lan burung terbang di langit pun terdengar hingga membuat decakan kagum dariku. Berulang kali
nyakan kenapa lama sekali pergi. Dari pagi keluar rumah dan baru sekarang sampai. Tadi, sepulangnya bertemu D
ita buruk dari Dwiyan. Atau, alasan yang kukatakan kepada ibu. Kalau aku bertemu dengannya. Yanti merupakan saha
anyaan barusan kembali menyadarkanku. Ibu berdiri
gan guratan keriput di dekat mata. Baru sekarang kusadari kalau ibu
tempat tidur dan menghampiri ibu y
tidak sedang menelepon Dwiyan atau menceritakan kabarnya kepada teman-
ut wajah curiga. Aku saja sampai berpikir keras untuk m
ersit rasa bersalah masih menghinggapi rongga dada. Aku merasa tidak enak karena berbohong lagi. Tapi, kuhara
lum merapikan tas dan menyembunyikan ponsel dengan mengatur mode hening.
ar, Citra harus m
erantakan di atas tempat tidurku. Kudengar langkah kaki mendekat. Lalu, buru-buru kumasukkan tas
mencoba untuk mengalihkan perhatian. Karena takut ibu menanyakan keber
baik. Karena setiap kali kabar buruk akan kudengar, selalu saja ibu melakukan hal serupa. Kalau mengenai masalah pekerjaan. Aku
ut kalau aku menjadi kepikiran. Meski pun begitu tetap saja tidak bisa membuatku merasa nyaman. Aku jadi berpikir kalau
ih. Citra juga l
ja di tempat
ya. Bahkan, tanpa menanyakan pun aku bersedi
tanyaku penuh kebingungan melihat
MK. Dan lapangan pekerjaan yang tersedia untuk lulusan sepertiku bisa dibilang sangat sedikit. Lulusan sarjana juga cukup
njelaskan detail lowongan pekerjaan yang dikatakan barusan. "Se
ku. Hal paling aku takuti adalah harus berhadapan dengan banyak sekali oran
Berulang kali aku bertanya kepada ibu dan selalu mendapat jawaban sama. Kalau aku
idak yak
gung harus menjelaskan bagaimana. Kalau menjelaskan tidak menyukai keramaian sudah pasti ibu marah. Jadinya
aja. Saat mendongak, aku melihat pintu kamar tertutup dan raut wajah ibu yang menautkan kedua alis. Ada ketegasan
kedua tangan di depan dada. "Kenapa tidak yakin? Padahal
ak bekerja. Pekerjaan apa saja, asalkan tidak berinteraksi dengan terlalu banyak orang. Mungkin terdengar tidak masuk akal. Tapi, memang itu alasannya. Sela
i untuk tersenyum ramah terasa sangat sulit," jelasku sebisa mungkin. Menjelaskan ap
sebaris kalimat pun keluar. Dan, membiarkan suasana tidak nyaman masih terus berlanjut. Kadang terpikirkan untuk menjabarkan semua yang kurasakan.
au sampai menolak untuk bekerja. Memangnya pekerjaan apa yang bisa dilakukan lulusan SMK
g menetes di kedua telapak tangan yang kugenggam erat. Bahkan sampai terasa menyakitkan. Selama ini aku selalu menurut. Tid
tap ke depan. Tidak ada niatan untuk membujukku atau menghibur. Bahkan, ak
n begini? Aku hanya ingin orangtuaku paham. Kalau aku mempunyai kek
Citra mohon.." jaw
. Bahkan, sekarang jauh terasa lebih berat. Untuk satu kali ini saja. Aku ingin Ibu meng
lu kan kalau sampai bertemu temanmu? Bukan karena takut
anku seperti ini. Sudah belasan kali aku dimarahi karena
u kan kebiasaan Citra dari kecil. Kenapa sekarang berbeda?" tanyaku keberatan. Aku sudah menanyakannya. Bagai
yang baru dikenal. Apalagi kalau sampai harus mengajak ngobrol. Aku belum punya keberani
u. Padahal, kamu yang tidak berusaha untuk melawan ketakutanmu," jelas Ibu panjang leb
Belajar memasak di saat anak-anak seusiaku seharusnya bermain-main. Di umurku yang kesebelas. Ibu mengajarkan me
ya. Karena aku adalah anak pertama. Apalagi perempuan. Adik keduaku lebih suka bermain
k lainnya. Dan, aku juga tidak tahu alasannya. Aku hanya membenci berada di keramaian. Terasa as
ang menetes. Kadang, banyak sekali pemikiran kalau mungkin saja aku bukanlah anak mereka. Seandainya aku memang anak kandung dar
h suatu ketika, karena malu diledek oleh teman sekelas hanya berdiam di rumah. Aku memutusk
sa duduk di bangku penonton. Untuk sekali saja, aku berharap ibu bisa merasakan segala ketakutanku ini. Hingg