l. Mereka berempat terlihat sangat berbahagia."Sehat, Pak?" tanya Arif, anak kedua Parmin. Dia menyalami dan mencium tangan Parmin. Istri Arif yang bernama Nungki da
an seperti mencari sesuatu. Sita mengikuti apa yang dilakukan Riko."Ada apa, Pak?" tanya Sita."Aku sedang mencari Pak Parmin. Ke mana dia?""Sepertinya tadi keluar, Pak ...."Sita belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika terdengar suara benturan yang sangat keras. Sinta melihat dengan jelas ketika mobil kijang itu masuk ke dalam resto dan mengarah langsung kepada keluarga Parmin yang sedang berkumpul.Sinta menjerih histeris ketika melihat pemandangan yang sangat mengerikan dan tampaknya tak terlupakan. Pemandangan memilukan dan menyesakkan dada, ketika mobil itu menghancurkan apapun yang ada di depannya tanpa sisa. Mobil kijang itu seakan hendak menghapus seluruh keluarga Parmin --yang tadi sedang tertawa dan bercengkerama-- dari muka bumi ini.Ah, ya, mungkin hanya menyisakan kesedihan, kebingungan dan trauma. Trauma yang membekas begitu dalam di dalam hati siapa pun yang melihat kejadian mengerikan dan mengenaskan itu.Sita tidak benar-benar menyadari apa yang terjadi. Semua terlihat begitu lambat bagi Sita. Dia melihat orang-orang berlarian ke sana ke mari, Sita mendengar jeritan dan teriakan histeris. Sita hanya bisa diam dan membeku di tempatnya. Sita hanya terdiam dan membeku di tempatnya berdiri. Dia melihat seseorang keluar dari mobil kijang hitam itu. Oh! Sita menyadari bahwa pria itu adalah Parmin. Bapak dari keluarga yang sedang bergembira tadi. Berarti ... berarti ... Parmin lah yang menghilangkan, menghapuskan dan memusnahkan keluarganya sendiri ....Sita melihat pria sepuh itu tersenyum puas. Dia berbisik lirih."Selesai sudah ...."****Hari yang melelahkan. Parmin melepaskan apronnya dan tersenyum lega. Akhirnya hari panjang yang dihabiskannnya di dalam dapur sempit itu selesai sudah. Parmin berniat untuk pulang dan beristirahat sebelum besok dia kembali lagi ke dapur kecil itu."Mas, sudah mau pulang?" Parmin terlonjak ketika melihat seorang pria muncul dari balik pintu dapur. Pria itu adalah manajernya yang bernama Rudi. Dia tersenyum melihat Parmin terkejut."Maaf, Mas. Kalau Mas Parmin belum mau pulang, saya mau minta tolong dulu," kata Rudi lagi. Dia nampak agak sungkan. Parmin tersenyum. Dia sudah paham maksud Rudi."Ada tamu lagi, Pak?" tanya Parmin. Rudi mengangguk, dia terlihat agak ragu. "Iya, Mas. Ada saudara sepupu saya. Dia baru sampai dari luar kota."Parmin mengangguk."Siap, Pak. Segera saya masakkan sesuatu," kata Parmin, dia segera memakai apronnya lagi dan mulai menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak. "Makasih, ya, Mas," kata Rudi, "biar saya suruh anaknya mbantu sekalian," lanjut Rudi lagi. Parmin terkejut dan buru-buru menggeleng. "Jangan! Jangan, Pak. Saya bisa masak sendiri," kata Parmin. Rudi tertawa."Tidak apa, Mas. Biar anaknya juga bisa belajar masak. Rencananya dia mau kerja di sini," kata Rudi, dia segera keluar dari dapur dan masuk kembali dengan membawa seorang wanita yang nampak lusuh dan kurus kering. Dan wanita itu bernama Marini.Marini.Saat itulah pertama kali Parmin bertemu dengan Marini. Saat itu Parmin menganggap Marini cantik, hanya kurang terawat saja. Kulitnya terlihat begitu dekil dan rambutnya kusut masai kemerahan. Parmin iba melihat Marini. Dan kehidupan Parmin berubah seratus delapan puluh derajat setelah bertemu dengan Marini, gadis kumal itu berhasil menjungkir balikkan kehidupan Parmin."Aku minggat dari rumah, Mas. Orang tuaku ada di Belanda. Mereka bangsawan dan melarangku melakukan ini itu. Aku bosan dikekang terus. Akhirnya aku memilih pergi dari rumah," kata Marini, setelah dia dan Parmin sudah cukup akrab, setelah Marini bekerja di dapur dengan Parmin."Eh, la kok bosan memangnya kenapa, Mbak? Kan, enak jadi bangsawan," kata Parmin polos. Marini tersenyum. Matanya berkaca-kaca dan perlahan air mata bercucuran di pipinya."Itu kan, kelihatannya saja, Mas. Jadi bangsawan itu banyak sekali peraturannya. Aku muak. Aku