ara tercekat di tenggorokan, Larasati bertanya p
dah resmi berpisah dan kamu bisa baca sendiri surat yang tadi telah kamu tanda tangani." Abimana menatap dingin pada w
gah rasa sakit yang mendera. Lembar putih yang ternyata adalah surat cerai dan juga perjanjian persetujuan hak asuh sang putra yang b
apa Mas lakukan ini padaku?" cecar
ia alihkan tatapannya dari Larasati, istri yang kini telah menja
aja melahirkan itu merasakan perih bukan hanya di area inti tubuhnya, tetapi juga di hati. Dia tidak pe
ecuali membiarkan Larasati menumpahkan semua kesedihannya. Ingatan pria itu ter
eraya menatap lekat pria dewasa yang merupakan kekasihnya. N
apa yang dikatakan oleh Abimana. Pria yang baru beberapa minggu dikenalnya. Pria dewasa yang
kan mengenalkan kamu pada orang tuaku," kata pria berku
Abimana. Pria yang memiliki postur tinggi tegap itu sedang ada rapat dengan rekan-rek
enyukai sikap wanita muda itu yang ramah dan bersahaja. Ada saja alasan yang dibuat oleh Abimana ketika be
n berhijab itu mulai merasa nyaman dengan kedekatan mereka berdua. Gayung cinta Abimana bersam
serius, yaitu ke jenjang pernikahan. Dan di sinilah mereka berdua saat ini berada, di kafe favorit untuk makan siang bersama dan memb
tas namakan kamu. Memang tidak besar, tapi nyaman dan aku yakin k
mata yang saat ini mewakili perasaan bahagianya. Larasati me
erti Mas Bima. Terima kasih, Mas. Terima kasih karena Mas Bima mau menerima Lara apa adanya." Wanita berhijab itu
anjutnya yang kemudian menci
juga tidak enak hati. Namun, semua hanya sekejap saja kare
c