gin dan hampa. Matahari sudah mulai mengintip dari balik tirai tebal, tetapi suasana hatinya sama kelamnya seperti hari-hari sebelumnya. Tak a
hadapi lebih buruk dari yang dibayangkannya. Sejak pernikahan kemarin, tak ada satu pun kata lembut yang terucap dari mulut Leonardo
membuatnya menoleh. Leonardo berdiri di ambang pintu, mengenakan sete
ara," ujarnya t
lan kepahitan yang menyelimuti teng
kita harus menjalani kehidupan sesuai aturan yang aku tentukan. Jangan mengharapkan apa pun dariku yang melibatkan cinta atau ka
lumnya, mendengarnya secara langsung dari mulut Leonardo tetap membuat hatiny
akan menuntut banyak darimu, kecuali kau harus menjaga dirimu sebagai istri yang
n penuh pertanyaan. "Dan... bagaimana dengan hubungan kita?" tanya
apnya dengan dingin. "Hubungan k
i tentang hubungan yang lebih baik. Dia tidak mengharapkan banyak sejak awal, tetapi k
riku?" Nadine mencoba untuk tet
i, kau bebas melakukan apa pun, selama itu tidak mengganggu jadwalku atau pekerjaank
i dua bagian yang tidak akan pernah bersatu. Nadine merasa
Leonardo menatapnya tajam, memperingatk
, Leonardo bukan pria yang bisa dia tantang atau ajak bernegosiasi. Hidupnya kini sepenuhnya ada
terjebak dalam pikirannya sendiri. Ia merasa seperti boneka yang ditempatkan dalam sangkar emas. Kamar me
-
ang ditetapkan oleh Leonardo. Setiap hari, dia bangun lebih awal, menikmati sarapan sendirian di ruang makan besar yang selalu kosong. Leonardo sering kali p
padanya, dia bisa merasakan tatapan dingin itu setiap kali mereka berpapasan di rumah. Seperti p
dibacanya. Hatinya terasa kosong, seakan-akan ia telah kehilangan segala sesuatu yang berarti dalam h
uara itu tiba-tiba ter
ri di ambang pintu. Dia mengenakan jas yang masih rapi
ine pelan, meskipun dia tahu suaminya
n panjang menyelimuti mereka berdua. Nadine merasa canggung, tetapi tidak tahu bagaimana memulai percakapan
ne akhirnya mencoba memecah keheningan
e repot-repot bertanya. "Lancar," jawabnya singkat t
mencoba. Suasana kembali hening, hanya suar
" ucapnya pelan namun tegas. "Pernikahan ini hanyalah formalitas. Jangan pernah berpikir lebih
keras bagi Nadine. Dia menundukkan kep
gkat, menelan perasaan pahit
h lagi. "Bagus," gumamnya sebelum meninggalkan Nadin