mbut yang menutupi rambut ikalku, memberikan kesan anggun yang sederhana. Naufal, suamiku, berdiri tegap di depanku, senyumnya menenangkan namun penuh arti. Dengan satu tarikan napas, i
dekorasi itu terasa sempurna bagiku. Naufal menggenggam tanganku, jemariku yang masih berhias henna terasa hangat dalam genggaman eratnya. Dia membantuku duduk di tepi ranjang, dan perl
. Aku tersenyum, menyadari bahwa mulai saat ini aku adalah istrinya, dan dia adalah suamiku. Tak a
tap matanya yang bercahaya penuh kasih. Ketika bibir kami bertemu, sebuah gelombang emosi menerjangku, menyelimuti seluruh tubuhku. Ini adalah ciuman pertamaku, dan
ang belum pernah kurasakan sebelumnya. Tubuhku bereaksi dengan cara yang tak pernah kuduga, setiap inci kulitku merespons dengan gairah yang membara. Aku merasa sangat hidup, se
ebih kencang. Aku mengikutinya dengan menanggalkan kancing gaun pengantin, satu per satu, hingga bagian bahu terlepas, memperlihatkan k
ungku berdenyut kuat, seolah dipukul palu, saat kulitnya bersentuhan dengan milikku. Naufal memelukku erat, mencium leherku deng
ni menjadi pusat perhatian suamiku. Wajahnya terpukau, dan aku bisa merasakan ketulusan dalam caranya memandang.
but, membuatku mengerang pelan, terhanyut dalam rasa yang baru dan menggoda. Aku
dalamku sudah basah. Aku merasa malu, berpikir apakah aku tidak sengaja mengompol. Namun, bau itu tidak seperti air kencing, melainkan aroma
dikit malu. Bibir vaginaku terlihat besar dan berbulu, dengan klitoris yang tegang. Kulit di sana lebih gelap dibandingkan kulit tubuhku yang lain, memberikan kontras yang menarik
uhnya. Naufal kemudian melepas celananya, memperlihatkan tubuhnya yang kini telanjang bulat di hadapanku
ang datang membuatku meringis, namun ada juga rasa penasaran yang tak bisa kutahan. Kali pertama, ia hanya bisa mema
itulah aku merasakan selaput daraku robek. Aku menjerit pelan, merasakan darah mengalir, menandai akhir dari