tengnya berhati-hati, takut kalau isinya bisa saja tumpah dan mere
u tertiup angin dan menggabungkan diri bersama yang lain. Aku mengambil tempat duduk te
ini. Sebuah taman kota yang terletak di pinggir jalan Gatot Subroto. Persis sama
luas. Setiap kali ke sini, aku selalu membawa serta rantang plastik dengan b
daan. Ibu selalu sibuk dan harus bekerja setiap hari. Itulah mengapa aku yang mengerjakan semua urusan rumah termasuk memas
n pasti memberitahu lokasinya. Tadi sewaktu sampai di sini, langsung mengirimkan pesan singkat kalau menunggu di depan lampu tam
n janji karena latihan band sepulang kuliah. Aku mulai kesal karena janji-janji tidak tertepati olehnya. Selalu saja alasa
ah l
pemutar musik ini dimilikinya sejak dua tahun lalu. Saat berulang tahun ke tujuh belas. Bundanya memberikan hadiah
sang wajah sangat memaklumi tindakan Dwiyan. Yang selalu melupakan jan
lan puncak kepalaku. "Kalau itu sih lama, Citra. Maaf
wa lepas. Padahal sebuah perasaan sedih tengah bersarang di hati. Mendengar kalimat barus
ciptakan?" Ia bertanya d
um pernah bermain musik dengan lembut karena menyukai musik keras seperti rock. Tapi, petikan gitar
i sesuatu?" tanyaku penuh kecemasan. Aku bahkan
has milik Dwiyan. Namun, seorang pria dengan suara beratnya dan sedikit serak. Ada yang diubah. Kata-kata di dalam lagu yang diciptakan oleh Dwiyan adalah beberapa kalim
nya kukira cuma kebetulan. Namun, panitia lomba mendisku
ar kecewa dan marah. Aku bingung. Orang yang telah menjiplak lagunya tahu dari mana? Tapi, kenapa panitia jus
u. Pasti Dwiyan kecewa. Apalagi ini adalah perlombaan pertama yang d
i kami. "Lagu itu mewakili perasaanku terhadapmu, Citra.
erangan. Raut wajah itu begitu terluka. Selama mengenalnya dua tahun lalu, ia mampu menyembunyikan se
telapak tangan kami yang tengah bertautan penuh kasih. Aku mengusap punggung tangannya
a. Hanya saja, lagu ini kutulis untuk membahasakan perasaanku. Betapa hari
iya
unyai banyak waktu menemaniku setiap hari. Tapi, mendengar pengakuannya seperti menyadari sebuah ruang di hatinya yang s
dengan menatap wajahmu bisa menenangkan segala keresahan yang kurasakan. Aku jadi
oleh Dwiyan. Setelah berpacaran, ia jarang menunjukkan kepeduliannya. Membuatku berpikir kalau
Sekarang orang lain memang menjiplak karya pertama Dwiyan, tapi aku yakin dengan kemampuan yang dimil
i pun terlintas di benakku untuk melakukan tindakan kecil barusan. Aku
ang kulakukan hari ini, aku memilih menunduk. Menahan segala perasaan di dalam
undakku berulang kali. Namun, aku masih tetap menundu
n rambut panjang. Aku masih belum berani memandang Dwiyan. Karen
ggoda. Sekarang, jemarinya justru mencoba menggelitiki pinggang. Memb
asih kurasakan. Kenapa hari ini Dwiyan iseng sekali? Padahal
sini. Asalkan bisa melihat tawa bahagianya. Raut wajahnya berubah sumringah seakan menggodaku saja bisa mengembalika
mang sup
li menanyakannya, ia selalu saja memicu pertengkaran kecil. Dan, aku pasti mendiamkannya seharian. Mengabaik
. Aku penasaran cukup lama mengartikan maksud kata-kata Dwiyan. Justru m
heran. "Aku akan memberitahukan artinya jika kit
idak ada di dalam benakku. Aku takut berandai-andai kalau kami pergi ke jalan masing-masing. Tanpa me
putus. Meski pun nggak ada hal yang mustahil di dunia ini. Namun, sebisa m
asih bisa tersenyum jika ia berpaling dan meninggalkanku demi gadis lain. Banyak sekali pemikiran-pemikiran buruk berseliweran di dalam pikiran
emudian mengambil rantang yang kubawa dan tersenyum leb
n menaruhnya di pangkuan. Ia tersenyum menghirup aroma dari masakanku. Kala
perasan air jeruk nipis untuk menambah aroma dari masakan. Ia bahkan sudah men
il yang berhasil mendapatkan permen setelah mer
perlu waktu lama belajar. Beberapa kali kegagalan. Di mana hanya terasa pedas atau sangat asin. Menu
deh. Biar
nak.." jawabku membela diri. Padahal aku l
n tersaji di dapur. Karena kakaknya sibuk bekerja, begitu pula ayah
, aku mulai sering memasak makanan sehat. Dan, masakan yang berhasil selalu kubawa untuk
juga sayur cah kangkung yang pedasnya cukup untuk membuatku berurai air mata. Karena aku sama sekali tidak menyukai makanan
an pedas?" tanyaku keheranan. Aku juga sering menanyakan
edas itu enak," j
ia lebih banyak diam. Alasannya tidak menawariku makan arena aku sudah lebih dahul
Aku tidak mungkin memberikan masakan gagal, karena itulah ak
kubawakan hari ini. Sudah sangat lama ia tidak memakan masakan bundanya. Apalagi bertemu. Berbulan-bulan Dwiya
akarta, biasanya orang-orang di sana memakan gudeg. Gud
u. Apalagi jika rasanya terlalu manis. Ya, aku memang orang Yogyakarta tapi l
Mungkin tergantung sele
das atau ikan cakalang bumbu sambal matah. Aku masih mengamatinya makan dengan lahap. Sebenarnya, hatiku tidak benar-benar tenang. Masih memikirkan