i klinik untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis wanita. Aku khawatir dengan mas
h resepsionis dengan senyum ramah. "A
ter spesialis wanita," jawabkumenunjuk ke arah ruang tunggu yang sudah dipenuhi beberapa pasien lai
, bisa masuk sekarang," kata res
engan senyum hangat. "Silakan duduk, bu. Apa yang bisa saya bantu?" katanya. Dokter tersebut tampan, dan namanya ter
a Dokter ini seorang lelaki. Saya merasa
sional. Lagipula, saya telah lama menjalani pekerjaan ini dan sudah
Setelah menunggu lebih dari satu jam, ra
an kebersihan alat kelamin saya. Alat kelamin saya mengeluarkan bau yang tida
ambil mengangguk. "Boleh saya minta
" tanyaku, merasa malu
ibu?" tanyanya santai, seolah-olah
," jawabku dengan nada ragu, merasa
Dia mengulurkan tangannya kepadaku. "Jangan takut, bu. Say
Memegang tangan lelaki lain? Namun, dia seorang dokter, dan ak
ntaku untuk berbaring. Aku merasa enggan tetapi akhirnya menurut setelah dia melipat bagian d
rapat. "Tolong buka kaki, Bu," kata
respons, masih terj
dan mendorongnya sehingga aku duduk dengan posisi mengan
paha yang putih. Dia terus menyingkap kainku hingga terlihat jelas celana d
m, mungkin ada cairan yang sudah kelu
amiku. Dia mendekatkan dirinya pada vaginaku, lalu membuka bibirnya untuk melihat lebih jelas bagian dalamnya. Ketika di
ng membasahi vaginaku, kemudian perlahan-lahan memasukkan jarinya ke dalam lubang va
m baunya. "Bu Zara," katanya dengan tenang. "Maafkan saya, Bu. Izinka
giku bersuara. Dia perlahan menggesek klitori
ian mengambil sampel cairan dengan cotton bud dan memasukkannya
. Ya Allah! Apa yang aku katakan? Apakah aku menginginkan sesuatu yang lebih dari Dokter Zein? Apa
an melihat Dokter Zein tersenyum. Wajahku memerah karena malu.
," kata Dokter Zein dengan nada tenang dan profesional. Aku mengan
rgesa-gesa menuju rumah susunku. Dalam kebingungan dan pikiran yang bercmas mengenai hasil pemeriksaan, aku baru menyadari bahwa aku telah