang tahu
bibir bawah bingung. Sisa satu kesempatan lagi
i. Coba dua kali saja? Tapi jika gagal untuk ketiga kalinya, p
tanggal, bulan, dan tahun pernikahan
al
nya adalah ta
belum semua angka aku masukkan, ponsel bergetar dengan suara
na
ingin dibicarakan wanita itu jam segini? Dengan telepon tengah
itu b
ngan sehingga ponsel Mas Satya jatuh. Belum sempat mengambilnya
r da
mematikan kedua kompor. Nasi tidak masalah,
mbali lagi ke ruang makan, benda itu sudah ada di tangan Mas Satya
pribadi aku, Dina?" Pertanyaan dengan
sebelum menjawab dengan tantang
na. Dan ini urusan pribadi aku
andinya." Sejak kemarin, Mas Satya benar-benar membuat tumpukan kesalku semakin menggunung, dan aku pikir sekarang waktunya mengeluarkan semua. "Mas punya rahasia besar, kan, di sana? Apa? Mas p
Nada suaranya mulai bersahabat. Aku bisa bernapas lega, k
malem begini? Urusan kerjaan? Kenapa bukan produser, at
ngan berpik
intonasi suara. Lalu setelah itu, menormalkan ekspresi. Aku harus tenang. "Udah satu tahun kita nikah,
di, aku langsung menuju kamar. Membanting t
>