seolah seluruh dunia menyempit. Lorenzo sepertinya selalu satu
ahan air matanya, tapi matanya sudah mulai memana
rlahan, tetap tak bergerak, hanya m
an nada yang datar dan penuh ancaman. "Kau
bebas," ucapnya pelan, hatinya dipenuhi rasa marah dan bingung. "Aku
lam, seakan menilai setiap
melangkah lebih dekat, suara langkah kakinya berat. "Kau sudah
h lanjut, tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Keberanian yang ia kum
nya dengan suara yang hampir tak terdengar
sebuah senyuman yang ha
h ada di sini, di tempat yang lebih baik,"
kekuasaan Lorenzo. Setiap langkah yang ia ambil hanya membawa dirinya lebih dekat pada
merasa semakin terjepit. Hatinya berdegup kencang, tapi di balik rasa
u?" Isabella akhirnya bertany
h menimbang jawabannya. Lalu, dengan sed
h tahu jawabannya, Bella," katan
mau terjebak di sini," gumamnya dalam hati, tapi ia t
alan Isabella, matanya terus mengawasi seti
katanya, dengan nada yang begitu pas
ia lewati, hatinya bergejolak. Ia berusaha meredam rasa tak
u?" tanyanya lagi, suara kali ini penuh emo
aca, dan tanpa peringatan, ia melangkah semakin
uara lebih dalam dan menggoda. "Kau tidak bisa melarikan di
at baginya. Tanpa berkata lebih banyak, ia berusaha memberanikan diri, mena
kan mel
enilai keteguhan dalam suara Isabell
anya lebih menarik," jawabnya, nada suaran
, satu hal yang ia tahu, ia harus melawan, apapun yang terjadi. Ia tidak akan
i tak mengucapkan kata-kata lagi, kehadirannya sepe
rasa takut yang menguasainya, dan berusaha mencari jalan keluar d
at dalam dunia yang telah dimulai Lorenzo? Hanya waktu yang akan menjawab,
dilepaskan. Lorenzo mengamatinya sejenak, lalu mendekat dengan langkah besar, tangannya yang k
o, suara terkesan datar. "Kamu belu
g begitu kuat. Perasaan kesal dan frustasi bercampur aduk, tapi ia teta
rasa sakit itu
jah yang tak terbaca. Meskipun pria itu tidak menunjukkan ekspresi terla
kan Isabella dengan hati-hati ke kursi,
urus," ujarnya sambil memindahkan sebuah pirin
setiap suapan yang diberikan oleh Lorenzo terasa seperti penyiksaan t
dan garpu, dan dengan telaten ia mula
erus membara. Rasa frustrasi itu mengalir dalam dirinya, seolah setiap gigitan makanan yang ma
ia itu memegang kendali atas hidupnya, dan Isa
akan mengeluh atau berkata apa-apa. Semua perlawanan yang ada hany
diri. Rasa lapar mulai menghantui, dan tanpa sadar, ia menerima suapan demi suapan yang
suaranya rendah. "Kamu selalu diam. Aku tahu k
engatakan sepatah kata pun. Dalam hatinya, ia berjan
erusaha menenangkan ha
ngan suara yang semakin dalam, sedikit senyum terkemba