bosan dan aku mulai memberontak," kata Marini dengan lugas, "aku melanggar semua peraturan. Aku mulai salah bergaul, aku mulai melakukan banyak hal buruk. Salah satunya Rudi. Rudi itu bukan saudaraku, Mas. Dia pacarku." Marini diam lama. Dia menunduk dengan air mata yang bercucuran tiada henti. Ah, tangis dalam keheningan adalah tangis yang sangat mengiris hati. Parmin diam dan menunggu."Jadi ... jadi Mbak Marini ke sini karena akan kawin lari dengan Pak Rudi?" tanya Parmin hati-hati, "eh ... anu, ding ... maaf ... maaf, bukan itu maksud saya. Maksud saya Mbak Marini ke sini untuk menenangkan diri?" ralat Parmin dengan wajah takut. Marini mendongak. Dia tersenyum geli dan lama kelamaan dia tertawa. Marini menghapus air matanya dan tertawa semakin keras."Nggak usah minta maaf, Mas. Aku nggak akan mungkin kawin lari dengan Rudi. Orang tua Rudi itu orang yang lempeng, orang yang lurus dan tidak neko-neko, mereka Rudi tidak bisa berbuat apa-apa, jadi Rudi hanya menampungku saja," kata Marini. Dia tersenyum hambar dan sedih. Air mata membayang lagi di mata Marini."Aku hamil, Mas. Hamil dengan entah siapa. Rudi kasihan padaku, tetapi Rudi bilang, dia tidak akan mungkin menikahiku kalau sudah hamil. Rudi mau menanggung semua biaya kehidupanku dan anakku kelak, tetapi Rudi tidak mau meyakinkan keluarganya untuk menerimaku ...." Sekali lagi Marini menangis dalam keheningan. Dia memandang Parmin dengan lelehan air mata di pipinya."Aku diminta bekerja di sini agar aku punya uang dan bisa mencari rumah untuk kutinggali. Nanti semua biaya persalinan dan biaya anak kami akan ditanggung oleh Rudi, padahal Rudi bukan bapak anak ini ...." Marini memandang Parmin hampa. Air matanya sudah berhenti, tetapi Marini masih terlihat sangat sedih dan terluka."Aku hanya wanita buangan, Mas. Aku wanita yang tak berharga," bisik Marini perlahan. Kata-kata Marini itu terngiang-ngiang di telinga Parmin terus menerus. Parmin tidak bisa melupakan wajah sedih dan air mata tanpa suara Marini. Kesedihan yang membayang di wajah Marini membuat Parmin tak berdaya. Dia merasa harus membantu Marini, tetapi tentulah Marini yang anak bangsawan tidak akan mau menerima dirinya yang hanya orang biasa ini.Setiap hari Parmin bertemu dengan Marini tanpa pernah bisa melakukan apa-apa. Parmin hanya bisa melihat Marini dari kejauhan, karena kadang-kadang Rudi dan Marini nampak berbicara dengan intim dan hal itu membuat Parmin sangat cemburu. Diam-diam hati Parmin terbakar api kemarahan yang membara.Dalam keheningan Parmin melakukan cara lain untuk membuat Marini jatuh cinta padanya. Dia mulai menebar benih-benih Winih Tresna --yang diambil dari spora jamur-- di atas makanan dan minuman Marini, agar Marini jatuh cinta padanya. Parmin menunggu. Lama. Hingga menjelang Marini melahirkan. Tiba-tiba saja Rudi menghilang dan Parmin lah yang menolong Marini. Dia membawa Marini ke klinik bersalin dan membayar semua biaya yang dibutuhkan Marini. Parmin tidak pernah mengungkit tentang kondisi Marini ataupun tentang Rudi ataupun apa yang akan terjadi setelah Marini melahirkan. Parmin pasrah dan menurut pada apapun yang akan dilakukan Marini padanya. "Maukah Mas Parmin menikahiku?" tanya Marini setelah anaknya lahir. Bayi perempuan yang sehat dan sempurna. Mendengar pertanyaan itu Parmin tersenyum bahagia. Dia mengangguk, hatinya berbunga-bunga. Usahanya selama ini berhasil. Parmin berhasil membuat Marini jatuh cinta padanya.****Waktu terus bergulir.Satu persatu anak Parmin dan Marini lahir ke dunia ini. Parmin, yah ... Parmin masih begitu-begitu saja. Tidak berubah, karena Parmin adalah pria sederhana yang tidak neko-neko dan menerima takdir kehidupannya dengan lapang dada. Parmin masih menjadi koki di sebuah restoran kecil di kotanya. Dia masih memiliki penghasilan yang sama dengan penghasilannya sebelum bertemu dengan Marini. Ah ... Parmin memang lelaki sederhana yang tidak bisa memuaskan Marini, yang selalu ingin ini itu tanpa henti. Parmin tidak bisa memuaskan Marini yang bergejolak tiada tara. Mungkin kalau dibandingkan Par